Seolah hanya mengikuti pasar, koridor sejarah visi-misi UNJ masih kosong secara substansi. Hal ini terjadi dari zaman UNJ masih bernama IKIP Jakarta.
Selayaknya sebuah balapan, usia pemberitaan saling susul-menyusul dengan peristiwa lainnya. Meski, balapan ini tidak ada garis finish yang menjadi pakem berita untuk menemui titik kebenaran. Walaupun seperti itu, setiap peristiwa memiliki rona yang unik dan bergulir ulang.
Sejak bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta hingga menjadi UNJ, kampus ini telah mengalami sederet perubahan. Setelah mendapatkan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada 14 Agustus 2024, terdapat berbagai perubahan dalam perumusan visi-misi akademik UNJ. Misalnya, UNJ melangkah dengan merubah nama fakultas. Hal ini diikuti penambahan dan pengurangan Prodi.
Lewat berita yang ditulis Tim Didaktika dengan judul “UNJ dan Babak Baru Industrialisasi: Menguak Motif dibalik Perubahan Nama Fakultas,” terdapat alasan spesifik yang menjelaskan langkah ini. Selain mengacu pada konsep Peta Jalan Pendidikan 2025-2045 yang disusun oleh pemerintah, UNJ tengah mempersiapkan kompetensi mahasiswa yang saling link and match dengan industrialisasi.
Semisal yang terdekat, di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH), akan membuka Program Studi (Prodi) Ilmu Hukum. Namun, UNJ tidak akan berfokus membuka prodi yang memiliki orientasi vokasi. Hal itu dikarenakan praktik pengajaran vokasi tidak relevan dalam jangka waktu empat tahun ke depan.
Demikian konteks visi-misi akademik UNJ hari ini, memiliki rona yang terikat dengan industri dan kebutuhan pasar. Namun, jika melengos ke konteks sejarah, rona UNJ tidak berangkat dari institusi yang mengekor pada industri.
Baca juga: 1.400 Mahasiswa Baru Keluhkan Golongan UKT Tak Sesuai, Kampus Berjanji Adakan Aju Banding
Tim Didaktika mengarsip tulisan-tulisan kami yang terbit sepanjang tahun 1996 sampai dengan 2024 terkait visi dan misi akademik. Alasannya, kami berusaha melihat secara akar sejarah. Di mana, tiap-tiap transisi perubahan status menandakan adanya perubahan makna visi-misi dalam praktik akademis. Kami tidak meracik dengan gaya metodologi yang kaku. Selayaknya sebuah masakan siap saji dari pedagang kaki lima, kami meracik bahan makanan dalam takaran yang pas, sehingga enak untuk disantap.
Utamanya, kami berfokus untuk memotret rona itu melalui transisi institusi. Khususnya, dari IKIP Jakarta (1964-1999), UNJ Satuan Kerja (Satker) pada tahun (1999-2009), UNJ Badan Layanan Umum (BLU) pada tahun (2009-2024), dan UNJ berstatus PTN-BH pada masa sekarang. Selamat menikmati.
Tidak Fokus LPTK
Tiga tahun sebelum IKIP Jakarta beralih nama menjadi UNJ berstatus Satker, jantung kampus ini masih kuat menyandang statusnya sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Hal ini terpotret lewat majalah Didaktika No.11 Th XXI/ September/ 1996. Khususnya dalam tulisan berjudul “Dr. Engkoswara: IKIP Jakarta tak Perlu Jadi Universitas”.
Engkoswara mengatakan, transformasi ini tidak perlu. Bagi mantan Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) itu, dengan IKIP Jakarta beralih ke universitas, hanya mengecilkan ruang-ruang pencetak keguruan. Namun, Rektor IKIP Jakarta kala itu, Anna Suhaenah Suparno tidak bisa menolak ide konversi IKIP menjadi universitas.
Derasnya peralihan ini dilanggengkan oleh para Pembantu Rektor (PR) yang baru menjabat pada 31 Juli 1997. Lewat majalah Didaktika No.13/ th XXII/ 1997 dalam tulisan “Obsesi Pembantu Rektor”, sejumlah argumentasi dilemparkan oleh PR I Bagian Akademik, Hafid Abbas. Pria yang kini menjadi mantan Ketua Senat UNJ tersebut bertutur, “Walaupun mengusahakan IKIP menjadi perguruan tinggi yang mampu berdiri sejajar dengan perguruan tinggi lain terasa ambisius, tetapi saya akan berusaha.”
Hafid Abbas memandang IKIP Jakarta dapat maju. Dengan itu, ia merumuskan visi-misi akademik berupa penerapan kurikulum yang fleksibel. Dalan kurikulum seperti ini mahasiswa IKIP Jakarta bisa bebas belajar di bidang studi apa saja. Ini dilakukan karena IKIP Jakarta harus mengikuti arus globalisasi. Baginya, IKIP tidak harus melulu mencetak guru, tapi dapat sarjana terampil yang bisa fleksibel bekerja di mana saja.
Hal ini berimplikasi pada tata kelola akademik IKIP Jakarta yang menjadi buruk dan terlalu liberal. Masih dalam majalah yang sama, hal ini menjadi kontroversial. Lewat tulisan berjudul “Prof. Dr. H.A.R Tilaar: Pendidikan Belum Dikelola Secara Profesional, ” Guru Besar Emeritus UNJ tersebut memandang IKIP Jakarta mengawang-ngawang secara akademik.
Tilaar mengatakan IKIP Jakarta hanya bisa menciptakan parade penganggur. Peran IKIP Jakarta yang seharusnya menciptakan tenaga pendidik berkualitas malah tidak demikian. Bagi Tilaar, ketika IKIP Jakarta berubah menjadi universitas, ini akan mencabut langsung idealisme visi-misi akademik yang berfokus pada pendidikan keguruan. Baginya, daya saing IKIP Jakarta adalah menjadi LPTK.
Mulai Meninggalkan LPTK
Setahun setelah Reformasi, IKIP Jakarta telah sirna pada 4 Agustus 1999. UNJ terbit dengan status Satuan Kerja (Satker). Sebagai informasi, status ini dapat diartikan bahwa akumulasi seluruh pendapatan PTN, termasuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa harus masuk ke rekening Kementerian Keuangan.
Lewat majalah Didaktika Edisi No. 22/ Th XXVI/ 2001 dengan tulisan “SDM UNJ Masih Dipertanyakan”, UNJ mulai secara vulgar mengadopsi visi-misi yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Wajah lulusan UNJ berubah, dari yang berfokus mencetak tenaga pendidik, menjadi menciptakan tenaga kerja terampil. Menurut Rektor UNJ periode 1997-2005, Soetjipto, hal ini dilakukan untuk mendasari peningkatan mutu lulusan.
Tidak tanggung-tanggung, UNJ langsung menyiapkan dan membuka tujuh prodi non-kependidikan. Persyaratan ini dipenuhi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam (FMIPA) dengan Prodi Fisika, Kimia, dan Biologi. Satu di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK). Kemudian tiga di Fakultas Teknik (FT) dengan Prodi D3 Teknik Elektro, Teknik Sipil, dan Teknik Mesin. Namun, hal ini berimplikasi pada perubahan sarana, prasarana, hingga tenaga pendidik.
Khususnya tenaga pendidik, UNJ mengeluarkan biaya Rp400 juta untuk menyekolahkan beberapa dosen agar menyesuaikan dengan Prodi baru di tahun ajaran 2002. Biaya ini diambil dari SPP. Tak ayal, wacana kenaikan SPP mencuat ke permukaan.
Sementara itu, di dalam majalah Didaktika Edisi No.25/ Th XXIX/ 2003 lewat tulisan berjudul “Jurusan Baru itu Bernama Agama Islam”, UNJ lebih berupaya bereksperimen mencetak Prodi baru berasaskan kebutuhan pasar, ditambah menciptakan kurikulum dengan otonomi sendiri. Wacana ini didasari oleh semangat UNJ yang ingin mencetak pendakwah tingkat internasional. Namun sayangnya, hingga kini hal tersebut hanya angin lalu semata, karena Prodi Agama Islam tidak pernah ada.
Baca juga: Minim Kesiapan, Pembukaan Prodi Baru di UNJ Menuai Kritikan
Dalam majalah Didaktika Edisi No.25/ Th XXIX/ 2003, lewat berita berjudul “Proyek Uji Coba Program Studi”, UNJ kembali bereksperimen dengan membuka Prodi D3 Kependidikan Administrasi Perkantoran non-reguler. Namun sejak berdirinya prodi ini, banyak terjadi maladministrasi, seperti keterlambatan mahasiswa mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan kekurangan tenaga pendidik. Hal ini mengakibatkan prodi tersebut hanya memiliki nyawa satu angkatan untuk hidup di UNJ.
Berlanjut, pada majalah Didaktika Edisi No.31/ XXXII/ 2006, melalui berita “Kurikulum Fleksibel, Fleksibelkah?”, “Evaluasi Kurikulum, Nol Besar”, “Mau Ke mana UNJ?”, dan “Misi UNJ Tambal Sulam”, menjelaskan kejelimetan UNJ dalam melaksanakan proyek modernisasi visi-misinya. Pasca lepas dari LPTK, UNJ terseok-seok dalam menyulam kurikulum.
Merangkum empat berita di atas, UNJ melakukan pembacaan pasar atas dua dimensi. Di satu sisi lewat ketersediaan tenaga pendidik. Di sisi lain melalui tentang tenaga kerja terampil. Hal ini dilakukan mengikuti Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.232/U/2000 tentang Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Serta, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.
Perubahan besar pun muncul dalam ranah akademik UNJ. Bagi mahasiswa yang mengenyam Prodi pendidikan, mereka dibebaskan untuk mengajar di tingkat SD, SMP, SMA, SMK, atau sederajat. Sementara di prodi non-pendidikan, mahasiswa dibebaskan untuk belajar di luar jurusannya, sesuai dengan kebijakan fakultas.
Namun masalahnya, visi-misi ini tidak dibarengi dengan evaluasi yang mumpuni. Kala Itu, Pembantu Dekan (PD) I bidang Akademik FIP, Totok Bintoro mengatakan, jika evaluasi yang dilakukan universitas hanya sebatas menilai pelaksanaannya saja. Pria yang sekarang menjabat sebagai Kepala Pengelola Sekolah Laboratorium Labschool UNJ tersebut berujar hal ini menjadi kekurangan UNJ. Baginya, UNJ mengabaikan hal penting seperti kompetensi dosen dan penyediaan bahan ajar.
Hal ini berimbas pada kurangnya minat mahasiswa dalam mempelajari kurikulum pendidikan. Masih dalam kacamata analisis Totok Bintoro, ia mengucapkan bahwa sempat terjadi euforia orang ramai-ramai meninggalkan kependidikan agar mereka disebut sebagai mahasiswa jurusan murni. Bagi Totok, jika tidak dibenahi akan menjadi fatal bagi UNJ. Jurusan murni yang belum matang secara konsep visi-misi hanya akan menjadi wahana lompatan mahasiswa untuk menceburkan diri ke tenaga kerja murah.
Mengikuti arus pasar kembali, UNJ membuka Prodi Psikologi Murni di tahun 2008. Tepatnya pada majalah Didaktika/ Edisi 36/ 2008 lewat tulisan berjudul ”Perubahan yang Berorientasi Pasar”, terdapat simpang siur metode pembelajaran. Pembukaan prodi baru ini membuat rancu kurikulum pembelajaran mahasiswa Pendidikan Psikologi yang sudah berdiri sejak 1987.
Berpindah ke majalah Didaktika/ Edisi 38/ 2009. Dalam majalah itu terdapat berita berjudul “Konversi IKIP, Marginalisasi Ilmu Pendidikan”, “Memilih Profesional atau Ilmiah”, “Programnya Banci!!”, dan “Pendidikan Tidak Ada, Ilmu Murni juga Tidak Ada” memotret visi-misi UNJ yang kian berbangga diri menihilkan Prodi pendidikan.
Dengan dalih menyesuaikan kebutuhan zaman, UNJ pada akhirnya berfokus pada prodi non-pendidikan. Di sini, prodi pendidikan tidak menjadi perhatian utama lagi dan terpinggirkan.
Masih dalam majalah yang sama, H.A.R Tilaar menyatakan jika sebetulnya UNJ masih tidak jelas dalam merumuskan atau menjalankan visi-misi perguruan tingginya. Bagi Tilaar, UNJ tidak fokus pada pendidikan atau non-pendidikan. Dengan kata lain, UNJ hanya berusaha mengikuti ombang-ambing pasar saja. Padahal, jika kembali bersandar pada idealisme mencetak guru, tentunya UNJ memiliki daya saing tersendiri.
Melupakan Jati Diri
Ketika berubah statusnya menjadi BLU pada 18 November 2009, UNJ langsung unjuk gigi dengan berani menciptakan visi-misi bernuansa internasional. Hal ini dipotret melalui majalah Didaktika/ Edisi 42/ 2012, lewat tulisan berjudul “Icip-icip Mutu Internasional” dan “Masih Berantakan, Butuh Keteraturan”.
Pada tahun 2012, International Standardization Organization (ISO) yang berfokus pada industri masuk ke dalam ranah UNJ. Alasan dibalik UNJ melakukan akreditasi sarana dan prasarana ini dikarenakan untuk meningkatkan mutu akademik. Dengan begitu. UNJ dapat lebih matang menancap gas dalam merumuskan visi-misi berorientasi internasional.
Pemakaian akreditasi ISO menjadi batu loncatan UNJ untuk lebih berhasrat mengubah statusnya menjadi PTN-BH. Terlebih, UNJ semakin konsisten untuk tidak lagi mengacu pada visi-misi mencetak guru. Hal tersebut dipotret majalah Didaktika Edisi No.48/ TH.XXXII/ 2018, lewat tulisan “Tak Lagi Fokus Mencetak Guru”.
Visi-misi UNJ berubah secara gamblang. Visi UNJ mengacu pada perguruan tinggi yang bereputasi di Asia. Misinya untuk menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yang bereputasi dan berguna bagi kemaslahatan umat. Hal ini tertuang dalam Pasal 25 di Statuta UNJ tahun 2018.
Baca juga: Tanda Bahaya Matinya Kepakaran
Dalam praktiknya, UNJ tidak hanya berfokus pada Pendidikan Profesi Guru (PPG), tetapi menekankan pada kualitas publikasi ilmiah. Dengan begitu, UNJ dapat menaikan gengsi hingga tingkatan internasional. Selain itu, di bidang infrastruktur, UNJ juga membangun 4 gedung perkuliahan baru dengan dana yang dihibahkan oleh Saudi Fund for Development sebanyak Rp 420 miliar. Hal itu tertuang dalam majalah Didaktika Edisi No.49/Th.MMXX/2020, dalam tulisan “Demi Reputasi Asia, UNJ Kejar Proyek Pembangunan Gedung”.
Sebagaimana perjalanan panjang yang telah tergambar, perubahan status dari IKIP Jakarta menjadi UNJ menghasilkan penyesuaian visi-misi akademik yang berusaha menjawab tantangan zaman. Namun setiap perubahan, pondasi kokoh UNJ yang merupakan lembaga pendidikan harus mempunyai sikap kuat, tidak sekadar berlari mengejar zaman, seolah takut sekali ketinggalan kereta.
Sikap kita dalam memandang pendidikan mengutip H.A.R Tilaar melalui bukunya yang berjudul Kekuasaan & Pendidikan, adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan atau penyadaran akan kemampuan identitas seseorang dalam bentuk individu atau kelompok. Jika pandangan mekanistik masuk ke dalam ranah-ranah kemanusiaan, maka akan terjadi pengekangan kebebasan individu. Dalam menerawang visi-misi akademik, secercah pertanyaan kemudian diajukan, apakah tujuan pendidikan membebaskan individu atau merawat pengekangan?
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Andreas Handy