Mahasiswa adalah bagian integral dari generasi muda Indonesia, yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan Tinggi, yang mempunyai peran penting dalam masyarakat. Berbeda dengan manusia lain yang bukan mahasiswa atau pemuda yang bukan mahasiswa. Mahasiswa di Indonesia menghadapi masalah yang punya akibat sangat luas. Tidak saja menyangkut dirinya, namun masyarakat umum.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwasannya mahasiswa punya peran penting dalam roda hidup masyarakat. Sebagai calon intelektual yang jiwanya masih bergelora, mahasiswa selalu ingin menjadi bagian untuk tampil dalam menciptakan keadaan yang berkeadilan sosial sekaligus demokratis. Salah satu jalan yang dipakai untuk ketercapaiannya itu antara lain lewat pers.
Pers, dalam catatan sejarahnya menunjukkan sebuah capaian dalam menggagas soal keadilan dan kemanusiaan. Bahkan soal ke-Indonesiaan sendiri. Kaum terpelajar atau mahasiswa yang menjadi bagian penting dalam mewujudkan kenyataan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa, memakai pers sebagai corong perjuangannya.
Begitu pun pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, pers tak dapat dipisahkan dalam perjalanan gerakan mahasiswa. Karenanya, pers selalu digunakan oleh mahasiswa yang selalu menuntut perubahan-perubahan terhadap realitas yang tidak berkeadilan di sekitarnya. Sekumpulan mahasiswa yang menghasilkan karya jurnalistik tersebut kemudian akrab ditelinga kita: pers mahasiswa, lahir dari rahim Perguruan Tinggi.
Narasi Singkat, Didaktika
Semangat mahasiswa yang demikian, jadi alasan bagi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika untuk hadir. Alasan dari sekumpulan mahasiswa Institut Keguruan Ilmu Kependidikan (IKIP) Jakarta mengenai betapa pentingnya tulisan dalam menyuarakan kebenaran. Sekali lagi sejarah di atas mengatakan, bahwa tulisan merupakan senjata yang ampuh untuk mengontrol atau mengkritisi segala yang jauh dari kebenaran.
Nama Didaktika sendiri diambil dari kata didaktique yang artinya pembelajaran. Awalnya, Didaktika merupakan sebuah divisi penerbitan di bawah bendera Dewan Mahasiswa (Dema). Terbitannya sendiri masih berupa stensilan dan selebaran yang ditempel di mading yang berada di pojok-pojok fakultas dan jurusan. Menurut penelusuran sejarah, hasil wawancara dengan Ahmad Bagja, Didaktika telah hadir sejak 1969. Dialah orang yang paling aktif menerbitkan stensilan-stensilan tersebut.
Dari waktu ke waktu, tuntutan akan penyempurnaan dan pemasifan terbitan ini semakin didengungkan. Apalagi sejak munculnya kebutuhan akan media alternatif yang menjadi corong aspirasi mahasiswa dan rakyat. Makanya, produk Didaktika berupa stensilan berubah menjadi tabloid berbentuk koran yang mempunyai beberapa rubrik. Seturut dengan perkembangan pers mahasiswa itu yang punya kekuatan strategis, pemerintah rezim Suharto pun mulai mengawasi secara ketat terbitan-terbitan mahasiswa. Yang berakhir dengan pembredelan terhadap terbitan Didaktika pada akhir tahun 70-an. Terbitan-terbitan mahasiswa universitas lain yang senasib dibredel karena mengoyak wibawa pemerintah pun, di antaranya: Salemba (UI), Berita ITB (ITB Bandung), Integritas, Muhibah (UII Yogyakarta), dan Aspirasi (UPN).
Meski begitu dalam perkembangnya, eksistensi divisi penerbitan melangkah maju dalam hal penerbitan. Sehingga, ada tuntutan divisi penerbitan bernama Didaktika ini dijadikan unit otonom di luar Dema. Alhasil, terciptalah Unit Penerbitan Kampus (UPK) Didaktika IKIP Jakarta yang menaungi kegiatan jurnalistik di dalamnya.
Sejarah rezim Suharto adalah sejarah represifitas terhadap mahasiswa. Yang mengakibatkan mahasiswa menjadi apolitis dan pragmatis dalam menajalani status kemahasiswaannya. Salah satu penyebabnya yang terkenal bernama Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Koordinaasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini pun tak mampu dibendung oleh mahasiswa IKIP Jakarta. Kausalitas ini kemudian menyerempet Didaktika sendiri, dengan mandeknya proses regenerasi.
Aktivitas-aktivitas organisasi pun menjadi terlantar.Tahun demi tahun, gejala akut ini kian membuat Didaktika tidak bisa berbuat banyak dalam menyuarakan kebenaran dalam kampus atau lokal ibukota. Namun menariknya, pada tahun 1987 di tengah-tengah ke-vakuman itu, Didaktika berani mengubah konsep penerbitan dari tabloid berbentuk koran menjadi majalah. Produk yang kemudian masih dipertahankan hingga saat ini.
Dalam meretas perjuangan dan eksistensinya, Didaktika memang kerap kali mengalami pasang surut soal penerbitan dan juga regenerasi. Sekalipun pada 1987 ini punggawa Didaktika mengambil gebrakan lewat perubahan konsep penerbitannya, ihwal regenerasi nyatanya Didaktika masih belum bersih dari unsur-unsur “petualang organisasi”. Mereka yang dimaksud ini yang hanya membuat roda organisasi menjadi tidak berjalan dan macet.
Pembersihan-pembersihan terus dilakukan. Sehingga, pada 1988 para pengurus Didaktika di bawah ketua umumnya Tri Agus Susanto mengambil tema “Bersih Lingkungan” dalam Rapat Tahunan Anggota (RTA) Didaktika. Tema ini dimaksud agar Didaktika senantiasa terhindar dari pihak eksternal dan internal kampus yang ingin membuat Didaktika tumpul dalam menyampaikan kebenaran.
Artinya, kebutuhan akan punggawa-punggawa yang loyal dalam menghidupi Didaktika menjadi harga mati. Demi menjadikan suara Didaktika tetap sebagai corong aspirasi mahasiswa dan masyarakat. Bukan corong organ eksternal atau birokrat kampus.
Oleh karena itu, pada awal 90-an dengan ketua umumnya waktu itu Yana Supriatna, Didaktika berani mengubah visinya hingga saatini. Yang tadinya Pengemban Tridharma PerguruanTinggi menjadi, Berpikir Kritis dan Merdeka. Sedangkan misinya kemudian mengemban Kerakyatan.
Dengan maksud, manusia di ruang Didaktika harus meyakini jika manusia harus tetap dibalut nalar kritis dan merdeka dalam menyampaikan keadaan yang jauh dari kebenaran. Harus tetap berani menyampaiakan kekritisan terhadap kampus dan pemerintah, tanpa terbelenggu olehnya. Semuanya itu harus diyakini oleh segenap punggawa Didaktika sebagai panggilan sejarah manusia umumnya, khususnya mahasiswa.
Visi dan misi ini senantiasa mengawal punggawan Didaktika agar terus berkarya. Apalagi, dalam menghadapi pembredelan-pembredelan rezim Suharto. Memaksa Didaktika membangun simpul-simpul solidaritas bersama persma-persma se-Jakarta. Walhasil, berdirilah Forum Komunikasi PersMahasiswa se-Jakarta (FKPMJ). Beberapa persma lainnya: Aspirasi (UPN) dan Politika (Unas)
Tetapi, sebelum moment penggulingan Suharto terciptapada Mei 1998, FKPMJ berubah nama menjadi FPMJ (Forum Pers Mahasiswa Jakarta). Tujuannya tegas, untuk menopang represifitas rezim dan tetap konsisten mengusung tinta keadilan.
Pergantian nama ini pula yang kemudian menandai babak baru pers mahasiswa Didaktika. Pasalnya, seiring Suharto jatuh, pers umum dan pers mahasiswa dihadapkan pada posisi diametral, yakni saling berhadap-hadapan. Dengan meyakini Didaktika sebagai corong aspirasi mahasiswa, Didaktika tetap konsiten mendukung Reformasi total pada 1998. Hal yang berkebalikan dari suara-suara miring pers umum yang menuduh gerakan mahasiswa tersebut sebagai gerakan di bawah naungan ideology komunis.
Pertarungan wacana terkait melihat gerakan mahasiswa pun tak dapat dihindari antara persma dan pers umum ini. Dan bagi persma yang di dalamnya Didaktika, tentunya pemberitaan miring terhadap gerakan mahasiswa tersebut bakal berakibat mandeknya proses reformasi. Hal ini terbukti ketika gerakan mahasiswa yang menuntut diadilinya Suharto karena kejahatan kemanusiaan dan korupsinya tak dapat direalisasi. Dikarenakan gerakan mahasiswa dihalau oleh unsur-unsur rezim Suharto yang mengaku reformis.
Dan beberapa tuntutan reformasi pun terpaksa harus ditelan sebagai pil pahit oleh gerakan mahasiswa sendiri. Akibat gerakan mahasiswa kemudian diredam lewat isu-isu yang menjadi senjata rezim Suharto dulu untuk merobohkan penentangnya lewat tuduhan: berpahamkomunis.
Tetap Menulis. Itulah yang diyakini punggawa Didaktika dalam menciptakan sejarah. Namun punggawa Didaktika pun sadar harus melihat jeli segmen pembacanya. Terbitan pers mahasiswa yang banyak dikatakan orang sebagai pers alterntif, menjadi kian dilematis pasca Suharto jatuh. Dengan dibuka keran kebebasan selebar-lebarnya, pers umum pun berserakan seperti jamur di musim hujan.
Pemberitaan-pemberitaan pers umum pun menjalar ke segala aspek baik itu kritik sosial, ekonomi, hingga politik yang dulunya disuarakan pers mahasiswa saat pers umum lelap tertidur. Akibatnya, memaksa pers kampus seperti Didaktika kemudian membentuk segmen pasar sendiri, yakni masyarakat kampus. Meski tanpa sedikit pun memalingkan muka terhadap ketidakadilan yang masih terjadi di luar kampus. Sebagai realitas yang harus dituliskannya.
Pers Mahasiswa: Pikiran yang Bertindak
Pers mahasiswa merupakan anak zaman yang dilahirkan oleh keadaannya. Dari rahim ketertindasan masyarakat juga ketidakadilan yang terjadi di dalam kampus. Oleh karena itu, jikalau boleh dikatakan, pers mahasiswa merupakan elemen dari sebuah gerakan mahasiswa.
Yang jika boleh dikatakan kembali, tafsir atas gerakan tersebut yaitu praksis antara ide dan realita. Meski setiap zaman memiliki tantangannya. Bukan berarti kehadiran pers mahasiswa lupa sejarahnya. Yakni sebagai wujud pikiran yang bertindak.
Itu pula yang diyakini oleh Didaktika.
Situasi dan kondisi Jakarta yang terus bergerak mengikuti arus kapitalisasi global. Membawa dampak tidak hanya pada kondisi masyarakat yang semakin pragmatis dan konsumtif. Hegemoni arus kapitalisasi tersebut merangsek masuk ke dalam institusi pendidikan. Mau tidak mau, suka tidak suka, institusi pendidikan mesti berkompromi dengan keadaan tersebut.
Inilah yang kemudian merubah wujud UNJ. Kurikulum, kultur akademik, bangunan fisik, organisasinya terpengaruh. Hal inilah yang membuat Didaktika mesti sadar zaman.
Didaktika masih meyakini bahwa produk (tulisan) merupakan alat penggugah kesadaran dan kepekaan sosial. Serta menjadi counter opini, di tengah arus lalu lintas informasi yang semakin padat. Maka dari itu, tuntutan untuk mendirikan portal (website) kami lakukan.
Walau sudah dilakukan sejak kepengurusan Didaktika tahun 2005 dengan pendirian blog, dan di tahun kepengurusan 2008 berhasil menerbitkan laman www.didaktikaunj.org. Yang fungsinya sebatas menjadi basis data.
Gagasan membuat portal berisi berita dilakukan setelah laman www.didaktikaunj.org mati suri. Akhirnya pada tahun 2010 gairah untuk mencipta laman baru mulai mewujud di awal tahun 2012 dengan ditandai lahirnya laman www.didaktikaunj.com.
Rubrikasi laman tersebut, disesuaikan dengan SDM yang ada. Sebab, kami berpegang teguh bahwa laman tersebut adalah ruang aktualisasi diri para anggota. Tapi, tidak menutup kemungkinan menerima kiriman tulisan berupa opini atau sastra dalam laman tersebut.
Kami pun meyakini, bahwa produk dotcom merupakan jawaban zaman, pers mahasiswa kekinian. Meski patut disadari, produk tersebut belum menjamah semua kalangan. Tapi perlu diyakini dotcom yang ada pada pers mahasiswa dapat menjadi alternatif. Dari sekian banyak produk jurnalisme online media mainstream yang hanya mengejar kecepatan dan kepraktisan semata.
Meski begitu, kami pun masih mempertahankan majalah sebagai wujud eksistensi kami sebagai pers mahasiswa. Yang terbit pada setiap semester. Disanalah pergulatan ide yang memaksa kami menguras pikiran dan semangat begitu besar.
Di dalam kampus, setiap minggunya kami mewarnai majalah dinding (mading) dengan koran tempel berbentuk A3+. Kami berpatokan pada semangat membangun opini publik sivitas akademika UNJ untuk peduli terhadap keadaan sekitar. Dengan produk Newsletter yang berisi opini awak Didaktika menanggapi isu lokal dan nasional yang sedang bergulir. Serta Kronik, berupa berita yang di luar perkiraan. Adalah usaha yang tidak kenal lelah dalam mempraksiskan ide dan realita sebagai pers mahasiswa.
Serta sebagai media latihan para calon anggota Didaktika, produk Haluan Mahasiswa hadir setiap bulannya menanggapi isu kampus. Dan Warta MPA, yang diterbitkan saat momentum Masa Pengenalan Akademik (MPA). Berfungsi sebagai penambah wawasan bagi mahasiswa baru guna memahami situasi dan kondisi kampus. Untuk kondisi insedental dan isu-isu besar yang perlu ditanggapi bersama, serta berguna menjalankan semangat citizen journalism. Dengan melibatkan komunitas-komunitas yang ada di dalam kampus. Kamipun berinisiasi membuat buletin Suara Pemuda yang terbit setahun sekali.
Tentu, hadirnya sejumlah produk tersebut tidak dengan disulap. Pengayaan wacana pun terus dilakukan agar dapat menjadi manusia yang berpikir kritis dan merdeka. Diskusi rutin setiap minggunya macam bedah artikel dan buku. Seperti suplemen pendorong semangat menulis. Guna menjaga ritme dan berfungsi sebagai pemanis adalah kegiatan nonton film bareng. Yang dipenuhi proses dialektis yang menggairahkan guna menghidupi ruang 304 yang terletak di Gedung G, kompleks kampus A UNJ.
Dari sedemikian kegiatan, agar tidak berdiri di atas menara gading, juga sebagai arena penyegaran. Kegiatan hunting pun menjadi bagian dari kami. Dengan menyusuri sudut-sudut kota Jakarta. Serta melakukan pengabdian masyarakat berupa acara Latihan Dasar Pers Mahasiswa dan Latihan Dasar Pers Siswa tiap tahunnya.
Terakhir, nafas kami sebagai pers mahasiswa hanya bertumpu pada semangat niat baca dan tulis.