Judul buku: Matinya Kepakaran 

Penulis: Tom Nichols

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2021

Jumlah halaman: xviii + 293 halaman

ISBN: 978-602-481-073-3

Diskursus ihwal perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia kini tak lagi menoreh tinta emas. Ilmu pengetahuan seakan bukan lagi menjadi jiwa sebuah universitas. Sivitas akademika seakan lupa dengan kewajibannya, yakni belajar sepanjang hayat demi mengembangkan cakrawala pengetahuan. 

Iklan

Kampus yang seharusnya mencetak para pakar atau cendekiawan sudah tidak lagi kentara. Tampak nyata ketika beberapa hari belakangan jamak kasus pelanggaran akademik yang terjadi.

Misalnya, pada Juni 2023, Rektor UIN Walisongo, Semarang, Imam Taufiq dipecat dari jabatannya lantaran terbukti melakukan plagiasi sejumlah karya ilmiah. Setahun setelahnya, seorang Dosen Universitas Nasional atau Unas, Kumba Digdowiseiso juga melakukan pelanggaran akademik. Sebab, Kumba mencatut nama tanpa izin seorang dosen asal Malaysia dalam publikasi artikel ilmiahnya pada Mei 2024. 

Teranyar, pada 7 Juli kemarin, Majalah Tempo mewartakan dalam laporan utamanya berjudul “Skandal Guru Besar:  Memakai Jurnal Predator hingga Berkomplot dengan Asesor”. Liputan itu membahas indikasi praktik kongkalikong beberapa elit politik dengan Direktorat Sumber Daya Manusia (SDM), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk meraih gelar “guru besar” secara tidak sehat.  

Praktik kongkalingkong tersebut berupa pelolosan sejumlah kandidat calon guru besar oleh tim asesor di bawah naungan Direktorat SDM, Kemendikbudristek. Walau bermasalah dari segi penulisan yang tak sesuai dengan disiplin ilmu, publikasi di jurnal tutup permanen, dan jurnal tak bereputasi. Tim asesor tetap meluluskan para calon guru besar tersebut.

Kandidat calon yang diisi elit politik berlomba-lomba meraih titel guru besar agar karirnya moncer. Walau dengan mengabaikan tahapan panjang nan ketat untuk menyandang titel kehormatan akademik itu. 

Sungguh ironis memang. Gelar akademik seharusnya didapat dengan upaya belajar dan pengalaman panjang. Praktik-praktik seperti itu membuat bias pandangan khalayak umum dalam memandang kredibilitas lulusan kampus saat ini. 

Tom Nichols, akademisi asal Amerika sudah jauh-jauh hari memandang fenomena di atas. Dalam buku berjudul “Matinya Kepakaran”, Tom melacak dan mencari sebab-akibat dari adanya pelanggaran akademik. Bahkan lebih jauhnya, mudarat apa yang ditimbulkan di dalam kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan efek matinya kepakaran.

Mati Suri Kepakaran dan Segregasinya

Matinya kepakaran bukan berarti pakar telah tiada atau meninggal semua. Tapi, merupakan istilah yang mengacu dua tesis Tom. Pertama, sejumlah besar pakar yang tidak lagi menguasai suatu bidang ilmu secara komprehensif, sistematis, dan ilmiah. Sehingga berdampak terjadinya stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kedua, terjadinya fenomena masyarakat yang tidak lagi menganggap pengetahuan adalah hal yang penting, mengabaikan verifikasi informasi, hingga menolak pengetahuan yang telah teruji. Dari dua hal inilah Tom menggagas istilah matinya kepakaran.  

Iklan

Tesis Tom yang pertama relevan dengan maraknya praktik pelanggaran akademik belakangan ini. Jamak akademisi universitas hanya berlomba-lomba menyandang titel akademik dengan menyampingkan proses belajar dan pengalaman akademik. Bagi Tom sendiri, maraknya pelanggaran akademik karena bergesernya orientasi kampus menjadi money oriented.

Perubahan orientasi yang mengedepankan akumulasi keuntungan kerap menjadikan kampus sebagai tempat menjajakan ijazah kepada calon sivitas akademika. Praktik komersialisasi pendidikan tersebut membuat kampus hanya memperdulikan permintaan pasar, alih-alih perkembangan ilmu pengetahuan.

“Perguruan tinggi tidak lagi menjadi tempat belajar dan pendewasaan diri. Serbuan anak-anak muda Amerika ke perguruan tinggi, dan perang tarif biaya di antara universitas-universitas, telah menciptakan pengalaman yang berorientasi pelanggan,” halaman 85.  

Hematnya, kampus kini hanyalah sebagai penyedia jasa layanan pendidikan dan calon mahasiswa merupakan kliennya. Klien memiliki kepentingan untuk mendapatkan ijazah secara cepat dan kampus mengakomodirnya. Tanpa perlu menekankan pentingnya proses dan pengalaman belajar kliennya.

Baca juga: Gedung Kuliah Baru dan Semangat Komersialisasinya

Tak ayal, membuat mahasiswa yang masuk ke dalam universitas cenderung tidak memiliki semangat dan kemauan belajar sepanjang hayat. Melainkan bertujuan praktis, seperti lulus cepat dan mendapatkan ijazah tanpa memedulikan pentingnya proses belajar dan perluasan cakrawala pengetahuan dalam dirinya. 

Tujuan praktis juga menjangkit para tenaga pengajar atau dosen di kampus. Iklim kompetisi publikasi ilmiah selain menambah angka kredit kumulatif, dosen juga mendapatkan insentif dengan rentang Rp5 juta hingga Rp50 juta tergantung indeks publikasi. Praktik itu persis yang dilakukan Kumba yang menerbitkan 160 karya ilmiah pada tahun ini. 

Baca juga: Solusi Semu Pinjaman Mahasiswa

Ihwal angka kredit kumulatif, sangat diperlukan bagi dosen untuk menyandang jabatan fungsional akademik. Puncak karir seorang akademisi adalah menjadi guru besar. Titel pucuk akademik itu diperlukan agar mendapatkan privilese di dunia akademik maupun sosial. Selain itu, agar mendapatkan insentif khusus yang besar pula. 

Padahal, untuk dapat menyandang status guru besar haruslah melewati proses belajar dan tahapan yang ketat. Seperti, penguasaan fokus bidang keilmuan secara komprehensif, sistematis, dan faktual. Selain itu, perlu melewati verifikasi dan pengujian sejumlah karya ilmiah, telaah rekan sejawat (peer review), sertifikasi keilmuan, hingga pengalaman mengajar. 

Tak dipungkiri, pergeseran orientasi kampus menimbulkan sebuah mudarat yang tidak dapat disepelekan, yaitu tentang matinya kepakaran. Dalam artian, para pakar yang tidak benar-benar menguasai bidang ilmu pengetahuannya.  

Selain itu, istilah matinya kepakaran juga merujuk ke tesis kedua Tom. Yakni, fenomena masyarakat yang menghiraukan ilmu pengetahuan bahkan menolak fakta yang telah teruji. Fenomena tersebut terjadi, salah satu faktornya, disebabkan adanya segregasi antara kelompok intelektual dan masyarakat.

“Kehidupan perguruan tinggi, khususnya di kampus-kampus bergengsi, kerap terpisah dari masyarakat. Dan ketika pemuda dan kelompok intelektual terpisah dari dunia nyata, hal-hal aneh dapat terjadi,” hlm. 88.

Kelompok intelektual yang masif melakukan pelanggaran akademik, secara eksplisit mengikis kepercayaan publik. Pun, para pakar yang dengan jalan pintas tanpa menghiraukan ketatnya proses akademik, berkompetisi untuk menyandang titel guru besar. Demikian, apakah publik dapat percaya dengan para pakar lancung tersebut?

Tentu saja tidak. Publikasi ilmiah yang bertujuan praktis, sekadar mengejar jabatan fungsional akademik, mencari privilese, dan insentif menafikan amanat Tri Dharma itu sendiri. Yaitu, penelitian yang bertujuan untuk memberikan pencerdasan dan kemaslahatan kepada masyarakat. 

Bila segregasi dibiarkan terus terjadi tanpa adanya pencegahan, masyarakat akan terus terombang-ambil dalam ketidaktahuan. Padahal, salah satu tanggung jawab moral kelompok intelektual dan pakar adalah memberikan pencerdasan lewat pendidikan kepada masyarakat. 

Ketidaktahuan akan membuat masyarakat semakin bebas dan liar menafsirkan suatu fenomena tanpa didasari rasionalitas dan verifikasi yang ketat. Sebagai gambaran, apa yang terjadi di media sosial kini yang hanya sekadar mencari atensi tanpa diperkuat dengan data atau informasi secara lengkap dan aktual.  

Dampaknya, akan membuat masyarakat terjangkit bias informasi yang berakibat terjadinya fenomena “perang komentar”. Fenomena itu hanya membuat bising di telinga dan pusing kepala karena masyarakat bebas beropini, mengemukakan pendapat, dan mengkritisi satu sama lain secara tidak cermat karena tanpa didasari dengan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, solusi untuk mencegah matinya kepakaran adalah membangun kembali budaya akademik di kampus dan memberantas segala praktik pelanggaran akademik. Khususnya, komersialisasi kampus harus dihentikan karena menjadi sumber masalah bagi  berlangsungnya perkembangan ilmu pengetahuan. 

Buku ini menarik untuk dibaca karena dapat menambahkan basis pengetahuan yang ada pada diri kita ihwal fenomena matinya kepakaran. Tak hanya itu, buku ini secara implisit mendorong kita untuk tetap semangat mengembangkan ilmu pengetahuan dan berdialektika secara sehat.

Namun, kekurangan buku ini adalah tidak disajikannya gambaran mengenai era universitas yang membaur dengan masyarakat secara menyeluruh dan tingginya perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, tak disajikannya data secara kuantitatif yang mendukung besaran masyarakat yang menolak kepakaran pada konteks buku ini ditulis. 

Ditambah lagi, buku ini seakan menganggap individu yang mengkritisi data dan fakta teruji adalah bagian dari matinya kepakaran. Sekalipun individu itu memiliki argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi

Editor: Ragil Firdaus