4 gedung kuliah baru yang rencananya bisa dipakai di semester 121 dan 122, akan menyediakan ruang untuk publik yang aksesnya berbayar. Hal ini merupakan efek PTN-BH.
Dengan semangat menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai bagi sivitas akademika, UNJ bekerja sama dengan Saudi Fund for Development (SFD). Hal ini tertuang di dalam Loan Agreement (LA) SFD Nomor 11/740. LA, Berlaku efektif dari tanggal 13 Juni 2019 hingga 31 Desember 2024.
Terdapat beberapa fasilitas yang menjadi sasaran objek pembangunan. Melansir laman unj.ac.id, pembangunan akan ditujukan pada 4 gedung yang terdiri dari 10 lantai. Tiap gedung diperuntukan untuk ruang kelas pembelajaran, laboratorium, studio, workshop, ruang pengelolaan, ruang rapat, ruang pertunjukan dan beberapa fasilitas pendukung/penunjang kegiatan sivitas akademika.
Pembangunan juga akan menyasar gedung Pusat Pengembangan Pendidikan Karakter yang terdiri dari 5 lantai. Gedung ini digunakan sebagai ruang pelatihan, ruang pengelolaan, ruang rapat, aula, masjid, serta beberapa fasilitas penunjang/pendukung kegiatan sivitas akademika.
Di tengah lajunya pembangunan ini, mahasiswa UNJ tidak sabar menunggu kepastiannya. Salah satunya ialah Mahasiswa Sastra Indonesia, FBS, UNJ, Ikrimatul Fu’adah. Dirinya ingin menggunakan fasilitas di gedung baru secepatnya karena banyak kegiatan praktikum seperti latihan teater. Bagi Ikrimatul, dengan adanya fasilitas di gedung baru, akan membuat mahasiswa Prodi Sastra Indonesia lebih maksimal dalam mengaktualisasi dirinya.
“Karena sudah bayar UKT dengan mahal, cukup disayangkan kampus tidak menghadirkan fasilitas yang dapat dirasakan mahasiswa, ” tuturnya (2/7).
Berpindah ke rumpun lain, Mahasiswa Prodi Akuntansi, FE, UNJ, Muhammad Fatur merasa serupa dengan Ikrimatul. Fatur mengklaim kelas yang dilaksanakan secara luring jauh lebih efektif ketimbang daring. Hal ini dikarenakan baginya, proses relasi di ruang kelas bisa dicerna dengan mudah, semisal ketika dosen memberikan materi kuliah, hingga diskusi kelompok dengan teman-teman.
Untuk harapan gedung baru, Fatur ingin cepat-cepat segera dirampungkan dan bisa langsung dipakai. Walaupun dirinya tidak terlalu sering menjalani kuliah daring, kira-kira sekitar 1 saja dari 5. Namun, ia menyebutkan sebagai mahasiswa UNJ akan rugi jika tidak merasakan gedung kuliah baru sebelum lulus.
“Semoga bisa cepat selesai, kami sebagai angkatan 2021 ingin berkuliah di gedung baru,” ujarnya (3/7).
Kepastian dan Beberapa Ruangan yang komersial
Manajer Proyek SFD, Ja’far Amiruddin menanggapi hal ini. Dirinya bilang, gedung-gedung yang sedang dibangun akan dirampungkan dengan tanggal yang berbeda. Tower A dan B, paling tidak bisa digunakan pada semester 121. Sedangkan Tower C dan D, bisa digunakan pada semester 122.
Perpindahan yang berbeda ini disebabkan masih dibutuhkannya pengecekan keselamatan di seluruh titik gedung. Sebab lainnya, pemindahan alat-alat di tiap gedung fakultas lama ke gedung baru membutuhkan waktu tidak sebentar.
Ja’far melanjutkan, gedung-gedung ini tidak diperuntukkan pada satu fakultas saja. Dalam penjelasannya, gedung baru mengadopsi prinsip berkelanjutan. Ia mengartikan prinsip ini dengan kebebasan tiap sivitas akademika yang harus berbagi ruangan secara bersama di dalam satu gedung.
Jika diibaratkan, cara kerja gedung baru sama dengan Gedung Raden Ajeng Kartini (GRK) dan Gedung Dewi Sartika (GDS). Tiap prodi bisa jadi berebut untuk mendapatkan ruangan.
“Tidak bisa menampik, karena hybrid learning sudah menjadi mode sehabis masa Covid, kami akan mempertimbangkan kembali kuliah untuk dijalankan luring sepenuhnya. Supaya, sirkulasi penempatan ruangan bisa maksimal terisi,” ujarnya (29/5).
Perebutan ini tidak hanya di dalam tataran sivitas akademika, namun publik juga bisa melakukannya. Hal ini dikarenakan efek pembaruan gedung kuliah baru dengan menghadirkan ruangan yang bisa diakses oleh publik. Akan ada pembeda kata Ja’far, di mana ruangan yang hanya bisa digunakan oleh sivitas akademika dan bisa diakses berbayar oleh publik. Ja’far menuturkan, kalau sivitas akademika UNJ ingin menggunakan ruangan yang hanya bisa diakses oleh publik, maka juga harus merogoh kocek.
Ruangan yang nantinya bisa diakses publik tersebar di tiap gedung baru. Dalam perkataannya, ruang-ruang itu diantaranya adalah ruang perkuliahan umum, ruang diskusi, ruang rapat, auditorium, aula, dan lain-lain. Ja’far menegaskan hal ini dilakukan supaya universitas bisa mencari dana.
“Merawat fasilitas kampus butuh uang yang tidak sedikit. Kami melakukan tindakan ini supaya UKT tidak naik. Mahasiswa tidak mau kan dinaikan UKT nya?” pungkasnya.
Semakin Dekat Dengan PTN-BH
Terkait komersialisasi ruangan, keseriusan dalam melaksanakan hal tersebut dapat dilihat di Rencana Pengembangan Jangka Panjang (RPJP) UNJ 2020-2045. Pada Bab II yang bertajuk Analisis Kondisi dan Lingkungan, terdapat beberapa poin ideal ketika UNJ menjadi PTN-BH. Salah satunya terletak di sub-bab Sarana dan Prasarana.
Di sub-bab itu, latar belakang semangat UNJ untuk mengkomersialisasi beberapa ruangan di gedung baru adalah untuk memperbaiki pendanaan dan pelayanan. Kemudian, hal itu diiringi juga oleh optimalisasi aset.
“Ke depannya, saat UNJ menjadi PTN-BH sarana dan prasarana sudah menjadi penopang kemandirian pendanaan demi pelayanan Pendidikan yang lebih baik lagi. Karena itu, pengembangan sarana dan prasarana ke depan beserta optimalisasi aset harus sejalan dengan semangat dan cita cita Universitas Negeri Jakarta sebagai salah satu calon PTN-BH di Indonesia,” (Hlm 30, RPJP UNJ 2020-2045).
Selain lewat RPJP UNJ 2020-2045, hal ini juga diperkuat oleh tuturan Rektor UNJ, Komarudin. Bukti ini dapat dilihat dari berita LPM Didaktika dengan tajuk “Komarudin Garansi Tidak akan ada Kenaikan Biaya Kuliah Bila Terpilih Kembali (6/7/2023).”
Ia berpendapat kalau UNJ ingin cepat menjadi PTN-BH, maka harus siap dahulu menjadi World Class University (WCU). Untuk menggapai WCU, Komarudin mempraktikan tujuh pilar strategi. Salah satunya ada di tataran optimalisasi aset dan penguatan infrastruktur.
“Ke depan aset ini harus diberdayakan dioptimalisasi dan dibentuk untuk memberikan income generating bagi universitas, karena kita sedang bekerja lebih keras lebih cepat lagi mendongkrak kampus untuk menjadi bereputasi internasional,” kata Komarudin (6/7/2023).
Berpindah ke Yogyakarta, Mahasiswa Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Citra Widyastoto, mengamini jika pasca universitasnya menjadi PTN-BH di tahun 2022, komersialisasi ruangan langsung terasa praktiknya. Ia menuturkan, nyaris semua ruangan yang dikelola langsung oleh birokrasi baik tingkat universitas maupun fakultas, ada biaya sewanya.
Sebagai gambaran, melansir situs resmi BPPU.UNY, terdapat opsi yang dipilih ketika ingin menyewa ruangan. Auditorium UNY semisal, secara fungsi bisa digunakan untuk berbagai macam acara seminar, resepsi, pernikahan, wisuda, reuni, diklat, rapat, dan lain-lain. Jika ingin menyewa auditorium UNY, terdapat perbedaan tarif.
Untuk 7 jam pemakaian Auditorium UNY, tarif umum dikenakan Rp25.000.000, Alumni/ Mahasiswa aktif UNY dikenakan Rp22.500.000, Purna Karya UNY dikenakan Rp 15.500.000, Dosen/ Karyawan UNY dikenakan Rp 12.500.000, dan lain sebagainya.
Citra menuturkan jika dengan banyaknya ruangan yang disewa, sangat memberatkan mahasiswa. Terutama mahasiswa yang aktif berorganisasi dan sering membuat acara, menurutnya sewa ruangan akan mempersulit berbagai kegiatan.
“Ormawa di UNY tidak mungkin sanggup membayar uang sewa, semisal 4 juta dalam sekali penggunaan. Kecuali mereka mendapatkan banyak sponsor dalam melaksanakan kegiatannya,” pungkasnya.
Tidak Mengindahkan Tradisi Intelektual
Founder Social Movement Institute (SMI), Eko Prasetyo, memberikan pandangannya mengenai praktik komersialisasi ruang yang dilakukan oleh universitas PTN-BH. Lewat legitimasi teoritisnya, Eko menjabarkan jika pembedahan mengenai komersialisasi ruang dapat dilihat lewat analisis struktural. Di sini baginya, terdapat kesalahan praktik yang dilakukan pemerintah negara dalam merumuskan kebijakan tata pelaksanaannya ke universitas.
Eko menegaskan, jika pemerintah negara seolah lepas tangan terhadap pendidikan dengan cara mengurangi subsidi ke universitas yang berubah statusnya karena menjadi PTN-BH. Efek dari pemerintah negara yang abai ini baginya, berdampak pada kebingungan universitas dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Di satu sisi, Eko menyayangkan adanya beban ganda yang harus diemban oleh universitas, seperti menjalankan Tridharma dan mencari duit.
Maka dari itu, karena universitas juga membutuhkan duit secara cepat untuk mengelola infrastruktur hingga Sumber Daya Manusia (SDM) di dalamnya, Tridharma dianggap sebelah mata. Tak ayal, praktik semacam komersialisasi di berbagai sektor seperti membuka sewa ruangan dibuka. Hal ini bagi Eko adalah sebuah konsekuensi logis.
“Negara sebenarnya mempercepat kampus kita menjadi industri. Bentuk lepas tangan dalam bentuk subsidi ini bisa dikatakan ketidakmampuan negara dalam mengemban amanat konstitusi,” ucapnya (9/7).
Melalui penilaiannya, jika banyak tempat yang dialihkan menjadi komersial oleh universitas, ruang publik untuk sivitas akademika pun semakin terkikis. Ia mengkhawatirkan jika semakin sedikitnya ruang-ruang yang bisa diakses, mahasiswa tidak bisa terlatih kemampuan intelektualnya untuk berpikir kritis. Dirinya juga tidak membenarkan ketika ruang di universitas banyak di komersil, malah menjadi sesuatu yang normal.
Ketimbang menciptakan sesuatu yang diluar tradisi intelektual, Eko menyarankan universitas harus memikirkan kembali rumusan pengelolaan ekonominya. Semisal ketika kampus masih mengindahkan cara-cara intelektual, kesinambungan antara praktik akademik dengan arena komersial bisa dijembatani lewat pengembangan temuan dan riset. Nantinya dari praktik ini bagi Eko, selain menjadi ladang untuk mencari modal, temuan dan riset bisa digunakan kebermanfaatannya bagi mahasiswa atau rakyat sekalipun.
Ada pula dalam solusi lain, pemerintah negara perlu mempertimbangkan kembali kucuran subsidi. Bagi Eko terdapat ketimpangan antara subsidi negara ke sekolah kedinasan dan negeri. Di sini, ia menyarankan pengurangan subsidi untuk sekolah kedinasan dan memperbanyak ke universitas negeri.
“Di tengah suasana pendidikan yang komersial ini, mahasiswa malah dikonstruksi menjadi konsumen, bukan peserta didik. Ini adalah kemunduran intelektual bangsa kita,” pungkasnya.
Reporter/ Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Ezra Hanif