Tidak sesuainya penggolongan UKT menjadi masalah menahun, kampus terus berlindung di bawah mekanisme sistem.

Dian Triana Putri hanya bisa pasrah ketika pengajuan banding Uang Kuliah Tunggal-nya (UKT) ditolak. Dirinya mendapat UKT sebesar Rp4.600.000 atau masuk golongan IV. Ia bercerita, saat itu permintaannya langsung ditolak mentah-mentah. Pasalnya, pihak Admisi UNJ menyatakan besaran UKT tersebut bersifat final.

“Waktu itu datang bersama kakak dan mama, langsung ditolak. Katanya sudah final,” ujarnya saat ditemui tim Didaktika pada Senin (30/9).

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada 2022, Dian menahan keinginannya untuk kuliah dan langsung mencari kerja. Selama dua tahun bekerja, ia menyisihkan hasil keringatnya untuk ditabung. Hingga tiga bulan lalu Dian memutuskan keluar dari pekerjaannya, kemudian ikut tes Penerimaan Mahasiswa Baru (Penmaba) UNJ.

Dian dinyatakan lulus sebagai mahasiswa baru UNJ angkatan 2024. Diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dirinya mengaku senang kala itu. Bukan tanpa sebab Dian memilih jurusan tersebut. Pasalnya, ia berharap bisa mengembangkan minat dan mengejar impiannya setelah berkuliah.

“Aku suka masak dan berinteraksi dengan orang-orang. Dapat info juga dari teman kakak yang lulusan PKK, sekarang bekerja di Kementerian Sosial,” imbuhnya.

Iklan

Bersama ibunya, Dian mengisi data diri di laman Sistem Informasi UKT (SIUKAT) UNJ. Kemudian ia mengisi data diri, pendapatan orang tua, aset, tagihan listrik, dan tanggungan lain. Ia juga memilih tidak membayar IPI atau opsi Rp0.

Syahdan, keceriaannya mulai pudar ketika hasil golongan UKT-nya diumumkan. Besaran UKT yang diterima terlalu berat baginya dan keluarga. Musababnya, ayahnya yang sudah pensiun kini hanya dapat pesangon Rp2.000.000 setiap bulan.

Baca juga: Ketidakpastian di Malioboro: Relokasi PKL yang Merugikan

Dian dan ibunya hidup mengandalkan pesangon tersebut. Apalagi, Ayah Dian menderita sejumlah penyakit dan kerap bolak-balik ke rumah sakit.

“BPJS ayah hanya menanggung biaya obat-obatan, untuk rawat inap dan berobat jalan tidak,” ungkap Dian.

Beruntung, nafas perkuliahan Dian di semester ini terselamatkan oleh tabungannya. Namun, nasibnya ke depan masih kabur. Sudah sejak awal perkuliahan ini, Dian mengaku kelimpungan agar bisa bayar UKT di semester berikut.

“Lagi ikut seleksi beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) dan cari kerja paruh waktu, mudah-mudahan bisa dapat,” pungkasnya.

Dian bukan satu-satunya mahasiswa baru yang merasa golongan UKT-nya tak sesuai dengan kemampuan ekonomi. Berdasarkan survei dari LPM Didaktika, sebanyak 32,8 persen atau 1.453 dari 4.324 mahasiswa baru mengalami ketidaksesuaian golongan UKT.

Jika dirinci,  29,29 persen atau mayoritas dari penghasilan orang tua mahasiswa baru sebesar Rp1-3 juta. Lalu, disusul oleh mereka yang orang tuanya berpenghasilan Rp3-5 juta sebesar 28,44 persen. 

Survei juga memperlihatkan kebanyakan mahasiswa baru mendapat golongan III dan VI, masing-masing sebanyak 1.482 dan 1.189 orang. Sebagai informasi, rata-rata besaran UKT golongan III adalah Rp5.300.000. Sementara itu, rata-rata besaran UKT golongan VI adalah Rp8.500.000.

Iklan

Jika dilihat berdasarkan penghasilan, sebanyak 342 mahasiswa yang penghasilan orang tuanya Rp500.000 – Rp1 juta mendapat golongan III, paling banyak kedua setelah mereka yang berpenghasilan Rp1 – 3 juta mencapai 815 orang. Sementara mahasiswa dengan penghasilan orang tua Rp3 – 5 juta, paling banyak mendapat golongan VI sebanyak 414 orang.

Anomali Penggolongan IPI, Tiba-tiba Tercatut

Sama halnya dengan Dian, mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin, Syafaqil merasa golongan UKT-nya sangat jauh dari kemampuan ekonomi keluarganya. Pria yang kerap disapa Faqil itu dibebani UKT sebesar Rp8.00.000 atau golongan VIII. Tidak hanya itu, ia juga diharuskan membayar biaya IPI sebanyak Rp19.100.000.

Faqil merupakan anak semata wayang, ayahnya bekerja menjadi pengemudi ojek online. Sementara ibunya seorang buruh jahit dengan upah Rp1.500.000 per bulannya.

“Sekarang pendapatan ayah sangat tak tentu, seringkali bawa pulang cuma 10 ribu. Ibu juga bekerja kalau dipanggil saja,” ceritanya saat diwawancarai tim Didaktika pada Selasa (10/9).

Faqil mengaku terkejut ketika golongan UKT diumumkan. Selain mendapat golongan yang tinggi, tercatut kalau dirinya memilih IPI golongan I. Padahal, Faqil ingat betul kalau dirinya memilih opsi Rp0 untuk IPI-nya.

Ia dan ibunya pun bergegas mendatangi Kantor Admisi UNJ. Nahas, pihak Admisi hanya menurunkan besaran UKT-nya hanya sampai Rp 6.100.000. Bagi Faqil, angka tersebut masih tergolong berat.

“Uang dari mana, untuk semester ini saja sudah menghabiskan tabungan keluarga,” katanya.

Parahnya lagi, pencatutan IPI yang didapat Faqil tidak digubris sama sekali. Pihak Admisi UNJ hanya memberi kesempatan dirinya untuk mencicil IPI selama satu semester.

“Mereka menganggap IPI tersebut hasil pilihan saya sendiri, saya pun tidak punya bukti kalau memilih Rp0,” kelakarnya.

Anomali ini tak hanya terjadi pada dirinya. Faqil bersaksi, banyak teman seangkatannya mengalami hal serupa. Menurutnya ada temannya yang sudah memilih IPI Rp0, namun mendapat IPI sebesar Rp40 juta. Sampai berita ini diterbitkan, tim Didaktika menemukan empat orang lainnya mengalami hal serupa.

Salah satunya adalah teman sejurusan Syafaqil, Fadli Zil Akram. Setelah gap year selama dua tahun, ia bersama adik dan saudara sepupunya memutuskan ikut Penmaba UNJ. Dirinya mengaku, keputusannya untuk lanjut kuliah didorong oleh keinginan ibunya.

“Waktu itu ibu saya bernazar, akan membuat selamatan kecil-kecilan jika salah satu dari kami ada yang lolos,” kenangnya.

Fadli ternyata menjadi satu-satunya yang lolos. Anak ketiga dari lima bersaudara itu pun mengisi SIUKAT UNJ. Namun, ia cemas ketika golongan IPI-nya tercatut Rp19.100.000. Padahal dirinya mengaku memilih opsi Rp0. Ia dan kakaknya mendatangi Admisi UNJ, nasibnya tak jauh berbeda dengan Syafaqil.

Fadli merasa nasib perkuliahannya di ujung tombak. Jika sampai putus kuliah, menurutnya ia akan luntang-lantung. Pasalnya, Fadli mengaku tidak mudah mencari pekerjaan.

Ayah Fadli telah lama meninggal dunia. Sementara ibunya adalah pemasang kancing rumahan. Dalam seminggu, jika beruntung sedang banyak pesanan, ibu Fadli bisa mengumpulkan Rp500.000 per bulan.

“Gak tahu deh semester depan masih bisa lanjut atau tidak, saya siap kalau harus luntang-lantung,” ujarnya.

Berlindung di Balik Sistem

Rektor UNJ, Komarudin memandang adanya indikasi kesalahan sistem dalam penentuan golongan UKT. Menurutnya, hal ini menjadi penyebab fenomena ketidaksesuaian golongan UKT di kalangan mahasiswa baru.

“Memang bisa jadi ada kesalahan sistem, kami berjanji akan perbaiki supaya UKT di UNJ bisa berkeadilan,” ujarnya saat diwawancara tim Didaktika di sela acara UNJ Bicara, pada Senin (30/9).

Sementara itu, Kepala Kantor Admisi UNJ, Agung Premono menilai tidak adanya kesalahan sistem. Menurutnya, penentuan golongan linear dengan data yang telah diinput di SIUKAT UNJ. Agung mengatakan, ketidaksesuaian terjadi karena kesalahan input oleh mahasiswa.

“Sistem tidak berubah, jadi ini kesalahan orangnya yang mengisi. Kalau mengisi A pasti yang keluar A, semua sesuai dengan pendapatan dan tanggungan,” ujarnya saat ditemui tim Didaktika (23/10).

Bagi Agung, jika pengisian SIUKAT UNJ dilakukan dengan jujur, maka besaran UKT yang didapatkan sesuai dengan kemampuan ekonomi. Meskipun begitu, ia mengaku, kecil kemungkinan mahasiswa mendapat UKT golongan I atau II jika penghasilannya di kisaran Rp1.000.000. Adapun nominal UKT golongan I adalah Rp500.000, sedangkan golongan II sebesar Rp1.000.000.

Baca juga: Omong Kosong Ruang Aman Perempuan

Lanjut Agung, mahasiswa biasanya tidak mendapat kedua golongan UKT itu diakibatkan — meski dirinya juga ragu — tak dilampirkannya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ataupun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) saat mengisi SIUKAT. Dengan demikian, tambahnya, banyak mahasiswa berpenghasilan di bawah Rp500.000 juga tetap mendapat golongan III. 

Seringkali juga, kata Agung, mahasiswa baru mendapatkan golongan III dikarenakan terdaftar Kartu Jakarta Pintar (KJP). Dengan begitu, Agung menganggap mereka yang terdaftar KJP sudah pasti akan mendapat beasiswa KJMU..

“Kalau dasarnya sudah berpenghasilan memang susah dapat (golongan) I atau II, tetapi kalau melampirkan SKTM atau DTKS Insyaallah bisa dapat golongan rendah, tidak pasti tetapi biasanya begitu. Mohon maaf juga bagi yang terdaftar KJP, kan nanti UKT-nya dibayarin pemerintah, ngapain diturunin” ucapnya.

Agung pun menanggapi banyaknya mahasiswa mendapatkan UKT golongan VI. Menurutnya, hal itu terjadi karena kesalahan mahasiswa saat mengisi SIUKAT UNJ. Tambahnya, mahasiswa baru kerap terkecoh ketika memilih opsi antara golongan rendah dan golongan tinggi yang berkisar dari golongan VI sampai VIII.

Dengan alasan sama, Agung juga membantah kesalahan sistem yang mencatut IPI secara otomatis. Ia pun menantang mahasiswa yang merasa memilih IPI Rp0 tetapi kemudian dibebankan biaya, seperti dialami Syafaqil dan Fadli, bisa datang langsung ke Admisi UNJ.

“Ini resiko hidup dengan mesin, ketika salah klik ya itulah kekejaman teknologi. Tetapi jika merasa ada kesalahan, nanti bisa dicek rekam jejak digitalnya di Admisi,” paparnya.

Senada, Staf Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Sumber Daya, Achmad Fauzi mengatakan tidak ada yang salah dengan sistem penentuan golongan UKT. Meskipun dirinya juga tak menampik adanya ketidaksesuaian di kalangan mahasiswa baru, khususnya dari jalur Penmaba UNJ.

Musababnya, ia mengaku mendapat arahan dari rektor agar tidak mensosialisasikan terkait   pengajuan sanggah UKT dan IPI bagi mahasiswa baru jalur Penmaba UNJ di semester ini. Fauzi mengatakan, hal ini disebabkan jarak waktu yang berdekatan antara pengumuman UKT mahasiswa jalur Penmaba UNJ dengan masa Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB).

Dengan demikian, tidak semua bisa mendapat keringanan. Fauzi juga berjanji akan membuka akses sanggah UKT di semester depan.

“Nanti di semester depan, kami harap teman-teman mahasiswa sekalian bisa membantu jika ada yang keberatan untuk datang ke Rektorat atau Admisi, agar semuanya mendapat keadilan,” pungkasnya.

Penulis/ Reporter: Ezra Hanif
Editor: Andreas Handy