Masyarakat Indonesia memperingati Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Peringatan itu akan ramai bermunculan di platform media sosial maupun lingkar obrolan masyarakat. Membahas mengenai perjuangan ibu hingga pentingnya mencintai dengan sepenuh hati perempuan yang telah melahirkan anaknya.
Akan tetapi, pernahkah kita bertanya-tanya mengapa Hari Ibu selalu diperingati setiap tanggal 22 Desember? Adakah sesuatu yang melatarbelakanginya sampai tanggal tersebut menjadi istimewa?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kiranya perlu terlebih dahulu menelisik secara historis apa yang melatarbelakangi peringatan Hari Ibu. Bertolak ke awal abad ke-20, konteks sejarah kala itu — Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda — sedang terjadi politik etis terhadap pribumi Hindia Belanda yang kehidupannya tertindas akibat penjajahan oleh Belanda. Poin penting dari kebijakan tersebut, yakni pihak Kolonial membuka akses pendidikan bagi pribumi Hindia Belanda. Walaupun pada praktiknya, hanya pribumi dari kelas priyayi yang dapat mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Bila merujuk ke buku berjudul Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi, menggambarkan bahwa pada awal abad ke 20, sekelompok pribumi priyayi terpelajar mulai terbentuk pandangan kritis mengenai konsep kebangsaan atau nasionalisme. Pandangan itu menjadi landasan para pelajar pribumi melakukan perjuangan untuk membebaskan tanah airnya dari penjajahan Belanda.
Berlandaskan nasionalisme, sekelompok pelajar mulai membentuk sebuah perkumpulan atau organisasi pergerakan nasional. Misalnya, organisasi Boedi Oetomo, Sarekat Islam, hingga perkumpulan pendidikan semacam Taman Siswa.
Begitu pun dengan para perempuan terpelajar kala itu, turut mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Organisasi perempuan yang terbentuk yaitu Poetri Mardika, Aisyiah, ataupun Wanita Oetomo. Untuk mewujudkan emansipasi perempuan, ketiga organisasi tersebut menilai bahwa pendidikan adalah kunci mewujudkan emansipasi perempuan. Alhasil, jamak berdiri sekolah tempat perempuan belajar seputar kognitif maupun keterampilan.
Hari Ibu adalah Titik Sejarah Perjuangan Perempuan
Sejarah perjuangan perempuan adalah perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan di dalam kehidupan sosial. Sebagaimana yang diilhami oleh Raden Ajeng Kartini, bahwa perempuan haruslah mendapat pendidikan dan tidak boleh terkungkung dalam budaya ihwal perempuan hanya mampu mengurus kerja-kerja rumah tangga. Alih-alih perempuan dapat mengaktualisasi dirinya agar mampu berperan aktif dalam kehidupan sosial.
Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, menyoroti bagaimana perempuan, termasuk Kartini sendiri, kerap masih dibatasi akses terhadap pendidikan. Kartini tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke Belanda karena ayahnya menganggap perempuan seharusnya fokus pada urusan rumah tangga. Selain itu, Ia juga melihat perempuan di lingkungannya hanya dijadikan istri simpanan atau alat tukar agar orang tuanya dapat posisi strategis di perusahaan Belanda.
Dari sebab-sebab di atas, perempuan yang terafiliasi dalam berbagai organisasi perempuan lintas daerah menyelenggarakan Kongres Perempuan I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928, bertempat di Yogyakarta. Wacana yang dibawa dalam kongres tersebut seputar pendidikan bagi perempuan, menolak budaya kawin paksa, hingga peningkatan kesejahteraan ekonomi perempuan.
Selain itu, kongres perempuan tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap Kongres Sumpah Pemuda yang telah dilaksanakan di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Dengan tujuan, untuk menggalang persatuan perjuangan dari seluruh lapisan masyarakat, ras, agama, hingga jenis kelamin.
Baca juga: Paduan Suara Dialita: Air Mata Perjuangan Perempuan Penyintas G30S
Pun dalam Kongres Perempuan I, disepakati pendirian Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) sebagai sebuah wadah perjuangan menuju emansipasi perempuan dan kesetaraan gender. Dus, apabila perempuan Indonesia telah mendapatkan pendidikan yang layak, keadilan ekonomi, dan kesetaraan hak dalam kehidupan sosial, maka akan tercipta generasi penerus bangsa yang cerdas dan kelak Indonesia akan menjadi bangsa yang besar.
Pentingnya kongres terlihat dengan disepakatinya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 Tahun 1959 yang menjadikan Hari Ibu sebagai hari besar nasional.
Kontekstualisasi Peringatan Hari Ibu
Dari pemaparan sejarah di atas, penting untuk akhirnya menghayati peringatan Hari Ibu. Apakah pada dewasa ini para perempuan Indonesia sudah mendapatkan pendidikan yang adil, kesejahteraan ekonomi, dan perlindungan atas kehidupannya?
Perihal pendidikan, masih banyak ditemukan perempuan yang sulit menyelesaikan studinya. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penyelesaian pendidikan bagi perempuan pada jenjang sekolah menengah atas hanya sebesar 69,54%.
Lebih lanjut, merujuk Portal Data Kementerian Pendidikan 2023, jumlah perempuan yang putus sekolah di Indonesia sebesar 20.186 orang. Selain itu, merujuk hasil reportase LPM Didaktika pada Agustus 2024, seorang mahasiswi di Universitas Negeri Jakarta terpaksa mengubur harapannya untuk melanjutkan studi lantaran beasiswanya dicabut.
Dari data tersebut diketahui bahwasanya perempuan di Indonesia masih sulit untuk menimba pendidikan yang layak dan berkeadilan. Hal itu terjadi karena minimnya ketersediaan sekolah negeri di pedesaan hingga biaya penunjang pendidikan yang mahal.
Pun, mengenai konteks kesejahteraan ekonomi, perempuan dari kelas menengah kebawah masih hidup dalam bayang-bayang kemiskinan. BPS mencatat, pada 2023 sebesar 9,68% perempuan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.
Baca juga: Perempuan dalam Gerakan Feminisme: Sebuah Usaha Dekonstruksi
Perempuan juga masih mendapatkan diskriminasi di dunia kerja, seperti upah pekerja perempuan lebih kecil 43% dibandingkan upah pekerja laki-laki. Tidak hanya itu, sulitnya bagi perempuan dalam mengajukan hak cuti haid atau melahirkan seperti yang terjadi pada 2020 silam, buruh perempuan di perusahaan ice cream Aice mengalami keguguran akibat dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan dan tidak mendapat hak cuti melahirkan.
Padahal, apabila menarik hubungan antara pendidikan dan kesejahteraan ekonomi amatlah penting bagi emansipasi perempuan. Sebabnya, apabila perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang layak, maka akan sulit untuk mengembangkan potensi ataupun bakat yang dimilikinya. Sehingga akan sulit berperan aktif di dalam kehidupan sosial.
Hal itu juga berkaitan erat bagaimana perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Karena pada dewasa ini, semakin tinggi jenjang pendidikan, peluang mendapatkan pekerjaan dengan upah layak semakin besar.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Ibu mendatang, kiranya dapat menjadi momentum untuk memperjuangkan hak dan kepentingan perempuan menuju emansipasi yang nyata. Seorang ibu sekaligus perempuan, haruslah mendapatkan keadilan akses pendidikan dan kesejahteraan hidup demi menciptakan tatanan sosial yang baik.
Dalam mewujudkan hal itu, seluruh masyarakat, khususnya perempuan, perlu membentuk sebuah organisasi yang kuat sebagai wadah perjuangan emansipasi perempuan. Dengan menganalisis akar permasalahan — seperti penjelasan di atas — yang menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan dalam hidup. Ketika organisasi perempuan yang kuat dan besar sudah terbentuk, maka tujuan emansipasi perempuan pun akan terwujud.
Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Devita Sari