Sumber ilustrasi: poster film dokumenter Lagu untuk Anakku
Judul film: Lagu untuk Anakku
Sutradara: Shalahuddin Siregar
Tahun terbit: 2022
Durasi film: 1 jam 38 menit
Setiap tanggal 1 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Pancasila, di mana para pelajar hingga pegawai pemerintah wajib mengikuti upacara seremonial tersebut. Sebagai bentuk penghormatan terhadap pembunuhan tujuh perwira militer angkatan darat yang menjadi korban Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Namun, upacara sakral setiap tanggal 1 Oktober tidak pernah diperingati sebagai titik kelam sejarah Indonesia. Pasalnya, peristiwa G30S menyebabkan ribuan bahkan jutaan orang kehilangan kehidupannya. Terabaikan, bagai bulan tertutup awan.
Bila menukil catatan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65), sebanyak tiga juga orang menjadi korban pembunuhan massal imbas G30S. Selain itu, terdapat ratusan orang dipenjara, dibuang ke kamp konsentrasi, hingga dicabut kewarganegaraannya akibat menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), bergabung dengan organisasi sayapnya, ataupun dianggap berafiliasi dengan partai berlogo palu arit tersebut. Operasi berdarah nan kelam itu dipimpin oleh Sarwo Edhie Prabowo — selaku Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) — atas titah Mayor Jenderal Soeharto.
Dalam narasi Orde Baru, PKI dianggap sebagai dalang utama G30S karena ingin melakukan kudeta militer dengan tujuan mengganti Pancasila dengan ideologi komunisme sebagai haluan negara. Syahdan, orang-orang yang memiliki hubungan dengan PKI akan ditangkap dan dibunuh. Dengan tujuan, Orde Baru dan kroninya mendapat kekuasaan dengan memberangus paham komunisme sampai ke akarnya.
Kisah kelam tersebut tergambar dalam film dokumenter Lagu untuk Anakku, yang mengisahkan kehidupan para perempuan korban peristiwa 1965 yang dipenjara hingga dibuang ke kamp konsentrasi selama puluhan tahun. Perempuan-perempuan dalam film tersebut menjalani hidup dengan penuh kesengsaraan, dipisah paksa dari keluarganya, hingga kehilangan masa depan cerah.
“65 itu merupakan kehancuran bagi cita-cita kami sekeluarga,” kalimat pembuka film Lagu untuk Anakku.
Utati misalnya, bercerita awal mula dirinya berkegiatan di sebuah organisasi hingga dirinya ditangkap. Utati bercerita, ketika pindah ke Jakarta, dirinya ditawari untuk menjadi anggota Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat adalah sebuah organisasi yang memiliki tugas menyebarkan paham Marxisme — sebuah paham mengenai sebab-sebab penindasan manusia — kepada rakyat kelas bawah. Selain itu, Pemuda Rakyat juga memberikan pendidikan politik ke masyarakat agar memahami realitas kehidupan mereka.
Dalam film itu menyebutkan, karena aktif berkegiatan di Pemuda Rakyat, pada medio 1967, saat umurnya yang ke-23, Utati ditangkap dan kemudian dibawa ke kantor polisi setempat. Setelah itu, Utati mengaku diinterogasi dengan cara kekerasan dan dipaksa mengakui keterlibatannya dalam PKI. Naasnya, Utati dijebloskan ke dalam penjara selama sebelas tahun tanpa pernah dibawa ke pengadilan.
Baca juga: Menyelami Gerakan BTI: Ketika Negara Bergantung kepada Petani dalam Memperluas Akses Pendidikan
Nasib sama menimpa Heryani. Dengan raut wajah penuh kesedihan, perempuan itu menceritakan pengalaman pahit saat dirinya ditangkap dan ditahan di Kamp Ambarawa. Heryani saat itu tak pernah tahu secara pasti kapan ia akan dibebaskan dari Kamp Ambarawa.
Heryani turut terlibat dan ditangkap karena sang suami — Busono Wiwoho — aktif berkegiatan di Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Sebuah organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI dan berisi akademisi progresif yang memiliki pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan bagi kepentingan seluruh rakyat.
Walhasil, karena kegiatannya itu, suami Heryani dipecat dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Heryani kehilangan keluarga, kehidupan, dan masa depan cerahnya secara paksa tanpa pernah diadili.
Untuk bertahan dan menemukan seberkas harapan, Heryani selalu bernyanyi dan berkesenian di balik suramnya Kamp Plantungan. Dari balik Kamp Plantungan itulah, Heryani bersama rekannya menciptakan sebuah tembang berjudul Lagu untuk Anakku. Sebagai bentuk kerinduan sekaligus simpati atas nasib ribuan anak Indonesia yang kehilangan keluarganya karena peristiwa pembunuhan dan kriminalisasi yang terjadi.
Duka derita kubawa setia
Cinta dan cita lahirlah semua
Menyinari hari mendatang, sayangku
Jadilah putra harapan bangsamu
(Penggalan lirik Lagu untuk Anakku)
Untuk merekam masa-masa kelam tersebut, pada Desember 2011, para perempuan paruh baya penyintas peristiwa ’65 bersolidaritas dengan mendirikan sebuah kelompok Paduan Suara Dialita. Syahdan, Dialita menghimpun ulang serpihan naskah lagu yang pernah dibuat selama berada dalam penjara maupun kamp konsentrasi.
Tujuannya, untuk memberikan kepingan-kepingan harapan bagi para korban dan keluarga penyintas ‘65 agar tabah dan semangat dalam menjalani hidup. Walaupun dipenuhi ingatan masa kelam yang berujung rasa trauma, Dialita tetap berjuang menyebarkan kebenaran sejarah melalui lantunan merdu lagu-lagunya.
Lebih lanjut, mengutip perkataan Bung Karno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Bagi para anggota Dialita, perjuangan untuk menyebarluaskan sejarah kelam ‘65 kepada generasi muda adalah hal terpenting. Supaya generasi muda Indonesia dapat memahami sejarah Indonesia sebaik mungkin dan memiliki simpati terhadap rasa kemanusiaan. Sebab, sejarah ‘65 dari sudut pandang penyintas kerap disembunyikan bahkan dianggap sebagai sebuah kebohongan.
Salam harapan, padamu kawan,
Semoga kau tetap sehat sentosa.
Bagai gunung karang di tengah lautan,
Tetap tegar didera gelombang.
(Penggalan lagu Salam Harapan — Dialita).
Film ini tentunya sangat menarik untuk ditonton oleh masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Alasannya, karena film Lagu untuk Anakku berisi pengetahuan sejarah dari para penyintas peristiwa ‘65 yang selama ini selalu ditutupi oleh propaganda Orde Baru. Selain itu, film ini mengajari kita tentang humanisme hingga perlawanan terhadap penindasan penguasa.
Namun, bagi penulis, kekurangan film ini tidak menyajikan keterangan sejarah ihwal aktor-aktor yang diduga terlibat dalam pembunuhan massal 1965 – 1967. Selain itu, film ini tidak menyajikan keterangan dari pakar sejarah untuk menguatkan pandangan akan peristiwa 1965.
Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Zidnan Nuuro