Judul buku: Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru
Penulis: Andrew Gross
Penerbit: Komunitas Bambu, 2014
Jumlah halaman: xvi + 344 hlm
ISBN: 978-602-9402-32-2
Istilah ilmuwan merujuk kepada orang-orang yang bergulat dengan pembelajaran untuk mengembangkan cakrawala pengetahuannya. Seseorang bisa dikatakan sebagai ilmuwan apabila melahirkan sebuah produk teori, karya ilmiah ataupun penemuan berbasis pengetahuan yang ia punya.
Lebih dari itu, beberapa ilmuwan dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya mempunyai pandangan ideal bahwa pengembangan ilmu pengetahuan perlu dititik beratkan kepada kepentingan umum. Sebagaimana orientasi penelitian yang dilakukan oleh aktor-aktor di Himpoenan Sardjana Indonesia (HSI) pada medio 1960an yang memfokuskan penelitian untuk menelisik lebih jauh penyebab ketertindasan petani pada masa itu.
Namun, tak semua ilmuwan memiliki pandangan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan masyarakat. Pun, tak semua ilmuwan dapat mempertahankan idealismenya itu.
Sebagai gambaran, dalam serial One Piece terdapat sosok ilmuwan bernama Dr. Vegapunk yang memiliki kecerdasan luar biasa. Pada awalnya, ia memiliki pandangan bahwa ilmu pengetahuan diperuntukan menciptakan sebuah sumber daya teknologi agar bisa dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat.
Karena mengejar hasrat sebagai ilmuwan terkemuka dan memiliki keterbatasan dana, Dr, Vegapunk akhirnya memilih berkompromi dengan Pemerintah Dunia — yang notabene memiliki uang dan kekuasaan besar. Ia pun melakukan penelitian sesuai dengan anjuran Pemerintah Dunia, seperti menciptakan robot dengan kekuatan super yang bisa menghancurkan kehidupan masyarakat sipil.
Contoh nyata pada serial One Piece itu tertuang dalam buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru, karya Andrew Gross. Ia berupaya menjelaskan sekelompok ilmuwan yang mengklaim membawa idealisme ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan masyarakat. Namun pada akhirnya, hanya mengejar kepentingan pribadi. Selain itu, ia membahas terbentuknya relasi patron – klien antara ilmuwan dengan aktor pemerintahan.
Mengejar Modal Penelitian dan Puncak Karir
Pada abad ke-19, beberapa ilmuwan di Belanda mencoba menempatkan ilmu pengetahuan sebagai tujuan yang bermanfaat bagi publik. Mereka memiliki imajinasi menciptakan masyarakat tercerahkan dengan mendidik sekelompok akademisi elit untuk menjadi motor penggerak kemajuan negara dan masyarakat Belanda.
Andrew menjelaskan karena Belanda saat itu memiliki daerah jajahan, yaitu Hindia Belanda, maka imajinasi ihwal ilmu pengetahuan untuk masyarakat tercerahkan menjalar hingga ke Hindia Belanda oleh sekelompok elit intelektual liberal. Mereka mencermati, masyarakat pribumi Hindia Belanda mengalami kemunduran peradaban dan ilmu pengetahuan akibat penjajahan Belanda.
Oleh karena itu, mereka memiliki pandangan bahwa Belanda memiliki kewajiban terhadap wilayah koloninya untuk membuka akses pendidikan kepada pribumi. Selain itu, pribumi juga harus memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam ranah sosial – politik dan mendapat kesejahteraan ekonomi.
Namun, sebelum pandangan ilmuwan liberal itu berkembang masif di Belanda, sekelompok intelektual telah menyebarkan pandangan tersebut ke Hindia Belanda pada abad ke-18. Kumpulan intelektual itu menamakan dirinya dengan istilah “Apostel Pencerahan”. Mereka memiliki pandangan bahwa ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk meneliti sejarah alam demi kemajuan masyarakat pribumi.
Selanjutnya, sekitar dekade kedua abad ke-19, gagasan pencerahan juga dibawa oleh Franz Junghuhn, seorang naturalis atau ahli Biologi. Di antara medio 1835 dan 1848, Junghuhn melakukan penjelajahan ke berbagai gunung berapi di Jawa, khususnya gunung Gede Pangrango. Bertujuan untuk mendeskripsikan kekayaan alam, bentuk geografis, hingga corak kebudayaan masyarakat pribumi.
Baca juga: Tanda Bahaya Matinya Kepakaran
Karena luasnya cakrawala pengetahuan, terlebih sangat memahami kondisi geografis dan masyarakat pribumi, pada 1856, ia ditawari untuk menjadi kepala proyek aklimatisasi pohon kina oleh Gubernur Jenderal C.F. Pahud menggantikan J.K. Hasskarl. Junghuhn menerima tawaran tersebut dengan alasan Pahud dapat memberinya akses modal, jabatan, dan perlindungan untuk mendukung penelitiannya.
Namun, kegagalan Junghuhn dalam mengembangkan kina mendapatkan kritik keras dari Parlemen Belanda. Sebabnya, Junghuhn tidak berhasil mengembangkan pohon kina yang berkualitas untuk menjadi komoditas ekspor dengan nilai tinggi. Lantas, ia pun dipecat dan pada 1964, posisinya digantikan oleh seorang ahli botani, K.W. van Gorkom. Alhasil, pada 1973 hingga 1880-an pohon kina berhasil membawa keuntungan besar bagi kolonial.
“Raja Willem I dan para penasihatnya berusaha mengembangkan sistem administratif yang dapat mengeksploitasi potensi pertanian koloni. Dengan tujuan khusus ini, sang raja giay memperkerjakan para naturalis dan menggunakan kemampuan mereka dalam mempelajari sebanyak mungkin potensi kekayaan alam koloni,” halaman 41.
Bertolak dari Junghuhn, gagasan pencerahan juga dikampanyekan oleh seorang botanikus bernama Melchior Treub pada medio 1880. Ia percaya bahwa pembukaan akses pendidikan bagi pribumi dapat membawanya ke pencerahan dan memimpinnya dengan ilmu pengetahuan. Dus, Treub meyakini, hal tersebut juga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup pribumi.
Namun, karena posisi Treub sebagai Direktur Taman Nasional Buitenzorg (Bogor) dan di bawah kendali pemerintahan kolonial Belanda, idealisme Treub memudar. Segenap penelitiannya yang berorientasi mengembangkan sektor pertanian pribumi hanyalah skema untuk mengeksploitasi sumber daya alam koloni secara lebih luas.
Bualan Ihwal Gagasan Pencerahan dan Politik Etis
Dari penjelasan sejarah di atas, penulis teringat ketika membaca buku Mazhab Frankfurt karya Tom Bottomore, di dalamnya memuat kritik terhadap aliran rasionalitas instrumental. Istilah itu diungkapkan oleh Max Horkheimer yang berpendapat bahwa rasionalitas instrumental — turunan dari pemikiran positivisme — mereduksi peran ilmu pengetahuan hanya berdasarkan kaidah ilmu eksakta, dan mengabaikan peran ilmu sosial dan kajian historis.
Selain itu, rasionalitas sebagai landasan berpikir manusia, hanya dimanfaatkan untuk menafsirkan pengetahuan demi keuntungan pribadi, akumulasi kekayaan, dan perkembangan industrialisasi semata. Horkheimer mengkritik proyek gagasan pencerahan karena dianggap gagal mengimplementasikan idealismenya untuk membebaskan manusia dari penindasan kekuasaan. Dus, gagasan pencerahan hanya melahirkan bentuk baru dari dominasi kekuasaan, termasuk eksploitasi sumber daya alam untuk keuntungan ekonomi.
Kembali ke buku Andrew, para ilmuwan-ilmuwan kiranya terjebak dalam belenggu yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam artian, mengikat dan mengontrol ilmuwan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk memuluskan tujuan kolonial.
Syahdan, dari kronik sejarah di atas, para ilmuwan menjadi bagian penting pemerintah kolonial Belanda. Terjadinya patron-klien ilmuwan dengan aktor kekuasaan membuat pengembangan ilmu pengetahuan hanya sekadar mengejar keuntungan kolonial semata. Gagasan pencerahan yang kerap dikampanyekan oleh para apostel pencerahan tampaknya hanya bualan semata.
Dalam mengejar kepentingan pribadinya itu, ilmuwan perlu mencari patron — dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda — yang dapat menyediakan modal ekonomi dan jabatan untuk menjalankan penelitiannya. Terlebih, para ilmuwan (sebagai klien) diharuskan memenuhi kepentingan patronnya untuk mengembangkan penelitian agar dapat mengeksploitasi sumber daya alam koloni dan memanipulasi pribumi Hindia Belanda.
Baca juga: Intelektualitas di bawah Kuasa Negara
Hal demikian tergambar melalui para Apostel Pencerahan, seperti Franz Junghuhn dan Melchior Treub. Mereka pada akhirnya menjadi floracrats atau ilmuwan sekaligus bagian birokrasi pemerintah kolonial. Ketika menjadi birokrat, para ilmuwan tersebut — dengan segenap pengetahuannya — hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan pemerintah kolonial. Selain itu, floracrats merupakan skema yang dilakukan oleh Belanda untuk menundukan idealisme para intelektual.
“Namun, lembaga-lembaga tersebut selalu jatuh ke tangan sponsor dan kendali negara. Para naturalis pun menjadi floracrat, pakar alam milik negara,” halaman 298.
Begitupun ketika kebijakan politik etis diterapkan pada awal abad ke-20, pendidikan yang diberikan Belanda kepada elit pribumi sebenarnya bertujuan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja administrasi yang berkompeten. Sebab, dari medio 1860-an, liberalisasi ekonomi mulai diterapkan dan industrialisasi swasta mulai berkembang.
Tak hanya itu, terdapat kebijakan yang dirumuskan oleh Penasehat Menteri Wilayah Jajahan, C. Snouck Hurgronje, untuk menundukan masyarakat koloni di bawah dominasi Belanda. Kebijakan ini dibuat untuk membuat daftar kelompok elite pribumi berlatang belakang pendidikan Eropa yang berpotensi mengancam pemerintahan.
Pun, pada 1920-an, Belanda mengatur strategi official nationalism untuk mengelabui masyarakat pribumi, khususnya para pelajar. Nasionalisme negara Belanda merupakan ideologi yang membayangkan kendali berkelanjutan Belanda atas koloni dan saat yang sama menciptakan ilusi pendirian bangsa modern.
Pendidikan yang seharusnya bertujuan meningkatkan kesadaran akan realitas masyarakat tereduksi oleh kepentingan kolonial untuk menjaga kestabilan politik dan meraup kekayaan di Hindia Belanda. Walaupun demikian, dari pendidikan Belanda, lahir para tokoh nasionalis yang menjadi motor pergerakan menuju Indonesia merdeka.
“Beberapa ilmuwan, setidaknya, tetap berkomitmen terhadap kemungkinan dan janji ilmu pengetahuan profesional demi menanamkan harapan terciptanya sesuatu yang jauh lebih bermakna dari sekadar laba di wilayah koloni,” halaman 93.
Baca juga: Krisis Kejujuran Akademisi Indonesia
Buku ini menarik untuk dibaca karena dapat menambah wawasan ihwal sejarah pra-kemerdekaan Indonesia. Di mana, gagasan pencerahan berpengaruh dalam melahirkan para aktor pergerakan kemerdekaan. Walaupun pada praktiknya, jamak penganut gagasan pencerahan yang bersikap praktis dan oportunis.
Selain itu, buku ini menerangkan bahwa Indonesia adalah surganya para intelektual, khususnya di bidang biologi. Sebab, Indonesia yang notabene berada di garis khatulistiwa memiliki hamparan hutan hujan tropis yang mengandung kekayaan alam berlimpah.
Namun, kekurangan buku ini tidak secara rinci menerangkan, bagaimana praktik para ilmuwan memanipulasi masyarakat pribumi demi mencapai kepentingan diri sendiri maupun kolonial Belanda. Selain itu, buku ini kurang menjelaskan ihwal situasi ekonomi-politik yang berkembang sehingga menyebabkan belenggu penguasa terhadap para ilmuwan.
Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Annisa Inayatullah