Judul: Etika Akademis
Penulis: Edward Shils
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Cetakan: Pertama, 1993
Jumlah Halaman: 198 hlm
ISBN: 979-461-146-8
Fenomena pelanggaran akademik di Indonesia mulai tercium tajam dalam beberapa bulan terakhir. Satu per satu akademisi dari berbagai universitas terseret kasus dugaan pelanggaran akademik. Salah satu terduga pelaku pelanggaran akademik yang sempat ramai dibicarakan, yakni Kumba Digdowiseiso.
Guru besar Universitas Nasional itu diduga kuat mencatut 24 nama dosen Universiti Malaysia Terengganu (UMT) secara sepihak dalam publikasi ilmiahnya. Di samping itu, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat bahwa Kumba menghasilkan 314 artikel pada tahun lalu. Jumlah artikel sebanyak itu dirasa tidak wajar dihasilkan oleh seorang dosen yang mempunyai kegiatan lain seperti pengajaran.
Terbaru, permasalahan pelanggaran akademik kembali mencuat setelah terbitnya majalah Tempo yang berjudul Skandal Guru Besar Abal-Abal. Dalam majalah itu, diketahui banyak dosen dan pejabat diduga melakukan pelanggaran akademik agar memperoleh gelar guru besar.
Guru besar adalah pencapaian jabatan akademik tertinggi yang bisa didapatkan oleh seorang akademisi. Semakin tinggi jabatan akademisi berbanding lurus pula dengan gaji dan insentif yang diterima dari universitas.
Untuk mencapai guru besar, akademisi dituntut untuk dapat mencapai angka kredit dosen atau KUM sebesar 850. Angka tersebut bisa didapat melalui tridharma perguruan tinggi berupa pengajaran, pengabdian, dan penelitian.
Di antara ketiga hal tersebut, pelaksanaan penelitian dengan menghasilkan karya ilmiah memiliki nilai KUM yang paling besar. Oleh karena itu, banyak akademisi melakukan pelanggaran akademik dalam pembuatan karya ilmiah agar mereka mudah menyandang gelar guru besar.
Jauh sebelum pelbagai pelanggaran integritas akademik terjadi di Indonesia, Profesor Universitas Chicago, Edward Shils telah mengantisipasi hal tersebut terjadi. Dalam bukunya yang berjudul Etika Akademis, Shils banyak menjelaskan tentang etika ataupun sikap yang harus dimiliki seorang akademisi.
Kebenaran Pengetahuan adalah Hak Masyarakat
Bagi Shils, tugas utama seorang akademisi adalah penguasaan dan penyebaran terhadap ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dikuasai dan disebarkan oleh akademisi tentunya harus dilandasi dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebenaran itu tentunya berkaitan erat dengan integritas, independensi, dan kejujuran akademisi.
Lanjut Shils, perkembangan suatu ilmu pengetahuan ditopang dengan kadar penelitian yang dilakukan para akademisi. Ilmu Pengetahuan akan mandeg jika akademisi melakukan penelitian yang abal-abal, apalagi hasil plagiasi dari karya ilmiah yang sudah ada. Maka dari itu, akademisi harus mempunyai integritas dalam melakukan penelitian.
Shils kemudian menyadari kredensial (hasil dari verifikasi kompetensi) seorang akademisi lebih mudah diukur dari kuantitas dibanding kualitas karya ilmiahnya. Oleh karena itu, daftar publikasi menjadi sangat penting sebagai kriteria pengangkatan jabatan dan gelar bagi dosen.
Tak heran banyak didapati seorang dosen yang pandai mengarang bisa menerbitkan artikel asal. Hal ini menjadi masalah besar yang akan menimbulkan pelbagai kecurangan. Padahal, publikasi karya ilmiah seharusnya disertai keterangan yang benar tentang pengarangnya. Laporan penelitian yang fiktif, plagiarisme, dan informasi yang tidak benar tentang laporan penelitian merupakan ketidaksenonohan yang serius bagi Shils.
“Namun demikian, peneliti harus berupaya menerbitkan hasil-hasil penelitiannya jika hal itu memenuhi standar,” (hlm 76).
Baca juga: Balada Harian Mahasiswa Magang
Terkait standar penelitian, Shils menyatakan ada satu standar vital yang harus dijadikan patokan bagi akademisi dalam melakukan sebuah penelitian. Standar vital itu berupa penelitian yang dilakukan dapat memberi sumbangan pada pengetahuan fundamental. Pengetahuan fundamental itu merupakan pemahaman yang lebih mendalam tentang alam, manusia, dan karyanya, serta masyarakat.
Hal itu penting karena salah satu fungsi universitas, yakni sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan. Maka seyogyanya pula, penelitian yang dilakukan para akademisi dapat memberikan hal “baru” pada ilmu pengetahuan.
“Dengan memberikan sumbangan kepada pengetahuan fundamental, universitas memenuhi kewajiban utama terhadap masyarakat melalui penelitian,” (hlm 138).
Ketika melihat iklim akademik Indonesia hari ini, banyak akademisi dalam pembuatan karya ilmiah boro-boro bertujuan untuk memberikan sumbangan kepada pengetahuan fundamental, mereka hanya membuat karya ilmiah untuk formalitas belaka.
Selanjutnya, Shils menyatakan, penelitian merupakan kewajiban bagi akademisi terhadap masyarakat. Setidaknya ada dua hal yang mendasari hal itu. Pertama, tujuan pelaksanaan penelitian ilmiah yang dilakukan akademisi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas tentang alam semesta dan manusia.
Maka, seorang dosen tidak boleh beranggapan bahwa pemerhati hasil penelitian mereka hanyalah kalangan akademisi saja. Oleh karena itu, akademisi seyogianya pula membuat sebuah karya ilmiah populer yang mudah dipahami orang awam.
Kedua, kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. Ketika bentuk karya ilmiah populer itu ada dan bisa dipahami oleh masyarakat, masyarakat diharapkan mampu memberikan apresiasi terhadap prestasi intelektual dan praktis dari penelitian. Apresiasi di sini bisa berarti banyak hal, mulai dari pemberian dana atau hanya sekadar menjadi koresponden. Pada iklim itulah, masyarakat merasa tertarik dan akhirnya mengabdikan diri pada dunia pengetahuan.
Jika menilik sekarang, apa yang dikonsepsikan Shils sangat jauh dari realita yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, banyak akademisi yang dipercaya masyarakat untuk menjaga kemurnian ilmu pengetahuan dengan berasaskan kejujuran dan integritas, justru malah melakukan pelbagai praktik kecurangan demi jabatan semata.
Fenomena pelanggaran akademik yang terjadi, tak seharusnya terulang lagi. Jika keadaan seperti itu terus terjadi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap para akademisi, dan bahkan bersikap acuh tak acuh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dampak lebih lanjut, banyak keputusan publik akan dilakukan tanpa mempertimbangan ilmu pengetahuan yang ada.
Secara keseluruhan, buku Etika Akademis penting untuk dibaca baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat pada umumnya. Dengan membaca buku ini, masyarakat dapat memahami peran akademisi tidak hanya mengajar di kampus saja, lebih jauh dari itu akademisi memiliki peran vital dalam masyarakat. Meskipun buku ini dibalut dengan bahasa yang cukup kaku, tetapi isi dari buku mampu dijelaskan oleh penulis secara gamblang.
Penulis: Zidnan Nuuro
Editor: Andreas Handy