Terengah-engah seorang perempuan memasuki kantor. Ia mengenakan tas biru tua yang lebih besar dari tubuh kecilnya. Keringat membanjiri wajah perempuan itu. Ia segera menduduki bangku kerja lalu meneguk air dari botol minum dengan cepat seolah ada yang ingin merampas airnya.
“Perjalanan dari Pademangan ke Kalibata terlampau jauh.” keluhnya “Sudah jauh, tidak mendapatkan upah pula.” Perempuan itu, Adinda, 21 tahun, Mahasiswa Magang, mengeluarkan laptop Lenovo G400 keluaran 2013. Saat dinyalakan, kipas laptop berbunyi kencang memecah keheningan kantor.
Adinda kemudian mulai berkutat dengan laporan keuangan dan tabel tabel excel. Mencatat data-data yang dibutuhkan atasan. Ia juga menganalisis adakah kemungkinan laporan keuangan tersebut direkayasa atau tidak.
Jarum jam menunjukan pukul lima, Adinda dan saya terburu-buru berjalan menuju Stasiun Pasar Minggu Baru, kami ingin menghadiri diskusi “Neoliberalisme Pendidikan” yang bertempat di kampus Rawamangun. Tiba di stasiun, ia mengecek jam, sudah jam setengah enam. Sedang menurut informasi, diskusi dimulai pada jam lima.
Kereta sore itu tidak terlalu ramai, tapi Adinda tidak mendapatkan tempat duduk. Ia berpegangan pada tiang samping pintu hingga kereta sampai di stasiun manggarai.
Berbeda dengan kereta, manggarai sesak oleh pekerja yang pulang kantor. Dinda berjalan cepat, terkadang menubruk orang. Ia menuruni tangga stasiun untuk beralih menggunakan transjakarta. Ketika menginjakan kaki di Halte, bis nomor 4D baru saja menutup pintu. Adinda terpaksa menunggu bis selanjutnya, kira kira 20 menit lamanya.
Bis tiba, lagi-lagi ia tidak mendapatkan kursi untuk duduk. Beban dipundaknya semakin berat. Ia mengeluarkan earphone kabel berwarna putih, dipilihnya lagu silampukau-balada harian untuk menemani kemacetan jalan Tambak.
“Kota tumbuh kian asing, kian tak peduli,
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,” nyanyinya.
Menunggu kemacetan, Adinda mengeluarkan kaki dari sepatu, dilepaskan kaos kaki satu persatu, direnggangkan kedua kakinya secara bersamaan. “Kretek, kretek”. Ia lagi-lagi mengecek jam, sudah jam setengah tujuh, bis ini tidak kunjung keluar dari kemacetan.
“Nadiem sialan. Karena magang diwajibkan, aku harus tersiksa gini,” rutuk Adinda.
Sebenarnya, saat makan siang tadi di Kantor, anak magang bergosip bersama, mereka tidak tahan jika terus-terusan magang tapi tidak diberikan upah. Sudah mahal bayar UKT, mahasiswa juga harus magang tidak dibayar.
Kebanyakan mahasiswa memiliki rumahnya yang jauh. Terlebih, ada 4 orang anak magang asal Jogja yang harus menyewa kos selama magang berlangsung.
“Keterlaluan,” ungkap Dea, teman Adinda, “Ini lebih kejam dari perbudakan.”
“Memang betul, sejak ditunjuknya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi. Semua kampus, harus tunduk pada konsep Merdeka-Belajar Kampus-Merdeka (MBKM). Secara sederhana, MBKM memaksa mahasiswa melakukan apa saja asal tidak berada dalam kampus,” timpal Adinda.
Dalam kata-kata perempuan itu, terselip sebuah kemarahan yang tersimpan jauh di dalam jiwa para mahasiswa. Banyak yang mempertanyakan kemana uang UKT mereka jika tidak ada pembelajaran selama magang. Mereka menyayangkan pengetahuan yang tidak didapat karena mesti mengikuti magang.
Pemikiran Adinda menarik, tidak sedikit mahasiswa yang mengerti bahwa persoalan magang adalah persoalan struktural. Oleh sebab itu, saya mencoba membuka diskusi dengannya.
“Bukankah dengan kebijakan MBKM mahasiswa lebih banyak mendapat pengalaman diluar?”
“Terpisahnya mahasiswa dengan kampus akan meniadakan budaya berkumpul dan berdiskusi. Hal tersebut akan berdampak pada terputusnya tradisi intelektual di kalangan mahasiswa,” Perempuan pademangan itu menerangkan, “Dahulu kita mengenal slogan “buku, pesta, dan cinta” yang melekat dengan diri mahasiswa. Namun, Nadiem membuat mereka tidak ada waktu dan tidak ada ruang untuk membaca buku, berpesta, dan bercinta. Waktu mereka habis pada tumpukan kertas di meja kerja.”
Saya masih penasaran. Pasalnya, Nadiem mengaku terinspirasi dari konsep taman siswa ala Soewardi. Bahkan, frasa kemerdekaan dari bapak pendidikan indonesia pun dipinjamnya. Maka, ku ajukan pertanyaan kedua.
“Bukankah konsep MBKM adalah perkembangan dari taman siswa ala Soewardi?”
“Nadiem tidak terlalu mengerti dengan konsep taman siswa. Ia mendefinisikan merdeka hanya pada keleluasaan akses. Padahal, Soewardi memaknai kemerdekaan pendidikan sebagai serangkaian proses memanusiakan manusia.”
Bis berhenti di halte rawamangun, Adinda menghela nafas lega, setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya sampai juga. Dengan berat ia melangkahkan kaki ke kampus, semangatnya untuk berilmu pengetahuan mungkin tidak luntur karena perjalanan ini, tapi badan memang tidak bisa berbohong, bahunya kebas, pegal menyerang seluruh tubuhnya.
“Ingin memuaskan hasrat intelektual saja harus segila ini. Padahal kita kan mahasiswa,” tutur Adinda. “Kampus seharusnya memberikan ruang itu sebagai tempat produksi ilmu pengetahuan.”
Sesampai di ruang 304–penyelenggara diskusi. Adinda segera duduk bergabung dengan lingkaran diskusi. Namun, dirinya hanya terdiam, tatapan matanya kosong, ia seperti tidak ada disini. Adinda mulai mengambil sebatang 76 mangga, dihirupnya aroma mangga dari rokok itu, kemudian, ia membakar rokok dan menghisapnya dengan pelan.
Gunung Es Kekerasan Aparat Negara terhadap Masyarakat Sipil
Ia merasa dicekik sebab peristiwa diatas adalah sebuah lingkaran neraka yang tak pernah selesai. Kepadatan manusia, kemacetan, upah tidak dibayar, biaya transportasi ke kantor, biaya makan, biaya UKT. Tali dilehernya terasa semakin kencang, mencekik.
”uhk, uhk” ia tersedak asap rokoknya sendiri.
“uhk, uhk, UHHHK, HUUEEK,” asam lambungnya kambuh, ia mual, berusaha memuntahkan sesuatu.
Salah satu peserta diskusi memberikan air, dua peserta memijat belakang punggungnya, peserta lain panik. Dalam kericuhan itu, hanya lagu silampukau-balada harian yang terlintas di kepalanya.
“Kota tumbuh kian asing, kian tak peduli,
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,”
Penulis: Anisa Inayatullah