Judul Buku: Pengkhianatan Kaum Cendekiawan
Penulis: Julien Benda
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1997
Hal: 189 hlm
ISBN: 979-605-811-1
Pertengahan 2020 kemarin, UNJ memiliki wacana memberikan gelar honoris causa kepada Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden dan tokoh Nahdlatul Ulama untuk bidang pendidikan kewarganegaraan. Sedangkan Erick Thohir selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diusulkan dalam bidang olahraga.
Hal tersebut segera mendapat penolakan dari aliansi dosen UNJ. Pemberian gelar kepada tokoh politik dianggap mengganggu kebebasan akademik serta otonomi perguruan tinggi. Musababnya jelas, gelar ini hanya dijadikan instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik. Bukan dilandaskan kebenaran ilmiah dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Bukan hanya di UNJ, practically pemberian gelar ini juga masif terjadi di perguruan tinggi lain. Persoalannya juga bukan sekadar intrik politik saja. Lebih jauh dari itu, kejadian barusan membuktikan bagaimana gelar dapat diperjualbelikan kepada para pemangku kekuasaan.
Ketundukan pengetahuan pada kuasa negara menjadi suluh ketidakberdayaan intelektual. Bila dikaji lebih dalam, fenomena ini didukung oleh terbitnya peraturan Menristekdikti No. 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Walhasil intelektual hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan.
Fenomena semacam ini dibicarakan Julien Benda dalam bukunya “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”. Dengan latar gejolak politik Perancis pasca Perang Dunia I, Benda merenungkan relasi kaum intelektual dengan negara, militer dan dunia politik yang terjadi. Meskipun Benda menuliskan karya ini satu abad yang lalu, pemikirannya masih menarik untuk dibahas hari ini.
Pencanggihan Gairah Politik Kaum Intelektual
Akhir abad 19, meletus peperangan besar antar negara-negara di dunia dengan eropa sebagai sentranya. Perang itu memberikan dampak besar kepada Perancis khususnya. Sebab, Walaupun keluar sebagai pemenang, Perancis harus menebusnya dengan pengorbanan besar. Tercatat dua puluh koma lima persen penduduk perancis dimobilisasi. Dari delapan juta tentara yang dikerahkan ke medan perang hampir satu juta tewas dan tiga juta lainnya cedera.
Konsekuensi dari perang bukan hanya jadi persoalan materil. Benda melihat lebih jauh terkait perubahan pandangan politik yang dialami oleh masyarakat Perancis pada saat itu. Masyarakat yang awalnya memuja perdamaian dan cinta, kini terjebak dalam gairah-gairah kebencian sosial dan semangat untuk menghina bangsa lain.
“Kini, cukuplah kita membaca koran harian untuk melihat kebencian politik tidak pernah menganggur.” (hlm.4)
Gairah politik pada masa itu mencapai tingkat yang belum pernah dikenalnya. Sifat mudah sakit hati yang mewarnai semangat nasionalis rakyat, membuat pecahnya perang lebih cepat.
Gairah itu semakin parah dengan kemunculan kaum Intelektual. Para intelektual, yang awalnya hanya mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu, dan renungan metafisik di menara gadingnya, kini turun menjajakan pengetahuannya untuk melegitimasi gairah politik masyarakat. Pada akhirnya membuat rakyat semakin gemar akan perang, melumrahkan pembunuhan dan pertumpahan darah.
Watak intelektual yang tadinya bersifat eksklusif di masyarakat, bertolak ketika di medio abad 19 Emile Zola memprakarsai Manifeste des intellectuels. Sebuah manifesto sebagai bentuk kritik para intelektual kepada Presiden Félix François Faure. Zola mendakwa ketidakadilan yang diperoleh Dreyfus, seorang tentara Perancis keturunan yahudi yang dituduh menjadi mata-mata Jerman oleh militer Perancis.
Baca juga: Dari Sawangan hingga IKN: Perampasan Ruang dan Reproduksi Kultural oleh Kapitalisme
Manifesto menjadi titik tolak di mana intelektual akhirnya keluar dari sarangnya dan mulai mencampuri ruang-ruang lain seperti politik, militer, hingga ekonomi. Fenomena itu pada akhirnya menumbuhkan semangat kecerdasan kebangsaan di kalangan para intelektual. Itu ditandai dengan munculnya ilmu, seni, filsafat ala Perancis.
Dari rahim Manifeste des intellectuels malah lahir cendekiawan-cendekiawan yang menjilat pada kekuasaan, terjebak dalam xenofobia atau kebencian berlebihan kepada bangsa lain. Produksi pengetahuan yang seperti itu akan melanggengkan antagonisme, semangat perang, hingga fasisme.
Menurut Benda, sudah semestinya kaum intelektual menjadi pusar perkembangan ilmu pengetahuan dan menyebarkan cinta kasih, bukannya ikut aktif dalam konstelasi politik dan berkontribusi menciptakan kebencian di masyarakat. Ia menghendaki seorang intelektual hakikatnya bebas tidak terkungkung kelembagaan manapun dan terbuai oleh kekuasaan.
Dengan terpisahnya intelektual dari kaum awam, praktik-praktik seperti perdagangan gelar honoris causa tidak akan terjadi. Karena intelektual secara jelas menempatkan dirinya menjadi pengawas kekuasaan, bukan malah terjebak dalam egoisme politik.
“Manusia sejatinya bukan kepunyaan bahasanya, bukan kepunyaan rasnya, ia hanya kepunyaan dirinya sendiri, sebab ia makhluk yang bebas, artinya makhluk yang berakal”. (hlm.41)
Sebagai solusi, Benda menawarkan konsep persaudaraan universal. Sebuah jenis persaudaraan yang tidak terikat dengan batas-batas bangsa, agar tidak tercipta pertarungan kepentingan dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Intelektual pun kembali kepada hakikatnya yang menggunakan akal pikirannya sebagai kegemaran tanpa pamrih dengan tujuan luhur.
Meski demikian, gagasan Benda menempatkan kaum intelektual ke dalam posisi netral. Netralitas intelektual menjadikan mereka bak kapal tanpa nahkoda, terombang ambing, tanpa keberpihakan dan sikap yang jelas. Mereka menjadi rentan dimanfaatkan oleh siapapun yang memiliki kepentingan, tak terkecuali penguasa.
Oleh karenanya, intelektual harus punya keberpihakan. Antonio Gramsci dalam buku Sejarah dan Budaya menilai reproduksi ilmu pengetahuan harus didasarkan kepada kepentingan kelas tertindas, dengan begitu upaya menciptakan keadilan akan jelas arahnya.
Intelektual secara fungsi sosial tidak sesempit dengan hanya menjadi pengawas kekuasaan. Lebih dari itu, Intelektual harus menjadi nahkoda bagi kapalnya sendiri. Ia berjuang bersama masyarakat dari bawah. Dengan begitu, ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi komoditas yang diperjualbelikan apalagi sembarang pakai.
Penulis: Anisa Inayatullah
Editor: Ezra Hanif