Judul Buku: Semiotika Kota

Penulis: Jejen Jaelani

Penerbit: Cantrik Pustaka

Tahun Terbit: 2020

Hal: 188 hlm

ISBN: 978-602-0708-68-3

Iklan

“Dulu saat masih bersekolah dasar, di sini masih banyak kampung. Hutan, kebun, dan sawah juga asri menutupi Sawangan,” kenang Oho sambil mengingat masa kecilnya.

Barulah ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama–sekitar tahun 2014 sampai 2016–wajah asri Sawangan berubah menjadi gersang. Oho tidak mengenali Sawangan lagi. Hutan, kebun, dan sawah sangat jarang terlihat. Diganti dengan pembangunan komplek-komplek perumahan subsidi. 

Oho menilai Sawangan hari ini bukan lagi sebuah desa, tetapi kota mirip seperti Jakarta, padat penduduk dan kumuh. Di hari kerja, tiap ruas jalan di Sawangan sangat macet. Oho sampai hafal betul waktu kemacetan di Sawangan. Biasanya, jalanan akan sesak oleh kendaraan di waktu pagi, sore, hingga malam pada hari kerja maupun akhir pekan.

Bagi Oho Sawangan kini terasa sangat berbeda. Sawangan yang ia kenal dahulu, asri dan hijau, kini hanya sebatas kisah nostalgia untuk bahan perbincangan. 

Sebetulnya jika melihat dari putusan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, Sawangan ditargetkan menjadi new center point atau pusat keramaian baru. Hal itu diusulkan karena aspek pertumbuhan penduduk Sawangan paling tinggi ketimbang daerah lain di depok, yaitu 3,68%. Peluang emas ini dilihat oleh Pemkot Depok untuk akhirnya jor-joran membuka keran investasi yang berfokus pada pusat bisnis dan hunian.

Pembangunan pusat bisnis dan hunian di Sawangan juga semakin pesat karena diiringi dengan dua faktor. Pertama, harga tanah di Sawangan tergolong lebih murah dibandingkan Jakarta. Kedua, secara lokasi Sawangan sangat strategis. Letaknya yang berdekatan dengan ibu kota menjadikan Sawangan sebagai opsi warga Jakarta untuk bermukim. Walhasil, terjadi perubahan secara fisik maupun sosial di sana.

Kota, Kapitalisme dan Pembentukan Reproduksi Kultural

“Kota dapat dilihat sebagai teks yang sangat kompleks. Kota menawarkan berbagai kemungkinan makna pada para pembacanya, kepada para warganya.” (Hlm-34).

Pola yang terjadi di Sawangan, menyiratkan ruang fisik di mana kita tinggal selalu dirampas oleh kapitalisme. Di sisi lain, negara lewat regulasinya membuka keran kapitalisme untuk terus berekspansi. 

Setelah kapitalisme berhasil merampas ruang di kota, terjadi juga perubahan sikap masyarakat. Seperti di dalam buku “Semiotika Kota,” karya Jejen Jaelani, di mana ia menganalisis penciptaan ruang reproduksi kultural yang dilakukan kapitalisme. 

Iklan

Baca Juga: Lagu Cukup Kota, Rempang dan Kesengsaraan Desa

Dalam buku ini, Jejen meminjam gagasan Sosiolog Prancis, Henri Lefebvre. Bagi Lefebvre reproduksi kultural dapat terjadi karena adanya dominasi modal–umumnya ekonomi–yang merubah nilai dan norma di masyarakat.

Lefebvre menawarkan tiga konsep guna membaca reproduksi kultural di dalam ruang. Tiga konsep tersebut diantaranya adalah praktik spasial (spatial practice), perancangan ruang (reprecentations space), dan representasi ruang (reprecentacional space).

Pertama, praktik spasial (spatial practice) dapat dibaca sebagai sebuah tindakan keseharian   rutin yang dilakukan masyarakat di dalam suatu daerah. Di dalam konteks cerita Oho, dahulu masyarakat Sawangan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan berdagang. Berbeda dengan hari ini, berkebun mulai ditinggalkan karena warga lebih memilih bekerja di perkantoran.

Kedua, perancangan ruang (representations space). Idealnya menurut Lefebvre, sebuah ruang dapat terbentuk dari proses pertimbangan panjang terkait perencanaan, supaya masyarakat terakomodir kebutuhan sehari-harinya. Semisal bicara soal kebutuhan primer, yaitu hunian yang layak. Kelayakan Hunian dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti akses terhadap layanan publik, pertimbangan kesehatan, hingga harga yang sesuai dengan rata-rata gaji pendapatan penduduk.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rumah yang layak huni di DKI Jakarta pada tahun 2022 hanya menyentuh 36,69 persen. Dari data itu, malahan, menguatkan argumentasi bahwa warga Jakarta melakukan migrasi ke kota satelit, semata-mata hanya mengharapkan hunian yang layak. Namun, perpindahan tersebut berimbas pada kepadatan penduduk di suatu wilayah yang malah menciptakan kesemrawutan baru. 

Ketiga, ruang representasional (representational space). Kejadian dari kehidupan sosial kota ditafsirkan oleh ekspresi masyarakat di suatu ruang lewat berbagai cara, semisal kesenian. Acap kali yang paling mudah ditemukan di berbagai wilayah adalah coretan-coretan di tembok mengenai curahan hati warga dalam menjalani kehidupannya.

Kapitalisme yang Merampas Ruang Hidup di IKN

“Wacana yang muncul sebagai dominasi mampu mengubah cara pandang banyak orang dan menjadi standar yang kemudian menilai berbagai realitas yang ada di sana,” (hlm-39)

Di dalam studi kasus yang lain, geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan menjadi persoalan hangat kurang lebih selama satu tahun terakhir. Pembangunan ibu kota yang rencananya memiliki luas empat kali lipat Jakarta itu dinilai problematik dari tahap perencanaan sampai revisian terakhir. Sebut saja di ranah sosial-ekonomi, pemindahan ibu kota ini dapat dikatakan amat prematur. 

Teori penciptaan ruang dari Lefebvre dapat dijadikan pisau analisis untuk membedah sifat prematur pembangunan IKN. Jika dilihat dari kepentingan utama dalam pembangunan, pemerintah sangat bergantung pada swasta. Investasi swasta diporsikan menyumbang 80% dari pendanaan proyek bernilai Rp466 triliun ini atau sekitar Rp372 triliun. 

Jokowi menjamin keberlangsungan investor yang ingin menyuntik bisnis di IKN. Terbaru melalui revisi UU No 3 tahun 2022 IKN terakhir pada 3 Oktober 2023, investor mendapatkan hak spesial yakni dapat mengelola lahan sampai 190 tahun. Hal ini menjadi pemantik semangat bagi investor untuk lebih menggenjot pembangunan bisnis. Terhitung, otorita pembangunan IKN sudah menerima 281 Letter of Intent (LOI) dari pihak swasta nasional atau internasional.

Tidak dapat disangkal, pembangunan ibu kota baru ini akan sangat masif membabat hutan-hutan di sana. Alhasil, dampak utama yang paling bisa dirasakan adalah kehilangan mata pencaharian bagi sebagian kelompok masyarakat. Seperti yang terjadi pada masyarakat asli Kalimantan Timur, Suku Balik.

Di dalam tulisan media Mongabay, warga Suku Balik menolak untuk direlokasi sebab akan menjauhkan mereka dari hutan. Sedangkan hutan bagi Suku Balik, sudah menjadi bagian dari kehidupan karena mereka terbiasa mencari uang dengan menjual obat herbal tradisional, makan, hingga ritual adat. 

Nyatanya secara perlahan-lahan, pembangunan bertahap IKN telah merampas ruang hidup Suku Balik. Bayangkan, mereka yang terbiasa bekerja di kebun terpaksa berubah karena lingkungannya telah menjadi pusat industri negara. Tentunya peralihan kemampuan produksi agraria menjadi industri akan membutuhkan waktu panjang, apakah Suku Balik akan mampu bersaing? Atau malah tersingkir? 

Maka sebetulnya pembangunan ibu kota baru tersebut untuk mensejahterakan siapa? Paling tidak jika masih terus begini, di masa depan nasib Suku Balik akan seperti yang dikatakan oleh Oho, “Kini hanya sebatas kisah nostalgia untuk bahan perbincangan.” 

Buku ini menawarkan analisis teori menarik untuk membedah fenomena kapitalisme yang merampas ruang, hingga mereproduksi tatanan masyarakat baru. Sayangnya, buku ini agaknya sulit dimengerti karena ada beberapa poin kurang dibahas, seperti peranan sentral pemerintah sebagai sebab dari pembangunan oleh kapitalisme. Selain itu, banyak sekali poin-poin yang mengulang, sehingga pengalaman membaca terkesan bertele-tele.

Penulis: Arrneto Bayliss

Editor: Izam Komaruzaman