Judul buku: Pendidikan Sebagai Senjata: Perlawanan Sehari-hari Barisan Tani Indonesia (1957 – 1965)
Penulis: Rivaldi Apinino
Jumlah halaman: 90 hlm
Tahun terbit: 2023
ISBN: 978-623-88382-9-5
Pandangan jamak orang di Indonesia, khususnya yang tinggal di perkotaan cenderung menganggap profesi petani hanyalah diisi oleh orang-orang berpendidikan rendah. Petani distigma kolot dan udik. Dengan demikian, petani dinilai mudah untuk dimanipulasi dan diperlakukan sewenang-wenang.
Banyaknya pandangan negatif terhadap petani perlu untuk kita pertanyakan secara kritis. Apakah telah menjadi kodrat petani menjadi profesi yang diisi oleh orang-orang tidak berpengetahuan?
Bila pertanyaan tadi dicermati, tidak ada satu landasan kuat untuk menganggap petani secara kodrati adalah kumpulan orang yang minim pengetahuan. Sebaliknya, dalam suatu lintasan sejarah, petani begitu kaya akan pengetahuan dan mempunyai peran sangat penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Hal itu tergambar jelas dalam buku Pendidikan Sebagai Senjata: Perlawanan Sehari-hari Barisan Tani Indonesia (1957 – 1965) karya Rifaldi Apinino. Buku ini menjelaskan peranan penting Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam memberantas buta huruf, melakukan pendidikan kontekstual kepada petani di pedesaan, riset pengembangan hasil pertanian, hingga membentuk kesadaran politis petani.
Pemberantasan Buta Huruf
Ketika Indonesia masih berupa Hindia-Belanda, pada medio 1930-an, sekitar 95 persen masyarakat masih tinggal di wilayah pedesaan, dan itu tidak berubah signifikan ketika Jepang menduduki Indonesia. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedesaan tidak bisa membaca atau buta huruf. Sebagaimana data tahun 1946 yang menyebutkan 5 sampai 6 juta penduduk di Pulau Jawa tidak bisa membaca.
Melihat hal itu, pemerintah menerbitkan Putusan Menteri Pengajaran Pendidikan No. 428/A tentang Pemberantasan Buta Huruf (PBH) pada 1949. Adanya kebijakan itu berlandaskan UUD 1945 Pasal 31 yang menekankan setiap warga negara Indonesia berhak untuk mengakses pendidikan.
Supaya PBH berjalan efektif, pemerintahan Orde Lama turut mendorong partisipasi aktif dari berbagai organisasi masyarakat untuk melancarkan program tersebut. Salah satu organisasi yang berpartisipasi dalam hal itu adalah BTI.
Dalam proses belajar-mengajar, BTI menerapkan pendidikan secara kontekstual. Yaitu, konsep pendidikan yang mengaitkan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-sehari peserta didik. Hal itu dilakukan agar pembelajaran menarik dan mudah dimengerti para petani.
Dus, BTI sering kali mengadakan pembelajaran di gubuk atau dangau persawahan petani. Selain itu, waktu pelaksanaan belajar diadakan pada sore hari ketika para petani telah menyelesaikan pekerjaannya.
Baca juga: Api Perlawanan Petani
Dalam proses belajar, guru juga dituntut aktif mendatangi murid ke tempat kediamannya. Cara itu digunakan agar pendidikan dapat diterima dan tidak mengganggu kerja-kerja petani.
Pada Kongres Nasional ke-V 1957, BTI memiliki tiga juta lebih anggota. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, BTI bersumbangsih besar bagi negara dalam menjalankan program PBH.
Pada tahun yang sama, BTI menjalin kerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena memiliki tujuan dan program yang sama, yaitu memberikan pendidikan guna memberantas buta huruf bagi masyarakat pedesaan, khususnya petani. Dalam perkembangannya, BTI juga menjalin kerja sama dengan Universitas Rakyat (UNRA)— sebuah lembaga pendidikan bentukan PKI—yang bertujuan mengintensifkan program PBH.
“Pelaksanaan pendidikannya meliputi beberapa jenjang, mulai dari Pra-Panpra (Panti Pengetahuan Rakyat) adalah sebutan untuk jenjang pra-SD. Adapula Panpra (setingkat SD), setingkat SMP dinamakan Bapra (Balai Pengetahuan Rakyat), dan setingkat SMA dinamakan Universitas Rakyat,” mengutip halaman 24.
Pengembangan Riset Pertanian hingga Pendirian Koperasi
Selain program PBH, Rivaldi mencoba menelisik peran BTI dalam mengembangkan hasil pertanian. Bentuk konkritnya terjadi pada 1963 ketika BTI mendirikan Institut Egom sebagai lembaga penelitian dan pembelajaran kaum tani yang terletak di Cisarua, Bogor.
Dalam perkembangannya, Institut Pertanian Egom berhasil menemukan bibit padi unggul yang diberi nama “Radja Lele”. Penemuan tersebut mampu untuk mendongkrak hasil panen para petani. Sebab, bibit padi Radja Lele dapat dipanen dengan waktu relatif cepat, tumbuh subur walaupun di sawah yang sedikit air, dan rasa yang lebih baik.
BTI semakin meningkatkan kesejahteraan petani setelah organisasi itu mendirikan berbagai koperasi. Hal itu dilakukan BTI untuk mempermudah akses modal para petani dalam mengembangkan pertanian. Puncaknya, pada tahun 1965, jumlah koperasi BTI yang terdaftar mencapai 70.000 unit koperasi. Mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun 1959, koperasi BTI yang terdaftar hanya berjumlah 16.000 unit saja.
Naik Politik sebagai Agenda Utama
Soekarno dalam Kongres Nasional VI BTI pada 23 Juli 1962 berkata,“ Bahwa revolusi akan bisa terlaksana apabila adanya keterlibatan yang besar dari kaum tani. Keterlibatan ini telah dicontohkan oleh BTI yang menghendaki Indonesia menuju masyarakat tanpa penindasan manusia …,” halaman 28 – 29.
Kutipan Soekarno itu bukan muncul tanpa sebab. Pada tahun sebelumnya, BTI mencetuskan agenda Naik Politik yang bertujuan supaya kaum tani memiliki kesadaran kelas untuk memahami realitas kehidupannya. Pun, agenda Naik Politik bertujuan agar petani tidak mudah dimanipulasi lewat regulasi yang merugikan.
“Dalam program umum Kongres ke-V BTI dicatat bahwa pengisapan feodal telah membuat kaum tani hidup dalam keadaan kekurangan makan, kekurangan pakaian, perumahan, pendidikan, dan lain sebagainya,” halaman 22.
Upaya penyadaran kaum tani akan realitas hidupnya direalisasikan dalam proses pembelajaran. Di mana ketika sesi akhir pembelajaran, senantiasa ditutup dengan belajar tentang politik. Selingan belajar politik menjadi suatu bentuk pembeda antara sekolah BTI-Unra dengan sekolah pada umumnya.
BTI berhasil menorehkan hasil yang apik dalam gerakan kaum tani. Bahkan, laporan BTI pada tahun 1962 menyebutkan, organisasi tersebut berhasil mengorganisir anggotanya yang mencapai lebih dari 5,6 juta anggota. Jumlah tersebut dapat dikatakan lumayan besar jika menilik penduduk Indonesia saat itu yang berjumlah lebih dari 97 juta penduduk.
Baca juga: Kritik Masyarakat Hari Ini yang Ugal-ugalan dan Tunduk kepada Modal
Dengan massa sebesar itu, BTI kerap kali bergerak menuntut kepentingan petani. Anggota BTI sering melakukan pendudukan terhadap tanah-tanah yang dimiliki oleh kelas feodal atau tuan tanah. Pergerakan BTI membuahkan hasil besar ketika diterbitkannya UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang berisikan ketentuan tanah untuk kesejahteraan rakyat dan pengakuan atas tanah ulayat.
Sayangnya, gerakan petani melalui BTI berakhir lantaran terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Institut penelitian, balai pendidikan, dan koperasi milik BTI dihancurkan. Lebih parahnya, sebagian besar anggota BTI menjadi korban penculikan, penyiksaan, sampai pembunuhan karena dianggap berafiliasi dengan PKI.
Selanjutnya, tidak lagi dijumpai organisasi yang mengupayakan pendidikan secara masif bagi petani layaknya BTI. Pun, para petani lambat laun tidak memiliki kekuatan politik untuk menyuarakan kepentingan mereka. Alhasil, petani kerap kali ditindas.
Pendidikan dan Reforma Agraria
Wacana pembangunan Indonesia demi memajukan bangsa tidak bisa terlepas dari peran sentral petani. Profesi tersebut tampil sebagai penopang pangan nasional dan berjalannya peradaban sebuah bangsa. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, jumlah petani di Indonesia sebesar 27,79 juta orang.
Besarnya jumlah petani tidak diimbangi oleh tingkat pendidikan. Kementerian Pertanian mencatat, sebesar 70 persen petani hanyalah lulusan sekolah dasar. Sementara itu, petani yang lulusan sekolah menengah pertama dan atas tidak lebih dari 30 persen.
Oleh karena itu, pemerintah harus secara aktif memberikan pendidikan kepada petani supaya memiliki wawasan yang luas dan dapat berinovasi. Pendidikan yang diberikan pun seharusnya mempunyai kurikulum secara kontekstual.
Dus, perluasan pendidikan kepada petani dapat diselenggarakan oleh organisasi masyarakat. Sebab, bila merujuk buku di atas, BTI sebagai organisasi masyarakat terbukti efektif untuk meningkatkan pendidikan bagi petani.
Hal yang penting kemudian, implementasi reforma agraria perlu menjadi program utama pemerintah agar dapat mengentaskan ketimpangan kepemilikan tanah. Apabila merujuk data BPS 2023, jumlah petani gurem atau kepemilikan tanah 0,5 hektar berjumlah 17,24 juta orang.
Antara pendidikan dan reforma agraria memiliki satu benang merah. Apabila mayoritas petani Indonesia memiliki pendidikan layak dan memahami realitas kehidupannya, petani secara kolektif dapat menuntut implementasi reforma agraria dan terus mengawalnya.
Langkah-langkah di atas, penulis rasa dapat mengentaskan kerentanan petani di Indonesia. Ironi di negeri agraris seperti yang diliput oleh Kompas.id pada Senin (04/03/2024), jangan sampai terulang kembali.
Buku ini menarik untuk dibaca karena memberikan sudut pandang baru terhadap organisasi yang pada masanya memiliki peran penting memberikan pendidikan bagi para petani. Namun, kekurangan buku ini adalah tidak memberikan gambaran sejarah secara komprehensif mengenai kiat-kiat dan dinamika BTI dalam melaksanakan programnya.
Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Andreas Handy