Judul Buku : Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara
Penulis : James C. Scott
Penerbit : LP3ES
Cetakan : II, 2019
Tebal : xx+394 halaman
ISBN : 978-602-7984-41-7
Kehidupan petani tidak jauh dari kemelaratan. Keadaan yang terbatas secara ekonomi, membuat petani terus menerus hidup di ambang kehancuran. Dalam pengibaratan, air sudah sampai leher, sehingga bila ada gelombang, ia pasti tenggelam. Wajar saja, petani hanya mengandalkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Cara produksi yang sangat mengandalkan kehendak alam menjadi ciri khas sektor pertanian. Oleh karenanya, kebudayaan dan kehidupan sosial petani juga bersumber dari alamnya. Misalnya, perayaan-perayaan yang dilakukan petani ketika panen menjadi wujud rasa syukur kepada alam yang sudah memberikan penghidupan.
Namun, dinamika yang terjadi di luar lingkungan para petani menjadi suatu gelombang yang membuatnya tenggelam. Hal tersebut ditangkap dan ditulis oleh James C. Scott dalam “Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara”. Buku yang terbit pertama kali pada 1976 dengan bahasa Inggris tersebut, menggambarkan dinamika yang terjadi di kalangan petani Asia Tenggara pada awal abad ke 20, khususnya kasus Burma dan Vietnam.
Moral Ekonomi Petani membahas tentang sistem ekonomi yang ada dan tumbuh di kalangan petani Asia Tenggara. James C. Scott menilai bahwa etika subsistensi dan norma resiprositas menjadi prinsip yang dianut para petani dalam menjalankan kehidupannya. Kedua hal tersebut pula, yang membentuk kebudayaan bagi kalangan petani.
Orientasi Subsistensi dalam Produksi
Seperti yang disinggung di awal, bahwa petani hidup di tengah air yang sudah mencapai leher. Sehingga, gelombang kecil dengan mudah menenggelamkannya. Cara produksi yang mengharapkan welas asih dari alam. Serta, pengalaman berulang mengenai keterbatasan yang selalu mengelilingi kehidupan petani membuat prinsip “dahulukan selamat” tumbuh.
Orientasi produksi petani bertujuan untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya, yakni keperluan makan, minum dan pakaiannya sehari-hari. Hasil panennya, menjadi sumber makanan utama bagi petani. Suatu keharusan bagi petani untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari hasil panen, sehingga menjebak petani ke dalam keadaan sulit.
James C. Scott mengutip analisis A.V. Chayanov terkait perilaku ekonomi petani yang kerap memaksa petani melakukan pilihan yang tidak masuk akal. Misal, rela bekerja lebih lama atau mencari penghasilan di luar sektor pertanian, asal kebutuhan subsistensi terpenuhi. Dalam istilah Chayanov, hal ini disebut sebagai self-exploitation atau swapacal. Yakni, ketika keluarga-keluarga petani yang harus hidup di tengah keterbatasan bekerja keras dan lama untuk memeroleh tambahan dalam memenuhi kebutuhan subsistensi.
Tidak hanya melakukan swapacal, para petani pun kerap rela membayar sewa lebih tinggi, jika hal itu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. A.V. Chayanov mengistilahkan fenomena tersebut sebagai hunger rent. Fenomena ini didorong oleh keadaan minim tanah bagi keluarga yang besar dan tidak memiliki alternatif penghasilan. (hlm.21-23)
Perlu dipahami, sebelum kolonialisme masuk di Kawasan Asia Tenggara, para petani memiliki sistem kekerabatan yang sangat erat. Pemenuhan kebutuhan subsistensi tidak hanya berlaku bagi satu keluarga petani saja, tetapi menjadi tanggung jawab satu desa. Petani kecil, petani penyewa dan pemilik tanah memiliki moral untuk memenuhi kebutuhan subsistensi bagi keluarga yang kesulitan. Persekawanan ini, yang kemudian disebut sebagai resiprositas.
Resiprositas ini muncul dari kebutuhan timbal balik, misalnya antara petani penyewa dengan pemilik tanah. Dalam kondisi sulit, petani penyewa sangat membutuhkan bantuan dari pemilik tanah untuk memberikan kemurahan hatinya. Sementara itu, kedermawanan pemilik tanah bertujuan untuk mendapatkan simpati dari penduduk desa.
Fenomena antara penyawa tanah dengan pemilik tanah ditulis oleh James C. Scott sebagai hubungan patron-klien. Seorang patron, menurut definisinya adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Sementara, klien wajib menjadi pengikut setia sang patron. (hlm.43-45)
Dengan adanya perilaku ekonomi yang bersifat subsisten dan adanya norma resiprositas. James C. Scott berkesimpulan bahwa, sebelum masuknya kolonialisme, susbsitensi telah menjadi moral yang hidup di masyarakat sektor pertanian. Sekaligus, subsistensi menjadi hak yang wajib dipenuhi bagi kalangan masyarakat petani.
Namun, situasi tersebut berubah ketika kolonialisme mulai menancapkan taringnya di wilayah-wilayah Asia Tenggara. Beberapa faktor, rangkum James C. Scott, menjadi penyebab utama terpuruknya petani. Faktor-faktor tersebut turut melahirkan embrio-embrio perlawanan dari kelas petani.
Pertama, adanya integrasi komoditas pertanian dalam sistem pasar dunia mengharuskan petani untuk menjual sebagian hasil panennya. Keadaan tersebut membuat petani masuk pada arus mekanisme harga yang tidak menentu. Sejauh pasar menentukan nilai hasil panen petani, sejauh itu pula dia rawan terhadap ketidakpastian harga.
Fluktuasi harga pasar juga memengaruhi beban sewa dan ongkos produksi yang harus dibayar oleh petani. Selain itu, kondisi pasar mengubah hirarki petani yang sebelumnya berlangsung.
“Setelah mengetahui keuntungan kredit dan bahaya penyitaan tanah yang digadaikan, pemilik tanah menjadi penyewa dan penyewa menjadi buruh, hasil panen yang melimpah sekalipun tidak dapat mencegah malapetaka ini.” (hlm. 96-97)
Selain harga pasar yang fluktuatif, masuknya kolonialisme dan membangun pemerintahan di wilayah-wilayah Asia Tenggara turut melemahkan posisi desa. Sebelumnya, desa memiliki proteksi bagi para petani-petani kecil dan penyewa. Desa memiliki tanah yang berhak digarap oleh para petani. Tidak hanya itu, desa juga memiliki hutan yang menjadi alternatif pendapat bagi petani dengan mengolah hasil-hasil hutan. Masuknya kolonialisme sekaligus menghapus itu semua.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, serta terkikisnya perlindungan desa membuat hubungan kelas agraria mengalami perubahan. Pemilik tanah, sebab sudah adanya pemerintahan kolonial, lebih memilih untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Dibanding, ia harus membangun hubungan dengan penyewanya. Para pemilik tanah lebih menetapkan besaran sewa yang bersifat tetap. Mereka tidak lagi mengakomodir kebutuhan subsistensi para penyewa.
Karena hal tersebut, pergesekan antara penyewa dan pemilik tanah kerap terjadi. Seringkali, penyewa merampas gudang-gudang milik tuan tanah. Sehinga, para tuan tanah harus menyewa pengawal-pengawal utnuk memelihara keamanan sumber dayanya.
Sementara terjadi serentenan perubahan yang membebani petani, pemerintah kolonial justru menetapkan pajak tanah dan pajak kepala yang harus dibayar setiap tahun. Hal tersebut jelas memperparah kondisi petani. Perubahan-perubahan yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa kelas petani sedang berada pada kondisi ketidakpastian hidup dan semakin medekati batas aman subsitensi.
Munculnya Pemberontakan
Fakta adanya kolonialisme yang membuat kehidupan kelas petani semakin terpuruk, memunculkan permberontakan-pemberontakan di kalangan petani. James C. Scott mengambil pemberontakan di Kocincina dan Annam (Vietnam), serta pemberontakan Saya San di Burma Hilir (Thailand) sebagai studi kasus. Sebab, wilayah-wilayah tersebut yang mengalami pergolakan paling besar, karena kondisi ekonomi dan politik yang meliputinya.
Adanya depresi ekonomi pada 1930 membuat pemerintah kolonialisme menaikan pajak bagi para petani. Naiknya besaran pajak, ditambah hilangnya asuransi sosial antara patron-klien memantik perlawanan dari kalangan petani. Petani mulai mengorganisir kekuatan dibantu oleh pimpinan partai komunis di wilayah Kocincina yang membuat pemberontakan semakin masif.
Perlawanan-perlawanan petani memiliki bentuknya masing-masing. Salah satu yang banyak dijumpai adalah perampokan yang ditujukan kepada pemilik tanah. Penyerobotan gudang-gudang tempat penyimpanan padi sering terjadi. Bahkan, kapal-kapal pengangkut beras juga menjadi sasaran. Perampasan dan perampokan tersebut, dicap oleh James C. Scott sebagai perampokan sosial. Karena, hasil perampokan dari yang kaya dibagikan kepada kelompok miskin. (hlm. 198)
Peristiwa lebih tragis terjadi di Annam, terutama distrik Nghe-An dan Ha-Tinh. Bencana kelaparan terjadi. Sebagian besar penduduk sudah tidak memiliki apapun untuk dimakan. Sehingga, keputus asaan menjadi latar belakang pemberontakan.
Keadaan yang tidak jauh berbeda dijumpai oleh James C. Scott di wilayah Burma Hilir. Kewajiban untuk membayar pajak kepala di tengah krisis ekonomi dengan turunnya harga beras, menenggelamkan petani pada kemiskinan dan penderitaan. Namun, tidak hanya itu, dogma-dogma kepercayaan yang kuat di wilayah Burma Hilir juga menjadi sumber perlawanan. Penderitaan petani yang disebabkan oleh pajak dibalut dengan dogma tentang adanya kerajaan ratu adil yang bisa tercapai dengan melakukan pemberontakan.
Sayangnya, baik di Kocincina dan Annam (Vietnam) maupun Burma Hilir (Thailand), pemberontakan-pemberontakan dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah kolonial. Operasi-operasi militer terus dilakukan, diiringi penangkapan petani yang ikut memberontak. Tidak terorganisirnya pemberontakan juga menjadi salah satu sebab, mengapa pemerintahan kolonial dengan mudah menumpasnya. Hingga, pada 1931, kondisi di wilayah Kocincina sudah sepenuhnya pulih.
Nafas pemberontakan yang sedikit panjang dijumpai di Burma Hilir. Pemerintah kolonial Inggris membutuhan waktu satu setengah tahun untuk meredam pemberontakan sampai sepenuhnya habis. Nahasnya, sebanyak tiga ribu pemberontak tewas, termasuk Saya San sebagai pemimpin.
Gagalnya pemberontakan mengantaran kelas petani pada bentuk pertahanan subsistensi yang baru. Patut diakui, bahwa kegagalan yang terjadi sebelumnya memiliki efek traumatis di dalam diri petani. Kelompok petani akhirnya memilih untuk menolong diri sendiri dengan konsekuensi lebih banyak bekerja untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya. Sementara itu, secara horizontal, petani memperkuat ikatannya bersama petani lain dengan saling membantu.
Kenyataan bahwa petani merupakan kelompok yang berdiri di tengah air setinggi leher, sehingga ombak kecil dengan mudah menenggelamkannya masih terjadi hingga saat ini. Studi di Indonesia, pada 2020, sebanyak 241 kasus konflik agraria terjadi di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 Kepala Keluarga di atas tanah seluas 624.272,711 hektar. (Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria : Pandemi Covid 19 dan Perampasan Tanah Berskala Besar).
Konflik tersebut beriringan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia di masa pandemi Covid 19. Jika pemerintahan kolonialisme di Vietnam dan Burma Hilir menaikan pajak ketika krisis melanda, maka pemerintah Indonesia pun melakukan ekspansi modal dengan merampas tanah-tanah petani di masa pandemi Covid 19.
Memandang fenomena-fenomena di atas, membuat buku Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara sangat relevan untuk dibaca. James C. Scott memiliki pembahasan yang cukup kompleks dalam membahas perilaku ekonomi petani. James C. Scott cukup hati-hati, khususnya ketika membahas eksploitasi dan penindasan yang dialami oleh petani. Prinsip dari bawah ke atas di dalam melakukan penelitian menjadi kelebihannya.
Penulis : Ahmad Qori
Editor : Mukhtar Abdullah