Mengapa akhir-akhir ini banyak perempuan yang gelisah? Apa yang menjadi penyebab kegelisahan itu? Sebuah afirmasi saya introdusir untuk lebih menyadarkan kita apa dan siapa sebenarnya yang diperjuangkan oleh perempuan.
Kegelisahan timbul karena ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang mengganggu itu adalah sebab, dan kegelisahan yang terjadi itu adalah akibat. Keniscayaan hubungan antara sebab dan akibat inilah untuk pertama kali dipakai sebagai istilah filosofis oleh Plato sebagai prinsip kausalitas. Untuk mencari penyebab, kita dituntut untuk kritis mencermati realitas sosial yang terjadi dan ada di sekitar kita, khususnya realitas perempuan. Dan sebagai anggota komunitas sosial kita harus merasa terpanggil oleh keadaan tertentu sebagaimana seharusnya, bukan sebagaimana adanya.
Realitas yang paling dirasakan timpang oleh perempuan selama ini adalah definisi-definisi yang di’condition’-kan sebagai sesuatu yang natural. Padahal sebuah realitas terjadi dan dibuat ‘jadi’ oleh manusia. Karena itu realitas adalah kultural, bukan natural.
Reaksi yang diambil oleh kelompok-kelompok perempuan dengan gerakan feminisnya nampak dengan disusunnya rancangan GBHN alternatif untuk meng’counter’ conditioning itu. Definisi kodrat perempuan, definisi sosial atas kedudukan lelaki dan perempuan (publik – domestik), definisi pekerjaan produktif dan non produktif, semakin gencar digugat perempuan.
Manuver conditioning yang sudah mapan ini membuat potensi pemberontakan perempuan semakin kuat untuk diaktuskan. Sekedar untuk mengubah definisi hitam di atas putih sebenarnya tidak begitu sulit. Tetapi bagaimana cara untuk sampai pada taraf mengubah representasi manusia (termasuk ideologi patriarkhi dan genderisme), sungguh sebuah proses dekonstruksi yang panjang.
Kodratiah Manusia
Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homoni lupus). Setiap orang hidup dalam permusuhan dan tidak percaya akan setiap orang lain. Ini menyebabkan orang akan menjadi lawan dan musuh orang lain, jika orang menghalangi orang lain serta kebebasannya.
Ajaran Hobbes tentang keadaan kodratiah manusia adalah peperangan antara semua lawan semua menyebabkan orang beranggapan bahwa hidup bersama yang diatur oleh peraturan yang dilembagakan lebih menguntungkan daripada keadaan perang antara semua melawan semua karena hak dapat berfungsi semestinya. Keadaan ini juga lebih menguntungkan untuk mempertahankan diri serta mengembangkannya. Tapi negatifnya, hak menjadi tidak lebih daripada buah egoisme belaka.
Secara eksplisit Hobbes menggiring kita untuk sadar bahwa ada konfrontasi yang harus dihadapi. Kalau boleh saya analogikan konfrontasi itu dapat berupa hubungan antara tuan dan budak. Tuan adalah orang yang mempunyai kekuasaan dan menguasai teknik mengancam, menghukum, memerintah, serta membuat program untuk menguasai budaknya. Sedangkan budak adalah orang yang dirampas hak kebebasannya dan dijadikan alat untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan tuannya. Dari hubungan itu tampak bahwa ada kondisi hidup bersama yang dijalin antara dua kubu itu walaupun kondisi hidup bersama itu adalah kondisi yang tidak manusiawi.
Hubungan antara tuan bisa–diperankan oleh negara dengan militerisme dan materialismenya, atau ideologi patriarkhi misalnya–dengan budak–bisa diperankan oleh orang yang ‘sadar’ bahwa dia bukan obyek tetapi subyek–ini jelas tidak kondusif. Sehingga pemberontakan mungkin terjadi untuk mengakhiri hubungan itu, jika orang-orang sadar bersatu menghimpun kekuatan untuk meng-counter kondisi yang ada. Dengan demikian, masalah conditioning diatas bukan lagi menjadi kegelisahan perempuan saja, melainkan juga dirasakan oleh semua orang yang sadar (termasuk lelaki).
Gerakan Perempuan
Kesadaran seperti diatas mungkin bisa dijadikan “entry point” bagi gerakan perempuan. Menghimpun orang-orang yang sadar (baik lelaki atau perempuan) akan adanya konfrontasi yang harus dihadapi akan menjadi kekuatan yang dahsyat. Mengapa kita harus melibatkan lelaki masuk ke dalam gerakan perempuan, karena lawan atau permasalahan perempuan sebenarnya bukanlah lelaki secara fisik. Perempuan harus mengikis pemahaman perbedaan lelaki dan perempuan sebagai sebuah perbandingan yang harus diselesaikan dengan model penyelesaian kalah-menang. Karena apabila kita berbicara kalah-menang, berbicara perempuan yang hanya mencakup kelompok bukan lelaki, kita akan terjerembab pada egoisme tadi. Akhirnya persamaan hak yang dituntut dan diperjuangkan perempuan menjadi bias maknanya. Karena persamaan hak tidak berarti jika hanya beberapa orang atau kelompok saja yang mampu mencicipinya, dengan mengorbankan orang atau kelompok lain. Sebaliknya, persamaan hak berarti pengaturan dan penertiban hidup bersama sedemikian rupa sehingga setiap orang mampu mewujudkkan serta memperkembangkan diri serta kemanusiaannya.
Inti yang ingin saya sampaikan bahwa gerakan perempuan hendaknya tidak menampakkan diri dalam bentuk menurunkan orang atau kelompok lelaki menjadi alat untuk memuaskan kecenderungan yang egoistis saja, tetapi justru merangkulnya untuk bersatu memperjuangkan bersama-sama apa yang menjadi inti permasalahannya. Lantas apa dan siapa sebenarnya yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan?
Demokratisasi
Dimatikannya partisipasi dan kontrol rakyat banyak atas kehidupan berpolitik dan bernegara mengakibatkan timbulnya pemberontakan dimana-mana. Jika negara bertindak lebih demokratis, niscaya hubungan yang asimetris antara negara-masyarakat, pusat-daerah, militer-sipil, lelaki-perempuan, tidak akan terjadi. Kecenderungan model pembangunan yang terlalu ekonomistik yang berakibat pada dipacunya gaya hidup konsumtif, mengakibatkan tingkat konsumsi menjadi ukuran kebahagiaan dan status sosial. Dampak inilah yang secara khusus dirasakan oleh perempuan yang relatif rentan dan marginal dibanding lelaki, mengambil jalan pintas untuk mengikuti arus tersebut. Apalagi bagi perempuan yang tidak mempunyai sumber daya lain kemampuan seksualitasnya yang dijadikan modal untuk bisa sampai pada gaya hidup yang kapitalistik itu. Hasilnya adalah penindasan melalui eksploitasi seks yang meluas tanpa kendali.
Dari sinilah karakteristik maskulin semakin dominan dengan ciri-cirinya yang keras, merusak, menaklukkan, persaingan, dan mengejar keuntungan tanpa batas. Belum lagi ideologi gender yang sampai sekarang cukup mapan, membuat dikotomi sektor publik untuk lelaki dan sektor domestik untuk perempuan semakin mendominasi dan memaksakan kekuasaannya, karena perempuan dianggap tidak mampu menghadapi kondisi yang semakin kompetitif ini. Semakin tereliminirlah perempuan.
Di titik ordinat inilah sebenarnya lawan perempuan. Tapi sekali lagi, perempuan tidak sedang menghadapi lelaki. Karena ideologi patriarkhi sebenarnya tidak dibuat oleh lelaki sebagai golongan atau individu, melainkan perempuan juga turut andil melegitimasikannya. Adanya organisasi Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan bentuk bentuk organisasi wanita lain yang kedudukan jabatannya ‘disesuaikan’ dengan jabatan suami, cukuplah kiranya dijadikan pembuktian bahwa perempuan juga melegitimasikan ideologi patriarkhi.
Representasi
Banyak orang yang merepresentasikan feminisme secara keliru. Representasi manusia tentang perempuan diformulasikan dalam bentuk ke-stereotype-an yang dilestarikan dari satu generasi ke generasi lain. Representasi ini juga merebak ke dunia pendidikan. Seorang murid SD Inpres kelas satu dapat dengan mudah memetakan perbedaan lelaki dan perempuan dari buku-buku bacaan sekolahnya seperti: Ibu memasak di dapur. Ayah membaca koran.
Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan representasi murid tersebut menjadi penting dalam konteks ideologi patriarkhi:
Pertama, realitas telah didefinisikan sebagai sesuatu yang natural. Hal ini bisa dilihat dari cara mendudukkan perempuan dari segi biologis. Nasehat-nasehat yang diindoktrinasi kepada anak-anak perempuan bahwa selaput daranya ditakdirkan menjadi lemah, karena itu harus dilindungi. Ukuran otak perempuan yang lebih kecil dijadikan argumentasi bahwa “setinggi apapun sekolah perempuan, larinya ke dapur juga” dan sebagainya.
Kedua, mitos-mitos yang disebarluaskan kepada anak-anak dikondisikan ke dalam perspektif lelaki. Mitos adanya perempuan ‘suci’ dan ‘tak suci’ yang diukur dari ada atau tidaknya ‘keperawanan’ perempuan.
Ketiga, sentralisme lelaki dalam kehidupan manusia telah berhasil dimapankan sebagai suatu proses pembentukan masyarakat patriarkhi. Sentralisme menjadi sebuah pengertian penguasaan atas wilayah-wilayah publik, dan membagi kekuasaannya atas wilayah-wilayah domestik. Dibuatlah kemudian produk-produk bacaan anak dengan teks “ayah pergi ke kantor dan ibu pergi ke pasar”-nya.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/kematian-periode-reformasi-menuju-indonesia-cemas-2045/
Penutup
Untuk menjadikan segala sesuatunya menjadi seimbang, perempuan harus mempunyai otonomi agar bisa mengatakan “tidak” terhadap keinginan pihak lain yang berniat mendominasi atau memaksakan kekuasaannya. Walaupun negara yang cenderung mengambil kebijakan tanpa kompromi perempuan harus juga membuat counter culture secara politis untuk dapat menentukan kebijakan. Selain itu juga benar apa yang dikatakan oleh Derrida, bahwa perlu diadakan kritik teks. Yaitu mengadakan pembongkaran teks dengan mengembalikannya ada teks-teks lain dengan perspektif sendiri, bukan pada norma yang dianggap sumber kebenaran tunggal. Dekonstruksi ini memungkinkan untuk feminisme mengungkapkan logikanya sendiri, perspektifnya sendiri, dan mengkonstitusikan diskursusnya (wacana)nya sendiri.
Dan yang perlu digaris bawahi bahwa budaya tandingan itu perlu didukung juga oleh lelaki yang sadar bahwa ini bukan saja masalah perempuan, dan perempuan tidak menganggap bahwa yang sedang dihadapinya adalah lelaki. Jika hal ini terjadi sungguh suatu kekuatan sinergis yang mampu menciptakan revolusi ideologi. Tapi jika pemahaman tentang persamaan hak masih dilihat secara hitam-putih juga, saya lebih sepakat dengan Hobbes, lebih baik manusia menjadi serigala saja bagi manusia yang lain…
*) Makalah ini disampaikan pada acara seminar sehari yang diselenggarakan oleh Universitas Prof. DR Moestopo-Jakarta, pada tanggal 23 Desember 1992.
*) Penulis adalah mahasiswa IKIP Jakarta dan aktif di Yayasan PUNAKAWAN
Ditulis Oleh: Nina Krisna Ramdhani
Dalam Majalah LPM Didaktika No. 5 Th. XVIII 1993 pada Rubrik TEROPONG