Jabatan fungsional guru besar atau profesor merupakan status tertinggi bagi para akademisi kampus. Guna mencapai jabatan tersebut, beberapa persyaratan pun harus dilakukan. Salah satunya jika merujuk pada Permendikbud Nomor 92 Tahun 2014 adalah memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi.
Sayangnya Kumba Digdowiseiso, Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Nasional (UNAS) melakukan tindakan yang dinilai merusak reputasi budaya dan integritas akademik. Ia diduga melakukan pencatutan nama secara diam-diam sejumlah dosen di Universiti Malaysia Terengganu.
Menanggapi fenomena ini, Kaukus Indonesia dalam Kebebasan Akademik (KIKA) menyelenggarakan pernyataan sikap pada kamis (18/4). Dalam pernyataannya, KIKA mengecam segala bentuk tindakan yang melanggar etika kebebasan akademik.
Kika menyerukan empat poin dalam memandang fenomena ini. Pertama mengingatkan kepada para akademisi untuk memproduksi kebaharuan dan penemuan yang signifikan. Kemudian mendorong kampus lebih terlibat untuk menciptakan ilmu pengetahuan dengan mengedepankan integritas akademik para akademisi di dalamnya.
Kedua, mendesak Nadiem Makarim, Menteri Kemendikbud Ristek untuk tidak ragu membatalkan status guru besar yang diperoleh para akademisi dengan cara melanggar integritas akademik.
Ketiga, KIKA menduga ada proses transaksional yang melibatkan pihak jaringan mafia publikasi. Hal ini menurut KIKA dapat diendus dari kasus lonjakan kenaikan jabatan fungsional akademisi yang menjadi guru besar di tahun 2023.
Keempat, bila hal ini tidak segera dihentikan, kasus pelanggaran etika dan integritas akademik akan berulang. Sehingga, berdampak pada ilusi jabatan guru besar yang mempermalukan dunia akademik, keuangan negara, membentuk sentimen negatif publik terhadap kampus, serta meruntuhkan muruah universitas ditengah komunitas akademik dan keilmuan di level nasional maupun internasional.
Baca juga: Ambisi Terselubung Kampus dalam Ferienjob
Koordinator Kika, Satria Unggul mengatakan kasus Kumba mengilustrasikan situasi iklim akademik di Indonesia. Di mana para akademisi masif mempublikasikan karya ilmiah hanya untuk mengejar jabatan, pangkat, dan tunjangan.
“Sayangnya, pelanggaran etika akademik dilakukan demi tujuan tersebut,” ujarnya.
Dalam rekam jejak Kumba sepanjang tahun 2024, dirinya telah mempublikasi 160 karya. Melansir Kompas.id, publikasinya tersebut diduga terbit di jurnal penipuan atau predator. Hal itu dinilai tidak masuk akal di kalangan akademisi.
Perjalanan karir Kumba dalam menerbitkan publikasi artikel ilmiah berskala masif tidak hanya terjadi pada tahun ini saja. Menurut rilis yang ditulis Kika, Kumba di tahun 2023 sudah mempublikasi karya ilmiah sebanyak 314 artikel.
Tim Akademik KIKA, Abdil Mughis menyatakan jika pelanggaran seperti plagiasi adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Ia menilai kampus tidak mampu dalam mengawal baiknya budaya akademik, karena bagian etika yang terpenting seperti kejujuran telah dilangkahi begitu saja.
“Dibutuhkan paradigma atau pembedahan Struktural dalam membaca situasi seperti ini. Jangan terjebak pada keaktoran dan problem individual,” tuturnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNJ itu menambahkan kalau saja kampus masih bertahan dan tidak mau merombak sistem keseluruhan yang ada, hal ini tentu saja akan menimbulkan serentet persoalan pelik. Mughis menawarkan pembacaan utuh dalam menyelesaikan persoalan ini.
Baginya yang paling mendasar ketika akademisi melanggar etika dan integritasnya bersandar pada problematika kesejahteraan dosen, lalainya kontrol negara terhadap kampus, dan standarisasi praktis untuk mencapai jabatan fungsional guru besar.
“Banyak kolega kampus saya yang melakukan tindakan serupa seperti Kumba, jadi saya sejujurnya tidak kaget. Persoalan ini harus diselesaikan agar para akademisi tidak terus mengelabui sistem,” tegasnya.
Penulis/reporter: Arrneto
Editor: Ezra Hanif