Ramai-ramai wacana Indonesia Emas 2045 hari ini, bukan sekadar harapan manis ketika Indonesia berumur seabad belaka. Dengan adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Indonesia Emas 2045 tampak merupakan program ambisius. Guna mengabulkan impian itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang delapan agenda pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan kesinambungan pembangunan.
Jika ditarik ke belakang, proyek pembangunan ambisius layaknya Indonesia Emas 2045 pernah terjadi pada zaman Orde Baru. Lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Soeharto berusaha memacu perkembangan ekonomi bangsa.
Adanya Repelita kemudian menciptakan suatu kredo baru di masyarakat, yakni pembangunanisme. Kredo ini menekankan kestabilan politik demi tercapainya target pembangunan, sehingga pemerintah kerap melenyapkan masyarakat yang kritis. Demi kestabilan pula Orde Baru bercorak militerisme yang dapat dilihat dari banyaknya jabatan pemerintahan diisi oleh anggota aktif ABRI.
Melihat hari ini, corak militerisme Orde Baru tampaknya terjadi lagi. Lewat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sebentar lagi rampung, jabatan ASN dapat dengan mudah diisi oleh anggota TNI dan Polri. Adapun adanya RPP itu terkait dengan UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 yang juga berisi hal kontroversial serupa.
Padahal, pengalaman pahit selama puluhan tahun kekuasaan militer atas sipil yang menihilkan demokrasi dan hak asasi manusia, membuat penghapusan dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda Reformasi. Ketika hari ini jabatan ASN dapat dengan mudah diisi oleh anggota TNI/ Polri, bukankah dapat dilihat jika terdapat disorientasi Reformasi?
Baca juga: Ketua Kampung Susun Bayam Ditangkap Paksa Pihak Kepolisian
Masihkah Reformasi?
Jika merujuk kepada buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII yang diterbitkan Kemendikbudristek pada 2022, dijelaskan bahwa periode Reformasi dimulai dari masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Jika berpaku pada waktu yang tertera dalam penjelasan buku keluaran pemerintah itu, periode Reformasi tentunya masih berlangsung hingga kini. Namun benarkah begitu, bukankah nilai-nilai Reformasi seakan kian sirna. Untuk menjawab persoalan ini, penting kemudian untuk memahami periodisasi.
Dalam ilmu sejarah dikenal konsep periodisasi. Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, pembabakan waktu atau periodisasi bertujuan agar setiap waktu dapat dipahami. Sederhananya pembatasan bernama periodisasi digunakan agar setiap babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya.
Semisal, dalam periode Reformasi, cirinya tidak sekadar pasca keruntuhan Soeharto semata. Lebih dari itu, periode ini bercirikan perubahan besar Indonesia yang sesuai dengan agenda Reformasi itu sendiri. Selain pencabutan dwifungsi ABRI, lebih lanjut agenda Reformasi terdiri dari pemberantasan KKN, amandemen konstitusi, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya, penegakan supremasi hukum, dan adili Soeharto beserta kroni-kroninya. Kemudian, apakah ciri-ciri Reformasi tadi masih sesuai dengan kenyataan hari ini?
Terkait pemberantasan KKN misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan anak kandung Reformasi sudah dibajak. Semenjak revisi UU KPK tahun 2019, independensi KPK lenyap. Selain itu, puluhan pegawai badan anti rasuah ini dipecat karena tak lolos tes wawasan kebangsaan yang penuh akan polemik.
Tak ayal indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia hanya berada di angka 34 pada tahun 2023. IPK tersebut membuat peringkat Indonesia merosot dari semula peringkat 110 menjadi 115 dari 180 negara.
Kemudian terkait tuntutan amandemen UUD 1945, mempunyai semangat demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia. Salah satu hasil dari tuntutan itu berupa penambahan hak warga negara dalam pasal 28 yang sebelumnya hanya berisi hak kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menjadi adanya juga hak untuk untuk kemerdekaan pikiran, perlakuan yang sama di mata hukum, dan hak-hak lainnya. Akan tetapi, hari ini muncul berbagai UU yang justru bertolak belakang dengan semangat yang ada sebelumnya.
Sebut saja Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan setahun lalu. Dalam UU itu terdapat pasal 240 ayat (1) tentang pelarangan penghinaan lembaga negara. Selain itu, terdapat pula pasal 188 tentang pelarangan penyebaran ajaran Marxisme atau paham lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. Dampak dari peraturan tadi, yakni rentannya kriminalisasi terhadap orang yang kritis dan terbatasnya masyarakat mengakses ilmu pengetahuan.
Mengenai desentralisasi ataupun otonomi daerah, kini terkikis dengan adanya UU Cipta Kerja. Lewat UU sapu jagat itu, beberapa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dipangkas. Misalnya, seperti wewenang penilaian kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) menjadi milik Lembaga Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang dibentuk pemerintah pusat.
Selain UU Cipta Kerja, (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) turut pula mengkerdilkan desentralisasi. Melalui pasal 5 ayat (4) UU IKN, pemimpin IKN bukan dipilih oleh rakyat tetapi oleh presiden. Tentunya, hak masyarakat dalam memilih pemimpin kian terkikis dan sulit dikatakan bahwa pemerintah IKN dapat otonom. Bisa dikatakan bahwa kini bukan adanya pemberian otonomi daerah seluas-luasnya, tapi pemberian wewenang spesial kepada pemerintah pusat.
Setelahnya, terkait gamblangnya kebusukan supremasi hukum lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan langkah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden. Putusan itu, penuh akan kejanggalan terkait prosedural, pelanggaran etik, dan sebagainya. Terkait putusan itu, Ahli hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan palu hakim telah patah di hadapan politik.
Terakhir, tuntutan pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya memang tidak terwujud sejak Reformasi dimulai. Maklum, 32 tahun berkuasa tentu menghasilkan penumpukan sumber daya ekonomi politik kepada Soeharto dan kroni-kroninya. Namun keadaan kini bertambah runyam ketika mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto menjadi bakal Presiden Indonesia. Padahal, dirinya terlibat kasus penculikan beberapa aktivis 1998.
Ke depan kemungkinan besar Indonesia kembali diselimuti otoritarianisme ataupun militerisme. Hal itu semakin diperkuat dengan adanya wacana penambahan puluhan Komando Daerah Militer (Kodam) oleh Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto.
Apalagi Indonesia akan dipimpin oleh seseorang yang bercorak militeristik dan mempunyai jejak buruk dalam hak asasi manusia. Mungkin dapat dikatakan periode sekarang merupakan periode Neo Orde Baru.
Memang sejarah itu unik, peristiwa di dalam lintasannya hanya terjadi sekali. Namun, pengulangan bisa terjadi ketika suatu peristiwa memiliki kesamaan karakteristik dengan yang lain.
Selayaknya Orde Baru yang menekankan stabilitas politik demi impian pembangunan, Indonesia hari ini pun tengah ambisius melakukan gaya tersebut. Namun belajar dari Orde Baru, demi pembangunan itu juga, sengkarut permasalahan mengiringi. Seperti halnya pemusatan kekuasaan ekonomi-politik kepada segelintir pihak, dan memaksakan stabilitas politik yang otoriter dengan hasil menindas rakyat.
Penulis: Andreas
Editor: Arrneto Bayliss