Merasa sia-sia, mahasiswa mengeluh tidak dapat menerapkan teori perkuliahan di tempat magang. Sebab, kampus dianggap lepas tangan dalam mengakomodir mitra magang mahasiswa. Kampus berdalih mencari mitra magang terlalu kompleks
Seluruh mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) wajib mengikuti program magang pada semester tujuh. Kebijakan itu masuk ke dalam jenis kegiatan Praktik Kuliah Lapangan (PKL). Merujuk buku pedoman PKL Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran (LP3) UNJ, program magang bertujuan agar mahasiswa dapat mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh ke dalam dunia industri maupun perusahaan sesuai dengan bidang studinya.
Namun, pada pelaksanaannya tidak demikian. Sebagaimana dikemukakan oleh mahasiswi Program Studi (Prodi) Manajemen 2021, Amanda Ameliany, mengaku tidak dapat menerapkan ilmu yang ditempuh pada industri tempat magangnya. Sebab, Ia hanya ditempatkan pada bagian administratif, seperti mengurus surat-menyurat, mengantar berkas, hingga menyalin dokumen. Padahal, dirinya mengambil jurusan manajemen keuangan.
“Sia-sia sekali magang, aku tidak bisa menerapkan teori yang dipelajari karena di tempat magang hanya mengurus administrasi,” keluhnya.
Bagi Amanda, persoalan itu bisa terjadi karena kampus tidak mengakomodir dan menjamin tempat magang yang sesuai bidang studi. Kehadiran kampus dalam mengelola tempat magang sebatas melayani mahasiswa membuat surat pengantar sebelum mendaftar ke tempat magang. Padahal, ia ingin kampus mengatur agar magang dapat menjadi pengayaan ilmu dari jurusan yang ditempuh.
Terlebih, pada kasus Amanda di Fakultas Ekonomi, pembelajaran tatap muka selama 2 semester dikonversi menjadi magang. Ia merasa Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibayarkan terbuang begitu saja karena kampus tidak menyediakan mitra industri sebagai penunjang terlaksananya magang.
“Sekurang-kurangnya kampus menyediakan mitra industri yang linear. Sebab, kami tetap membayar UKT full. Walaupun, tidak ada pembelajaran tatap muka,” tuntutnya.
Baca juga: Minim Kesiapan, Pembukaan Prodi Baru di UNJ Menuai Kritikan
Setali tiga uang, mahasiswa Prodi Matematika 2021, Muhammad Diaz Adjie mengatakan, kampus melepas tanggung jawab dalam menyediakan tempat magang bagi mahasiswa, dengan dalih membebaskan mahasiswa untuk mencari tempat magang yang diinginkan. Bahkan, bagi Adjie, kampus tidak memberikan pembekalan perihal magang kepada mahasiswa.
Ia melanjutkan, pembebasan itu akan berimbas pada ketidaklinearan antara bidang studi mahasiswa dengan dunia industri. Sebab, mahasiswa terpaksa menentukan tempat magang secara acak walaupun tidak terlalu berdampak dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu, Adjie menambahkan, apabila UNJ banyak bekerjasama dengan perusahaan/industri, hal itu dapat mengakomodir tempat magang bagi mahasiswa yang sesuai bidang studinya. Alhasil, mahasiswa dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melahirkan karya akademik, seperti artikel ilmiah ataupun penelitian skripsi.
“Karena dibebaskan dan dikejar waktu pelaksanaan magang, mahasiswa kerap kali memilih secara acak tempat magangnya. Mahasiswa tidak peduli linear atau tidak, mendapat ilmu atau tidak, yang penting dapat memenuhi administrasi magang dari kampus,” ucapnya.
Sumber: jajak pendapat LPM Didaktika
Tim Didaktika melakukan jajak pendapat pada 20 – 30 November 2024 untuk mengetahui persepsi mahasiswa semester tujuh terkait persoalan magang. Dari total 34 responden yang berasal dari fakultas berbeda, sebanyak 65,79 persen mahasiswa berpendapat kampus abai dalam proses permagangan. Sedangkan sebanyak 34,21persen mahasiswa merasakan kehadiran kampus selama proses magang.
Jika dirinci, angka yang sama pada 65,79 persen responden kesulitan dalam proses pencarian magang. Lalu, disusul 34,21 persen mudah mencari magang. Sulitnya mendapat lowongan magang menjadi tantangan paling banyak disebut responden. Terlihat, hanya 21,05 persen mahasiswa yang mendapatkan informasi mengenai lowongan magang dari kampus. Sementara, 78, 95 persen mahasiswa mendapatkan informasi lowongan magang dari sosial media ataupun rekan sejawat.
Kendati demikian, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UNJ, Ifan Iskandar berdalih bahwa persoalan mitra magang adalah ranah pihak program studi (prodi). Sebab baginya, pihak universitas tidak dapat mengelola mitra magang dan menggandeng banyak perusahaan/industri karena dinilai kompleks. Terlebih, prodi lebih mengerti mitra magang yang relevan bagi keilmuan mahasiswa.
Ia berkilah kampus hanya dapat bekerja sama dengan mitra perusahaan/industri untuk persoalan umum. Misalnya, perjanjian dengan Bank Negara Indonesia (BNI) untuk pembuatan kartu tanda mahasiswa. Sedangkan, perihal penyaluran mahasiswa magang, perlu perjanjian kerja sama yang lebih khusus.
Baca juga: UNJ dan Babak Baru Industrialisasi: Menguak Motif dibalik Perubahan Nama Fakultas
Lebih lanjut, Ifan menegaskan, magang tidak boleh dilakukan bila pihak fakultas atau prodi belum mengadakan perjanjian dengan perusahaan/industri terkait. Bila melanggar, pihak universitas akan memberi peringatan sesuai regulasi yang berlaku.
“Permagangan hanya boleh dilakukan bila sudah ada perjanjian kerja sama antara pihak prodi dengan mitra. Tidak boleh melanggar,” tegasnya.
Selanjutnya Ifan menjelaskan, praktik magang memang wajib dilakukan. Pasalnya, program magang menjadi ketentuan wajib dari kebijakan Kementerian yang tertuang dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) nomor dua, yakni hak mahasiswa mendapatkan pengalaman/belajar di luar kampus.
Ifan berterus terang ingin meningkatkan peringkat universitas dengan menggenjot perolehan skor IKU. Berkelindan dengan pernyataan Ifan, dalam Buku Panduan IKU Perguruan Tinggi Negeri menjelaskan, pencapaian IKU PTN akan menjadi tolak ukur pemberian insentif Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
“Salah satu indikator untuk meningkatkan peringkat universitas dapat dilihat dari jumlah mahasiswa yang mengikuti magang. Jika banyak maka peringkat UNJ juga akan ikut naik,” pungkasnya.
Kewajiban Magang Memberangus Kebebasan Akademik
Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksono, menanggapi fenomena masifnya perintah magang oleh kampus sebagai sebuah pemberangusan kebebasan akademik. Pasalnya, pada beberapa kasus, magang mengambil porsi lebih dalam kegiatan akademik mahasiswa, seperti konversi Satuan Kredit Semester (SKS) sebanyak tiga semester dalam kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Ia berpendapat, porsi lebih tersebut akan membuat mahasiswa menjadi buruh terampil yang dibayar murah, alih-alih manusia merdeka yang kritis. Padahal, bila merujuk Magna Charta Universitatum, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan kemerdekaan dan kebebasan akademik bagi mahasiswa dalam menemukan ide-ide besar dalam diskursus akademik, dan bersikap kritis terhadap pelbagai kebijakan yang bersifat diskriminatif.
“Perguruan tinggi hari ini justru melayani kepentingan pasar melalui skema magang. Akhirnya, banyak mahasiswa yang tidak memiliki pikiran kritis dan menghambat pengembangan ilmu pengetahuan,” sebutnya.
Jika kampus mengabaikan tanggung jawab utama sebagai wadah ilmu pengetahuan, ia khawatir mahasiswa tidak akan mampu mengembangkan kepakaran pada keilmuannya. Alhasil, perguruan tinggi tak ubahnya pabrik tenaga kerja murah dengan pikiran terjajah.
Sedangkan, lanjut Satria, sistem ekonomi hari ini sangat kompetitif dan menuntut kita untuk berdaya saing tinggi. Oleh sebab itu, kampus seharusnya menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepakaran dalam bidang keilmuannya masing-masing.
“Competitiveness dalam sistem ekonomi hari ini bukan lagi ketat, tapi predatoris. Institusi perguruan tinggi harus berupaya mencetak pakar-pakar yang memiliki pemikiran kritis,” pungkasnya.
Baca juga: Warna Almet UNJ Berubah, Rektor Terkejut, Mahasiswa Resah
Satria mengatakan, skema magang yang terjadi hari ini adalah dampak liberalisasi pendidikan. Baginya, ketika perguruan tinggi diberikan otonomi lebih oleh kementerian —baik bidang akademik maupun keuangan— jangan sampai otonomi itu hanya fokus kepada urusan bisnis semata.
“Otonomi kampus diberikan agar mahasiswa merdeka dalam mengembangkan diskursus akademik. Selain itu, agar Tridharma perguruan tinggi yang bermuatan pendidikan, pengajaran, pengabdian masyarakat berakar kuat dalam diri mahasiswa,” tutupnya.
Reporter/ penulis: Anisa Inayatullah
Editor: Lalu Adam Farhan Alwi