Menteri Keuangan, Sri Mulyani menegaskan walaupun anggaran Kemendiktisaintek dipangkas, perguruan tinggi tidak akan menaikan UKT.

Namun, statement ini perlu dibaca lebih lanjut. Jika merujuk dari uraian Rapat Kerja Komisi X DPR RI 2025 bersama Kemendiktisaintek, membahas rekonstruksi anggaran, terdapat beberapa komponen vital yang turut dipangkas. Hal ini menyebabkan anggaran Kemendiktisaintek yang semula ada di besaran Rp 57,68 triliun berubah menjadi Rp 14,3 triliun. 

Salah satu komponen vital tersebut adalah Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Dari yang tadinya ada di besaran Rp 6 triliun, dipangkas menjadi Rp 3 triliun. Padahal, Dirjen Dikti sebelumnya, Abdul Haris, mewanti-wanti bahwa penambahan porsi anggaran pendidikan tinggi dapat menjadi langkah untuk mencegah kenaikan UKT.

Jika menengok kembali UU Nomor 2 Tahun 2025, Bab II, Pasal 2, turunannya adalah Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT) yang merupakan bagian komponen UKT, memiliki 3 unsur pembentuk. Di antaranya adalah Capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Jenis Program Studi, dan Indeks Kemahalan Wilayah. 3 poin ini bergantung pada kondisi objektif ekonomi nasional, sehingga tergolong dinamis. 

Dalam membaca praktik BOPTN yang menggabungkan 3 poin di atas, diperlukan alokasi anggaran, hal ini diturunkan lewat Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT), lewat biaya langsung dan tidak langsung. Segala bentuk praktik biaya operasional tersebut dirangkum ke dalam Biaya Kuliah Tunggal (BKT).

Baca juga: Dari Ruang Kuliah ke Galian Tambang

Iklan

Ambilah contoh di UNJ, di kala masih berstatus Badan Layanan Umum (BLU). Terdapat perbedaan alokasi anggaran dalam mengelola Prodi Pendidikan Bisnis yang berstatus akreditasi unggulan, antara tahun 2021 dan 2024. Pada tahun 2021, BKT Prodi Pendidikan Bisnis menyentuh angka Rp 6.741.000. Sedangkan, pada tahun 2024 BKT Prodi Pendidikan Bisnis mengalami perubahan mencapai Rp 8.664.000.

Sementara itu dalam konteks universitas yang telah beralih menjadi PTN-BH, seperti Universitas Negeri Malang (UNM) di tahun 2024 mengalami hal serupa. Di tahun 2023, notabene masih mengenyam status BLU, Prodi Psikologi dengan akreditasi A, memiliki BKT dengan besaran Rp 9.071.000. Kemudian di tahun akademik 2025, dalam artian sudah berstatus PTN-BH,  BKT di prodi ini berada di angka Rp11.412.000.

Dengan adanya pemangkasan anggaran, tentunya kampus akan terseok-seok mengelola dana. Upaya menaikan BKT merupakan siasat kampus agar bisa menyelenggarakan perkuliahan. Ini menyangkut tentang biaya langsung dan tidak langsung. Seperti sarana, prasarana, serta kegiatan akademik. Kini masalah bergulir, apakah negara sudah mempersiapkan dengan matang bantuan ekonomi untuk kampus yang baru menjadi PTN-BH?

Pemangkasan Anggaran : Senjata Makan Tuan

Nyatanya tidak. Pemangkasan anggaran juga terjadi pada beberapa program akselerasi kampus untuk menjadi PTN-BH. Sebagai contoh, komponen Bantuan Pembiayaan PTN-BH (BPPTNBH) terkena dampaknya. Kebijakan ini dapat disebut sebagai mekanisme dana abadi. Disinyalir, cara ini dapat menggerek atau membantu pengelolaan kampus yang baru saja mendapatkan status PTN-BH.

Bantuan akselerasi pemasukan ekonomi ini terbukti diharapkan beberapa kampus. Melansir laman Humas Institut Teknologi Sepuluh September, kampus ini terbilang cukup mengandalkan BPPTNBH untuk mendorong kuantitas riset, supaya dapat mengejar akreditasi World Class University (WCU). Sayangnya, kampus ini seharusnya mendapatkan dana abadi Rp 200 miliar, tetapi malah hanya mendapat Rp 60 miliar. 

Selain BPPTNBH, pemotongan komponen bantuan pemerintah yang dapat mengakselerasi pengelolaan ekonomi kampus PTN-BH terletak pada Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PRPTN) dan Pusat Unggulan Antar Perguruan Tinggi (PUAPT). Komponen ini disusun untuk menjadi katalis tiap PTN supaya mendapatkan status badan hukum. 

PRPTN dan PUAPT mencakup revitalisasi sarana dengan alokasi anggaran 80% Kemudian renovasi minor prasarana, pelatihan & pengembangan dosen & tendik, serta lokakarya hanya 20% anggaran. Ketika sudah mulai berjalan, terdapat target yang harus dipenuhi, mekanisme ukurannya ditetapkan melalui Indikator Kinerja Utama (IKU) PRPTN dan PUAPT.

Baca juga: Massa Tumpah Ruah di Jalan Menolak Pemangkasan Anggaran Pendidikan

Selayaknya senjata makan tuan, dengan adanya pemangkasan di komponen PRPTN dan PUAPT, resiko gagal untuk menerapkan langkah akselerasi ini sangat mungkin terjadi. Tidak hanya mempersulit capaian Kemendiktisaintek, posisi kampus tercebur ke dalam lubang yang sama. Pada akhirnya, seperti tren hari ini yang memang menunjukan begitu, skema paling mungkin terjadi untuk menambal keroposnya sendi keuangan kampus adalah dengan bermain di penambahan kuota mahasiswa baru.

Iklan

Semisal di UNJ sejak 2023, 2024, dan 2025, pola masuknya mahasiswa baru sejak masih dalam fase status BLU, transisi ke PTN-BH, hingga telah jadi, menunjukan adanya kenaikan. Secara berturut kuota mahasiswa baru, terhitung ada 5.946 (2023), 7.999 (2024), dan 9.641 (2025).

Masalahnya jika hanya menyandarkan penuh keuntungan dengan strategi seperti ini, kampus riskan terjebak dalam pemasukan yang pasif, bergantung pada tiap satu tahun sekali. Di sini, komparasi antara biaya tata kelola kampus yang berjalan dinamis tiap harinya akan menunjukan sisi timpang. Padahal untuk menavigasi pemasukan kampus, paradigma yang perlu dibangun tidak hanya untuk memenuhi unsur tata kelola saja. Mestinya ada keuntungan berkelanjutan yang tidak bergantung pada momentum satu tahun sekali.

Karena semangat awal bangsa kita jika merujuk pada amanat konstitusi UUD 1945, yaitu seluruh rakyat mendapatkan pendidikan. Maka, kebijakan yang menjadi urgensi adalah proteksi maksimal atau intervensi lebih negara terhadap tata kelola perguruan tinggi untuk menuju pembangunan berasas kerakyatan. Bukan malah memangkas.

Penulis: Arrneto Bayliss

Editor: Devita Sari