Polemik rencana pemberian konsesi tambang, dilema perguruan tinggi antara lembaga pendidikan dan orientasi bisnis.

Pada 23 Januari, DPR RI secara resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 04 tahun 2009, mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) sebagai usul inisiatif DPR. Perubahan tersebut mencakup penambahan pasal 51A dan 51B, yang membuka peluang pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. 

Rencana tersebut menuai respon beragam dari berbagai perguruan tinggi. Seperti Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sumaryanto, yang menyatakan dukungan dan kesiapannya jika diberi mandat  pengelolaan tambang. 

Berbeda dengan UNY, Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Gregorius Sri Nurhartanto, secara tegas menolak rencana tersebut. Gregorius khawatir pemberian konsesi tambang dapat menggeser fungsi perguruan tinggi, alih-alih sebagai institusi pendidikan yang mencerdaskan bangsa malah ikut mengambil kekayaan alam.

Sementara itu, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), lewat Wakil Rektor IV Bidang Jaringan dan Kerja Sama, Andy Hadiyanto menyatakan kampus belum berminat terhadap konsesi tambang. Andy menyebut, konsesi tambang memerlukan dana penyertaan yang tinggi. 

“Belum ada diskusi internal mengenai rencana pemberian konsesi tambang. Itu hanya untuk kampus yang sudah kuat dana abadinya, karena penyertaan dana awal pengajuan per meter sebesar Rp 200 juta,” jelasnya via pesan WhatsApp (31/01).

Iklan

Ia mengetahui informasi perkiraan besaran dana awal pengajuan berasal dari organisasi masyarakat yang sudah lebih dulu menerima konsesi tambang. Menurut Andy, sejauh ini UNJ masih mengacu pada target rencana strategi awal dalam mengembangkan unit bisnis dan kerja sama. 

“Untuk di dalam negeri, kita berfokus ke lembaga pemerintah, pendidikan dan Non Government Organization. Sementara dalam ranah bisnis akan dikembangkan oleh PT Edura Cipta Gemilang yang dikembangkan oleh UNJ untuk mendapatkan pemasukan, dengan membuka catering, air mineral, travel, dan sebagainya,” tutupnya.

Senada dengan Andy, Dosen Sosiologi Robertus Robert meragukan kesiapan perguruan tinggi ketika diberikan konsesi tambang. Robert juga memperingatkan perguruan tinggi untuk tidak terburu-buru dan merasa senang akan rencana tersebut.

“Perguruan Tinggi jangan melihat tawaran tambang sebagai sebuah hadiah. Kalaupun hadiah, untuk mendapatkan itu perlu ada syaratnya. Harus menyiapkan dana minimum, untuk bayar pajaknya, dana penyertaan awalnya,” tuturnya pada Senin, (03/02)

Robert dengan tegas menolak rencana pemberian konsensus tambang kepada perguruan tinggi. Menurutnya, terdapat tiga alasan kuat yang membuatnya tidak menghendaki rencana tersebut. Pertama, tujuan intrinsik universitas dengan perusahaan itu berbeda. Baginya, universitas tidak boleh berubah jadi lembaga bisnis

“Khususnya universitas negeri yang mendapatkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara tambang tujuan intrinsiknya sangat ekstraktif, perusahaan mencari teknologi untuk melihat alam sebagai objek yang dapat dieksploitasi,” jelasnya.

Kedua, Robert menekankan seharusnya negara tidak memberi pengelolaan konsesi bisnis sepenuhnya kepada universitas. Menurutnya, masih perlu dilakukan proses uji kompetensi, pembukaan tender hingga proses bidding. Maka, pemberian konsesi bisnis bisa diberikan kepada pihak yang kompeten dengan syarat yang ketat. 

Baca juga: Diberhentikan Tidak Adil, Nelangsa Buruh Outsourcing UNJ

Robert juga menilai, sebagai negara yang masih menjadikan pancasila sebagai sumber etika, maka setiap kebijakan ekonomi dan bisnis harus mempertimbangkan nilai-nilai etikanya. Ia menyebut nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan yang harus menjadi dasar pengemmbangan bisnis.

“Harus  dipastikan apakah bisnis mencerminkan sifat keadilan, baik sosial maupun generasional. Kalau semua sumber daya dihabiskan sekarang, apa yang kita sisakan untuk generasi kedepannya?,” ujar Robert.

Iklan

Terakhir, Robert menegaskan bahwa pengembangan unit bisnis dalam dunia pendidikan merupakan hal yang baik selama tujuannya adalah untuk subsidi silang. Serta yang paling penting menurutnya bisnis tidak boleh menentukan arah pendidikan, melainkan pendidikan menentukan arah bisnis.

“Unit bisnis universitas seharusnya fokus pada quality dan hospitality. Prasarananya harus bagus, perpustakaannya keren, sehingga kehidupan sosial, kebudayaan dan kehidupan multikultural di kampus terpelihara. Mahasiswa juga akan senang,” tutupnya.

Sementara itu, mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Farhan Rachte Putra menyuarakan ketidaksetujuannya. Lelaki yang akrab disapa Fateh itu menjelaskan, pemberian konsesi tambang dapat menjadi ancaman, sebab berpotensi memperbesar upaya intervensi negara terhadap pendidikan di perguruan tinggi.

“Bisa-bisa univesitas akan tunduk saja pada kebijakan negara, sebab birokrasinya merasa memiliki ketergantungan dengan pemberian kekuasaan mengelola tambang,” ujarnya. 

Fateh juga menyebut, marwah universitas dapat tercoreng jika menerima konsesi tambang. Menurutnya, akan terjadi benturan antar kewajiban perguruan tinggi untuk melaksanakan tridharma serta orientasinya sebagai lembaga bisnis.

“Pada kewajiban tridharma perguruan tinggi, terdapat bagian kewajiban Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Kalau hasil risetnya mengatakan tambang berbahaya bagi lingkungan, gimana?” Ucap Fateh.

Meski menurut Fateh rencana tersebut masih pada tahapan rencana pengajuan, dirinya tak mengelak ada kemungkinan dalam waktu dekat bisa disahkan secara tiba-tiba. Situasi ini, menurutnya bisa memantik gerakan perlawanan dari kalangan mahasiswa.

“Meski jalannya masih panjang untuk disahkan, tapi mahasiswa harus bersiap dan bergerak dari sekarang. Harus tegas menolak rencana pemberian konsensus tambang bagi perguruan tinggi,” pungkasnya

Penulis/reporter: Zahra Pramuningtyas

Editor: Ezra Hanif