Sudah jatuh, tertimpa tangga, begitulah kondisi nahas 9 buruh outsourcing atau alih daya di UNJ. Mereka dipaksa ikut sekolah paket berbayar supaya bisa bekerja, namun tetap saja diberhentikan.
Bekerja dari tahun 2008 sebagai petugas kebersihan di Kampus A UNJ, Engkus dengan berat hati harus hengkang dari tempat kerjanya. Kata Engkus yang kala itu duduk termenung di depan Sekretariat LPM Didaktika, pada awal tahun ini, terdapat perubahan ketentuan jenjang capaian ijazah sekolah sebagai standar bekerja. Mulai tanggal 1 Februari 2024, Engkus bersama delapan buruh kontrak lainnya yang bekerja pada PT Candra Teknik Pratama (CTP)—perusahaan outsourcing di UNJ— harus gantung sapu karena ijazah mereka belum mencapai jenjang SMA.
Sejak tahun 2008 ia bekerja dan mengadu nasib di berbagai macam jenama perusahaan outsourcing, baru kali ini ia merasa heran. Pasalnya status ijazah tidak pernah menjadi penghambat Engkus dalam bekerja. Baru ketika Engkus bekerja dengan PT CTP di tahun 2024, ijazah menjadi persoalan menerpa dirinya.
“Saya heran kalau ijazah dipersoalkan. Dulu saya saja hanya bermodal KTP dan KK boleh mendaftar. Untuk apa ijazah sekolah harus tinggi sementara pekerjaan bersih-bersih saja? Kalau begitu saya pikir hanya akan menutup orang-orang kayak saya untuk bisa bekerja,” ujar Engkus sembari merenung, Senin (20/01).
Keheranan Engkus juga bercampur dengan rasa ketidakadilan. Engkus masih ingat betul ketika bulan Ramadhan tahun 2024, pihak PT Candra Teknik Pratama (CTP) mendorong para pekerjanya yang memiliki jenjang pendidikan rendah atau tidak sama sekali untuk mengikuti sekolah paket. Jika tidak mengambil sekolah paket, kontrak kerja mereka pada tahun depan terpaksa diputus.
Walau demikian, PT CTP hanya menyuruh tanpa membiayai pegawainya untuk sekolah lagi. Dalam pengalaman Engkus, setiap bulan gajinya dipotong sebesar Rp.500.000 oleh perusahaan demi dirinya mengikuti sekolah paket A. Jika ditotal, gajinya yang dipotong sampai menyentuh Rp.2.000.000.
“Karena saya memang tidak pernah sekolah, jadi saya ikut sekolah paket A (setara SD) biar bisa kerja lagi, “ ujar Engkus terlihat murung.
Biaya itu bagi Engkus tergolong besar, mengingat jumlah upah per bulan hanya sebesar 3.500.000. Gajinya itu jauh dan bertentangan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta yang berjumlah Rp 5. 390.000.
Jika dilihat dari beban kerja, menurutnya tidak setimpal. Dari hari Senin sampai Sabtu, Engkus harus banting tulang bersih-bersih. Mulai dari jam 8 pagi hingga 4 sore, Engkus sendiri membersihkan Gedung G, tempat kehidupan organisasi mahasiswa UNJ. Menurutnya, jarang ada petugas kebersihan yang mampu bekerja di Gedung G karena jumlah sampah di sana sangat banyak dan kondisi sanitasi buruk.
Banyak dasar yang mengharuskan Engkus harus kerja banting tulang di UNJ. Dirinya harus menghidupi istri dan ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Tambah lagi, Engkus harus menyisihkan gajinya sebesar Rp1.200.000 per bulan untuk membayar biaya mengontrak rumah.
“Keadaannya sekarang bingung, kalau masih dipakai bekerja ya syukur, kalau enggak kerja, anak dan bini mau makan apa? Terus bayar kontrakan bagaimana?“ keluh Engkus.
Permasalahan berlanjut, Engkus belum mendapat informasi dari pihak perusahaan perihal adanya pemberian kompensasi. Padahal berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, buruh kontrak yang masa kerjanya habis harus mendapat kompensasi. Adapun pekerja mendapat kompensasi sebesar gaji sebulan jika sudah bekerja selama setahun.
Baca juga: Komodifikasi Atribut Agama dalam Masyarakat Konsumer
Engkus mengharapkan dirinya tetap bekerja di UNJ. Tambah Engkus, jika memang dirinya sudah tidak bisa bekerja kembali, ia ingin mendapat kompensasi dari pihak perusahaan. Menurutnya, kompensasi bisa menjadi rantai penyambung pemasukan dirinya untuk buka usaha.
“Keinginan utamanya sih bisa lanjut kerja di UNJ, apalagi sekarang cari kerja susah.“ tutup Engkus.
Rekan kerja Engkus, Sophie–bukan nama sebenarnya–juga harus menggantung sapu. Namun, terdapat argumen tambahan yang dikeluarkan oleh PT CTP terhadap perempuan berumur 54 tahun itu. Selain persoalan ijazah, Sophie dinilai terlalu tua untuk mengerjakan tugas bersih-bersih.
Rasa bingung menyelimuti Sophie atas pemberhentiannya. Perempuan yang telah bekerja di UNJ sejak tahun 2008 itu mengambil sekolah paket A dan mendapatkan ijazah setara SD pada tahun 2024. Hal itu sesuai mandat PT CTP agar dapat terus bekerja di UNJ.
Sophie pun harus merogoh kocek besar untuk mengikuti sekolah paket. Demi itu, gaji Sophie yang berjumlah Rp3.500.000 juga terpotong. Tiap bulannya gaji Sophie harus berkurang sebesar Rp 500.0000.
“Suami sudah gak ada, saya juga masih mengurus anak umur 26 tahun yang belum kerja karena terkena obesitas. Makanya bingung juga kalau tidak kerja, pemasukan dari mana? Lebih baik dipaksakan,“ ujar Sophie di sela-sela kesibukannya saat bekerja di UNJ pada Rabu (23/01).
Lanjut Sophie, jika dirinya sudah tidak bisa bekerja di UNJ, ia ingin mendapat kompensasi. Menurutnya, belum ada kabar pemberian kompensasi kepada para pekerja yang diberhentikan. Baginya, pada tanggal 1 Februari 2025, para pekerja PT CTP yang diberhentikan hanya mendapat gaji bulan Januari 2025 dan tunjangan hari raya (THR) saat Natal tahun lalu.
Sekretaris Badan Pengelola Usaha (BPU) UNJ, Abdul Rahman mengatakan, BPU tidak mengetahui persis terkait permasalahan sembilan pekerja outsourcing di UNJ. Sebabnya, sampai sekarang tidak ada laporan mengenai hal tersebut.
Ia juga mengatakan, tidak semua hal yang berkaitan bisnis dan kerja sama dengan perusahaan menjadi tanggung jawab pihak BPU. Baginya, tugas dan fungsi BPU hanya sekadar membuat kebijakan yang dapat mendatangkan profit bagi UNJ.
“Saya tidak tahu persis mengenai permasalahan itu dan bukan kewenangan BPU. Silahkan bertanya kepada perusahaan terkait,” imbuhnya saat diwawancarai Tim Didaktika pada, Kamis (30/01).
Tim Didaktika telah berupaya meminta keterangan perihal sembilan buruh yang di PHK, hingga mendapat kepastian kompensasi oleh pihak PT CTP. Surat permohonan wawancara telah dikirimkan melalui admin maupun alamat email terkait pada 24 Januari 2025. Tidak hanya itu, kami menghubungi admin PT CTP, Dahlia pada tanggal 25 sampai 27 Januari 2025. Namun, sampai berita ini diterbitkan pihak PT CTP tak kunjung merespon permohonan wawancara.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK), Dhiya Al-Uyun mempermasalahkan gaji sembilan pekerja PT CTP yang jauh di bawah UMP DKI Jakarta. Baginya, semua pekerja tidak bisa mendapatkan gaji di bawah UMP.
Tambah lagi, Dhiya melihat pemberhentian kerja sembilan buruh CTP bermasalah. “Pekerja ikut sekolah paket berbayar untuk bisa terus bekerja kemudian mereka diputuskan, ini jelas tidak adil dari segi pekerja itu sendiri, “ ujar Dhiya pada Selasa ( 28/01/2025).
Dhiya pun menyoroti tidak adanya kepastian kompensasi kepada para pekerja. Padahal menurutnya, kompensasi merupakan hak buruh saat pemberhentian kerja. Bagi Dhiya, ketidakadilan yang muncul tidak dapat dilepaskan oleh adanya sistem outsourcing. Jelasnya, banyak hak pekerja tidak didapatkan karena sistem outsourcing.
“Outsourcing begitu parah mengeksploitasi. Dalam artian pekerja tidak diberikan hak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Di Outsourcing tidak ada jaminan. Baik dari perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), kesehatan, bahkan dalam tingkatan paling buruk untuk perempuan hamil dan orang penyandang disabilitas,“ ucapnya.
Dhiya juga menyoroti transformasi kampus negeri yang kini berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Baginya, perubahan status itu membuat orientasi kampus negeri hanya fokus mendulang keuntungan.
Baca juga: Kemerosotan Budaya dalam Pemerintahan Baru
Sementara itu, ia juga menyoroti konteks kampus yang beralih statusnya menjadi PTN-BH. Bagi Dhiya, status ini melanggengkan pola pikir kampus yang hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi praktis. Dirinya menegaskan jika dalam tahap ini kampus cenderung hanya memikirkan proyek, seperti perampingan biaya operasional.
Di sini, posisi sivitas akademika dan tenaga kerja kampus menjadi korban. Dhiya menyarankan di setiap kampus untuk membentuk perserikatan. Dengan berserikat, pekerja kampus mempunyai daya tawar dalam memperjuangkan hak-haknya akibat perubahan status PTN-BH
“Dengan menjadi PTN-BH, kampus mengamini cara feodalistik. Dalam artian, kampus melakukan tindakan politis yang tertutup, seperti tidak mau diawasi tata kelola keuangannya. Di sini, seluruh warga kampus diharapkan bersolidaritas untuk melawan penindasan yang ditelurkan oleh birokrasi kampus,” tutupnya.
Reporter/penulis: Andreas Handy dan Lalu Adam Farhan
Editor: Arrneto Bayliss