Judul Buku: Lekra dan Geger 65
Penerbit: kolaborasi Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan Majalah Tempo
Jumhal halaman: 155
ISBN: 978-979-91-0673-5
Kebudayaan menjadi tonggak peradaban bangsa yang dibangun dari nilai motivasi dan perjuangan rakyatnya. Sebab, kebudayaan menjadi ekspresi seni yang mencerminkan keadaan dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu, seni juga bersinggungan dengan permasalahan sosial.
Hal itu bisa dilihat dari perbandingan kesenian yang muncul pada masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia. Semula masyarakat pribumi digambarkan dengan kehidupan yang dipenuhi hal mistis berubah menjadi masyarakat anti kolonialisme.
Hubungan budaya, seni, dan politik itu selalu berkelindan. Hal ini bisa diamati secara jelas pada Konferensi Nasional Kebudayaan Indonesia 1950. Saat itu, seniman angkatan 45 menggugat hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dinilai tidak sepenuhnya berhasil.
Alasannya, keputusan KMB menyebabkan terbentuknya relasi Uni Indonesia-Belanda yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Hal itu bisa membuat internalisasi nilai-nilai kolonial pada rakyat tidak bisa menghilang.
“Konferensi ini menunjukkan betapa berkelindannya hubungan antara politik dan kebudayaan, seni, sastra, dan ilmu,” (Hal. 5)
Meskipun seniman angkatan 45 mengeluarkan sikap politis dalam Konferensi Nasional Kebudayaan Indonesia itu, mereka menolak pembatasan sumber kebudayaan. Menurut seniman angkatan 45 — tertuang dalam Manifes Kebudayaan— menilai budaya berasal dari masing-masing individu, universal, dan tidak berkaitan dengan unsur politis.
Sikap Manifes Kebudayaan Angkatan 45 itu bertentangan dengan semangat revolusi yang dibangun kembali pasca KMB. Sebab, mereka mengamini nilai budaya Barat yang mengkerdilkan bangsa Indonesia.
Seniman angkatan 45 hanya memiliki sikap intuitif terhadap peristiwa politik seperti KMB. Mereka tidak membuat garis haluan politik yang jelas. Hal itu karena mereka tidak dilembagakan, sehingga motif perjuangan yang terbentuk hanya ingin memerdekakan diri dari penjajah saja.
Menurut Sekretaris Jenderal Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Joebaar, atas dasar itu dibentuklah organisasi kebudayaan dengan sikap politik dan orientasi yang jelas. Lekra didirikan untuk membangun kebudayaan yang berbasis kepada realitas sosial dan pengalaman rakyat. Di dalam mukadimah Lekra, termaktub secara gamblang perjuangan organisasi kebudayaan itu untuk menentang penjajahan dan penindasan yang merugikan rakyat.
Melalui Kongres Nasional Lekra I di Solo pada 1959, arah perjuangan organisasi kebudayaan itu diperjelas dengan konsep 1-5-1. Lekra memposisikan politik sebagai acuan dalam berkesenian. Karena dengan kesenian, kesadaran rakyat yang terbebas dari nilai kolonialisme dan imperialisme barat bisa terbentuk.
Baca juga: Perintah Gaib Kerahkan Tentara Gusur Paksa Kampung Tongkol Dalam
Dengan metode turun ke bawah (turba), Lekra memodifikasi kesenian seperti musik, tari, dan drama agar relevan dengan kondisi kehidupan sosial yang terjadi di masyarakat. Metode turba diimplementasikan dengan metode “tiga sama”: bekerja bersama, tidur bersama, dan makan bersama rakyat. Seperti perbuatan para seniman Pelukis Rakjat dengan menampilkan ketertindasan nelayan di Tambak Lorok pada sebuah pementasan teater.
“Sandiwara itu menceritakan keluarga nelayan yang ditindas oleh tuan ikan, tuan tanah di kampung nelayan. Suami tergadai nasibnya, bersabung di tengah lautan; sementara istri dipaksa melayani nafsu tuan ikan,” (hal. 40).
Namun, huru-hara akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965 menggerus eksistensi Lekra. Organisasi kebudayaan itu diberangus karena terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lebih parahnya, jamak seniman Lekra ditangkap, dipenjara, dibuang ke kamp konsentrasi, hingga dibunuh tanpa pernah diadili.
Pembungkaman Seni
Saat ini, hampir 60 tahun pasca G30S, memang kebebasan yang tercipta lebih besar. Tetapi, kebebasan berekspresi dalam kesenian dan kebudayaan memiliki standar ganda. Sebab, kebebasan yang tercipta itu difilter untuk melanggengkan status quo kelas penguasa.
Kasus pembredelan pameran karya seni tunggal Yos Suprapto pada (19/12/2024) bisa menjadi contoh. Lukisan Yos yang bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” dibatalkan pemerannya oleh pihak Galeri Nasional Indonesia. Pembatalan tersebut terjadi imbas dari beberapa lukisan Yos yang dinilai tidak sesuai tema.
Baca juga: Pembebasan Septia, Kemenangan Solidaritas
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menolak lukisan Yos karena menilai kritik sosial terhadap program food estate tidak pantas. Sebab, terdapat karikatur Presiden Republik Indonesia (RI) ke-7, Joko Widodo yang dibingkai sebagai tokoh dari ketertindasan rakyat akibat program itu.
Sementara itu, pada (10/1/2025) Fadli menerima pameran karya seni yang mengandung kritik sosial dari lukisan Raden Suhardi. Pameran karya seni yang bertajuk “Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001” itu berisi banyak lukisan satire terhadap kekuasaan. Tetapi, lukisan tersebut tidak menampilkan secara gamblang politisi yang dikritik.
Pemerintah mempunyai tanggapan yang berbeda dari kedua pameran di atas. Padahal kedua pameran tersebut memiliki tujuan dan isi yang sama, yakni sarat akan kritik terhadap pemerintah. Namun, mengapa pameran Yos harus dibatalkan? di lain sisi pameran Hardi yang juga bernuansa kritik mengapa tidak dibredel?
Padahal Indonesia adalah negara yang berasaskan demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi rakyatnya. Pembredelan terhadap pameran seni Yos menjadi titik dekadensi budaya karena kepentingan penguasa.
Buku Lekra dan Geger 65 menarik untuk dibaca karena membuat kita merefleksikan kembali tentang kebudayaan rakyat. Sebab, seniman Lekra yang disingkirkan oleh rezim Soeharto pasca G30S menyebabkan kekalahan kebudayaan rakyat.
Buku ini juga membuka ruang bagi masyarakat saat ini mengenai Lekra yang menjadi medium perjuangan rakyat, di mana kebudayaan tidak hanya soal estetika belaka. Namun, kekurangan buku ini tidak terlalu menyoroti perihal produk kebudayaan yang dihasilkan oleh Lekra.
Penulis: Anna Abellina Matulessy
Editor: Naufal Nawwaf