Judul buku: Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pasca Modern
Penulis: Medhy Aginta Hidayat
Penerbit: Cantrik Pustaka, 2021
Jumlah halaman: 228
ISBN: 978-602-0708-98-0
Segala hal kini bisa dijadikan komoditas dalam aktivitas ekonomi. Komoditas konsumsi bukan lagi hanya berbentuk fisik yang bisa diindera. Agama yang berbasis keimanan pun bisa memiliki nilai ekonomis sehingga diperjualbelikan. Hal itu sempat terjadi pada kasus skandal obral gelar habib.
Melansir berita Tempo pada 7 April 2024, polisi meringkus seorang pria bernama Janes Meliawan Wibowo, pelaku pencatut gelar habib palsu pada 28 Februari 2024. Dengan mengaku berasal dari Rabithah Alawiyah, ia mengelabui dan meraup uang Rp. 18,5 juta dari enam korbannya. Rabithah Alawiyah yang merasa dirugikan, lantas melaporkan Janes ke polisi.
Habib sendiri adalah gelar keagamaan untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad dari garis Husein bin Ali bin Abi Thalib. Tercatat, sejak tahun 1176 keturunan Nabi yang berasal dari Yaman mulai berdatangan di Indonesia. Mereka menamai golongannya sebagai Bani Alawi atau Ba’alawi, yang bersandar pada nama leluhurnya, Alwi Alawiyyin.
Seiring peningkatan jumlah Ba’alawi pada tahun 1928, organisasi Rabithah Alawiyah pun dibentuk untuk memperkuat persaudaraan sesama Ba’alawi. Sampai sekarang, Rabithah Alawiyah jadi lembaga resmi yang mencatat keturunan Nabi Muhammad di Indonesia.
Selain dipandang sebagai keturunan Nabi Muhammad, habib umumnya juga dikenal memiliki pengetahuan ilmu agama yang dalam. Makannya, dengan seseorang mengemban titel ‘habib’, ia telah memiliki satu modal sosial sebagai orang terhormat di tengah masyarakat. Hal ini tak terlepas pula dari kuatnya cengkraman budaya feodalisme.
Baca juga: Pembebasan Septia, Kemenangan Solidaritas
Tak heran, banyak orang pun berhasrat untuk memiliki gelar yang mengandung kehormatan seperti habib. Kondisi ini, memberi ruang bagi pihak seperti Janes untuk mengkomodifikasi dan mengambil keuntungan. Di titik ini, modus kapitalisme akhirnya mampu menciptakan budaya konsumtif di tengah masyarakat feodal.
Menurut pemikir asal Prancis, Jean Baudrillard (1929–2007), kapitalisme lanjut membentuk masyarakat konsumer, yang semua sendi kehidupannya diatur oleh aktivitas konsumsi. Termasuk atribut-atribut agama sekalipun. Maka dari itu orang rela membeli lalu “mengonsumsi” gelar habib.
Sejumlah pemikiran Baudrillard terangkum dalam buku Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern karya Medhy Aginta Hidayat. Medhy menjabarkan berbagai pemikiran Baudrillard yang salah satunya membahas terbentuknya masyarakat konsumer.
Dimensi Baru Sebuah Komoditas
Dalam teorinya, Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat konsumer adalah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh aktivitas konsumsi. Seorang individu dibedakan dari individu lain berdasarkan aktivitas konsumsinya. Seperti barang yang ia beli dan pakai. Aktivitas konsumsi ini lah yang membentuk realitas sosial, budaya, bahkan hingga politik.
Masyarakat modern melihat suatu komoditas bukan hanya dari nilai guna dan nilai tukar saja, namun beserta nilai tanda dan nilai simbolisnya. Nilai guna berarti sebuah komoditas dilihat dari segi kegunaan atau manfaatnya. Untuk memperoleh sebuah komoditas–yang telah diketahui kegunaannya–maka diperlukan harga untuk membayarnya, ini lah nilai tukar.
Sedang nilai tanda berfungsi sebagai pembeda antar komoditas. Misal sebuah tas bermerek Gucci mungkin tidak ubahnya dengan tas lain yang memungkinkan penggunanya menyimpan dan menaruh barang pribadi. Namun ia lebih berprestisius dibanding tas lain karena dirancang oleh desainer ternama dan dipakai oleh para selebriti.
Baca juga: Kemerosotan Budaya dalam Pemerintahan Baru
Karena satu komoditas menandakan status tertentu, orang pun pada akhirnya membeli satu barang, dan berharap status dari komoditas itu melekat pada dirinya. Ini lah nilai simbolis, yang membicarakan hubungan komoditas dengan pemakainya. Menurut Baudrillard, nilai simbolis adalah motif utama manusia mengkonsumsi suatu komoditas.
“Melalui objek-objek konsumsi, atau komoditas-komoditas, itulah seseorang dalam masyarakat konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya.” Hlm. 85
Dalam konteks gelar habib, nilai gunanya adalah untuk mencatat garis keturunan Nabi Muhammad. Untuk memperolehnya, seseorang bisa mendatangi Rabithah Alawiyah guna melakukan serangkaian tahap verifikasi, dan membayar uang sebesar Rp50 ribu. Jika bandel dan tidak ingin mengikuti serangkaian tahap verifikasi, bisa mendatangi orang seperti Janes dan membayar Rp4 juta rupiah.
Dengan mengantongi embel-embel keturunan nabi, gelar ‘habib’ terlihat lebih mentereng dan mulia dibanding gelar keagamaan lain seperti ulama, kiai, ataupun ustadz. Perbedaan hierarki penghormatan gelar keagamaan ini lah yang menjadi nilai tanda dari gelar ‘habib’.
Dengan begitu, nilai simbolis berupa kehormatan yang berlebih dari masyarakat akan terbangun. Seorang habib akan memiliki lebih banyak pengikut dan lebih dipercaya masyarakat daripada sekadar kiai. Disitulah habib bisa dengan mudah menanamkan pengaruh kuasanya. Dari relasi kuasa itu ia bisa mencari nafkah dengan menjadi pemuka agama.
Masalahnya, modal sosial itu rawan digunakan untuk berbuat sembrono. Seperti diwartakan Tempo pada 21 Desember 2019, seorang Habib bernama Husein Alatas yang membuka tempat pengobatan alternatif ketahuan mencabuli para pasiennya.
Kejadian di atas menjadi satu dari sekian puluh kasus serupa yang melibatkan tokoh agama, baik habib maupun lainnya. Lewat kapitalisme, agama pun bisa dijadikan sebagai komoditas untuk memenuhi hasrat dan nafsu manusia
“Dalam realitas masyarakat kapitalis yang di dalamnya segala sesuatu adalah komoditas, terjadi praktik “industrialisasi budaya”, yakni eksploitasi objek-objek budaya (seni, sastra, politik, bahkan agama) menjadi tak lebih sebagai komoditas yang diperjualbelikan.” Hlm. 90
Akhir kata, buku ini bisa menjadi tuntunan pas bagi orang yang ingin mempelajari pemikiran Jean Baudrillard. Medhy menampilkan pendapat pemikir lain yang mengkritik teori Baudrillard. Ini memberikan refleksi kritis bagi kita dalam melihat pemikiran Baudrillard. Di sisi lain, narasi dalam buku ini cukup berbelit. Medhy banyak menjelaskan hal yang sama berulang-ulang.
Penulis: Fadil B. Ardian
Editor: Zidnan Nuuro