Semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia. Kita perlu mengingat bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar ungkapan manis tanpa substansi. Ia lahir dari filosofi yang mengajarkan bahwa perbedaan —baik itu suku, agama, adat, maupun identitas— tidak seharusnya menjadi penghalang untuk hidup berdampingan dan bekerja menuju tujuan bersama.
Akan tetapi, apakah prinsip ini benar-benar diterapkan ketika diskriminasi terhadap transgender terus dibiarkan? Ketika akses pekerjaan, pendidikan, hingga layanan publik masih tertutup hanya karena perbedaan identitas gender? Walakin, masih terdapat kekeliruan dalam memaknai nilai keberagaman tersebut.
Identitas gender sering dianggap pembagian jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan saja. Sementara identitas di luar sistem ini, seperti transgender sering dipandang tidak wajar atau menyimpang, sehingga menjadi sasaran stigma negatif dan diskriminasi sosial.
Hal ini menjadi cerminan dari kuatnya konstruksi sosial di masyarakat. Di dunia kerja, mereka menghadapi tantangan besar mulai dari proses rekrutmen yang bias gender, hingga diskriminasi saat menjalankan pekerjaan.
Seorang pekerja sekaligus pegiat isu LGBT, Ino Shean menyampaikan sulitnya LGBT masuk ke dunia kerja. Hal tersebut disebabkan oleh diskriminasi syarat yang ditentukan perusahaan bahwa pelamar hanya bisa untuk laki-laki atau perempuan. Sementara, keragaman gender lain tidak diakui.
Menurutnya, diskriminasi ini adalah kekerasan struktural yang mengeksklusi LGBT secara sistematis. Perusahaan membiarkan praktik diskriminatif terjadi di dalamnya. Hak dasar seperti perlindungan dari pelecehan dan kesempatan karir setara sering kali diabaikan.
Sementara itu, seseorang pernah mengalami persekusi di Aceh. Sebabnya, warga sekitar tidak terima apabila transpuan mengikuti dan memenangkan kontes salon kecantikan. Melansir Konde.co, oknum-oknum itu mengancam pekerja salon transgender tersebut. Karena tidak ada undang-undang (UU) yang melindungi transgender, praktik diskriminasi itu dengan mudah dilupakan publik.
Padahal jika berkaca ke hukum negara, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyebutkan bahwa setiap orang berhak terbebas dari diskriminasi. Dalam hal ini tentu saja transgender juga termasuk.
Namun ironisnya, termaktub dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan tetap melanggengkan diskriminasi gender. Sebab, operasi perubahan jenis kelamin dapat dilaporkan ke pengadilan negeri untuk didata ulang identitasnya. Ini mencakup bukan hanya KTP, tetapi juga dokumen lain seperti akta kelahiran, kartu keluarga, paspor dan dokumen sipil lainnya.
Baca juga: Hari Perempuan Internasional: Suara Perlawanan dari Masyarakat Rentan
Menggugat Norma Lama
Padahal, identitas non-biner pernah diakui di Nusantara sebelum kolonialisme dan modernisasi menghapusnya. Keliru jika beranggapan bahwa transgender produk budaya barat semata. Seolah-olah keberadaan mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal. Narasi ini sangat problematis karena mengabaikan fakta sejarah yang ada di bangsa ini.
Indonesia memiliki sejarah panjang yang menunjukkan keberagaman gender. Di Makassar, ada Bissu, Calabai, dan Calalai yang telah ada sejak zaman kerajaan, sebelum masuknya Islam pada abad ke-16.
Calabai merupakan identitas gender berupa laki laki yang berpenampilan seperti perempuan. Biasanya ekspresi gender ini marak dalam ritual adat upacara pernikahan. Sementara Calalai adalah identitas gender perempuan dengan penampilan laki laki. Calalai dapat memiliki kebebasan seperti bekerja di luar rumah, berpartisipasi di tiap keputusan adat, hingga menjalankan tugas yang dianggap khusus untuk laki-laki.
Terakhir Bissu, merupakan identitas seseorang yang dianggap gabungan dari semua spektrum gender. Bissu, dipercaya sebagai mediator manusia dengan dunia spiritual dan sangat dihormati masyarakat.
Hal serupa juga terdapat di Ponorogo, Jawa Timur. Sejak abad ke-15 di bawah kuasa kerajaan Majapahit, ada konsep gemblak yang terkait dengan tradisi Warok. Gemblak adalah pemuda yang didandani sebagai perempuan. Peran gemblak adalah sebagai pasangan dan penjaga kekuatan sakti Warok. Tradisi ini dipercayai oleh masyarakat karena ketika Warok menikah dengan perempuan maka akan kehilangan kekuatan magisnya.
Sementara Warok adalah gelar untuk orang sakti yang dihormati. Mereka dikenal sebagai sosok yang dikaruniai kekuatan spiritual dan dipercaya sebagai pelindung.
Semakin banyak Gemblak yang dimiliki Warok, maka status sosialnya akan tinggi juga. Selayaknya sebuah rumah tangga, Warok diharuskan membiayai gemblaknya, bahkan dalam jenjang pendidikan sekalipun. Tradisi ini merupakan bagian dari Reog Ponorogo yang diakui UNESCO tahun 2024.
Identitas gender di luar biner bukanlah hal baru dalam budaya Nusantara. Sebelum kolonialisme, banyak masyarakat adat mengenal keberagaman gender dan menghormati peran sosial mereka. Namun, intervensi kolonial, agama, dan modernisasi mengikis penerimaan ini, menggantikannya dengan norma heteronormatif yang kaku.
Negara kemudian mengambil alih peran dalam menata gender, mempersempit ruang bagi identitas yang dianggap menyimpang. Regulasi hukum dan kebijakan sosial diarahkan untuk mempertahankan tatanan berbasis heteroseksualitas dan peran gender tradisional. Politik gender ini mencapai puncaknya pada era Orde Baru, ketika negara menetapkan norma gender yang lebih ketat demi stabilitas nasional.
Pada masa Orde Baru, konstruksi gender dibangun untuk mendukung visi nasionalisme berbasis heteronormativitas. Pemerintah mempromosikan ideologi ibuisme yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan istri, sementara laki-laki berperan sebagai pemimpin keluarga, diperkuat melalui UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang hanya mengakui hubungan heteroseksual.
Kebijakan ini berdampak pada represif signifikan terhadap komunitas waria dan kelompok non-heteronormatif, termasuk pembatasan ruang gerak mereka melalui razia dan politik moralitas. Akibatnya, norma heteronormatif membatasi kebebasan ekspresi gender, menciptakan lingkungan yang intoleran terhadap keberagaman gender dan seksualitas.
Baca juga: Perempuan dalam Pusara Kekuasaan Negara
Apa yang terjadi di masa Orba membentuk masyarakat kita hari ini untuk patuh menjalani norma-norma yang memaksakan gender sebagai sesuatu yang mutlak. Sistem ini tidak hanya membatasi, tetapi juga menyingkirkan mereka yang tidak sesuai standar. Transgender dianggap penyimpangan, bukan manusia dengan hak yang sama.
Hari ini, demokrasi masih jauh dari ideal. Hak transgender untuk bekerja, berkeluarga, dan hidup dengan aman tetap terganjal oleh regulasi diskriminatif dan stigma sosial. Masalahnya bukan sekadar kebebasan individu, tetapi bagaimana negara mengatur tubuh warganya demi kepentingan moral mayoritas.
Sistem politik yang ideal bukan hanya mengakui keberagaman gender, tetapi berupaya membongkar segregasi ekonomi-politik berbasis gender. Reformasi hukum diperlukan, tapi tanpa perubahan struktur sosial dan ekonomi, transgender akan tetap menjadi warga kelas dua di negerinya sendiri.
Saya percaya bahwa keadilan adalah hak setiap orang, termasuk transgender. Diskriminasi terhadap mereka adalah bukti nyata bahwa kita masih jauh dari mewujudkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Jika ingin menjadi bangsa yang benar-benar menghormati keberagaman, maka kita harus berhenti memandang perbedaan sebagai ancaman. Sebaliknya, kita harus merayakan perbedaan itu sebagai kekayaan yang membuat kita unik sebagai bangsa.
Penulis : Hanum Alkhansaa Rahmadhani
Editor : Arrneto Bayliss