Judul Buku: Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru

Penulis: Julia Suryakusuma

Cetakan: II

Tahun Terbit: 2021

Jumlah Halaman: xliii + 232 hlm

Pertengahan tahun lalu, media massa ramai memberitakan masalah pemaksaan penggunaan hijab di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Siswi mendapat paksaan dari wali kelas dan guru bimbingan konseling. Akibatnya, ia mengalami guncangan psikologi dan trauma yang cukup berat. Sang siswi sampai tidak mau makan dan mengurung diri sembari menangis di toilet sekolah.

Iklan

Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengeluarkan aturan terkait seragam. Hal barusan termaktub di dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014, yang mencantumkan pelarangan jual-beli seragam di lingkungan sekolah. 

Namun, mengutip keterangan dari Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY kepada Tempo memperlihatkan bagaimana peraturan tersebut tidak berjalan. Sekolah tempat siswi itu belajar ternyata masih menjalankan praktik jual-beli seragam di sekolah. Hijab sendiri termasuk ke dalam paket seragam yang dijual. Muaranya penggunaan hijab menjadi aturan dan jika melanggar harus didisiplinkan.

Sebenarnya bukan hanya di Yogyakarta, praktik pemaksaan penggunaan hijab juga terjadi di banyak sekolah lain di Indonesia. Persoalannya juga tidak sekadar jual-beli seragam saja. Lebih jauh dari itu, hal tersebut membuktikan bagaimana perempuan dikonstruksi dan diatur pilihannya secara sosial. Dalam konteks sekarang, tentu disebabkan akibat adanya ketimpangan relasi gender di masyarakat.

Fenomena pemaksaan penggunaan hijab dianalisis Julia Suryakusuma sebagai dampak dari jilbabisasi ibuisme negara. Hal barusan dikembangkan dari konsep “Ibuisme Negara” yang ditulisnya di zaman Orde Baru. Dalam bukunya itu, Julia membedah secara struktural bagaimana perempuan dikonstruksi secara sosial pada zaman Orde Baru.

Orde Baru dan Penjinakan Perempuan

Orde Baru (Orba) merumuskan tujuan nasional untuk pembangunan, guna memudahkannya dibuatlah sistem kontrol sosial yang terpusat. Dimulai dari penertiban partai dengan kebijakan fusi oleh Orba sampai pemisahan masyarakat dari kehidupan politik lewat floating mass. Selain itu, pengaturan organisasi masyarakat yang harus berasaskan pancasila turut dilakukan.

Baca Juga: Merawat Adat Melalui Pendidikan Kontekstual

Watak militeristik dan hierarkis ala Orba, turut berdampak pada kehidupan perempuan. Jika, sebelumnya organisasi yang menaungi perempuan berdiri secara otonom, kini menjadi satu dan harus mengikuti instruksi dari pusat. Dharma Wanita dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menjadi wadah tunggal yang disediakan rezim dengan peruntukan berbeda sesuai kelas sosial anggotanya.

Dharma Wanita diperuntukan untuk menaungi para istri Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan PKK ditujukan kepada perempuan lain dalam lapisan masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Pengurus organisasi sendiri, ditentukan lewat jabatan atau peran suami di masyarakat. Misalnya, Ketua PKK sudah pasti adalah istri dari Menteri Urusan dalam Negeri, kementerian yang menginduksi organisasi itu.

Organisasi perempuan yang sebelumnya bisa menentukan pilihan berdasarkan hasil musyawarah anggotanya, tidak lagi bisa begitu. Semua tujuan organisasi dirumuskan secara terpusat dan harus sesuai dengan tujuan Orba untuk pembangunan nasional. Meskipun terlihat seakan peran perempuan diperhatikan oleh negara, nyatanya hal ini malah menundukkan mereka ke dalam sekrup kekuasaan. Posisi perempuan yang ditentukan oleh peranan fungsional suami, turut menjadikan mereka harus terus berdiri dalam bayang-bayang laki-laki.

Iklan

Lebih jauh dari itu, Julia sebenarnya membaca bagaimana Orba berusaha memanfaatkan perempuan sebagai kepanjangan tangan negara. Khususnya PKK, hal ini dimaksudkan untuk menancapkan kekuasaan negara di desa. Konkritnya dari poin pertama program organisasi yang terkait erat dengan Program Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Lalu, kesatuan PKK ke dalam unit Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) semakin menguatkan hal itu.

“Peran PKK penting karena PKK merupakan lembaga perantara tunggal antara negara dengan kaum wanita desa. Yang diperantarai adalah kekuasaan negara melalui berbagai wilayah pengaruh, yaitu sosial, budaya, ideologi, politik, dan ekonomi”. (hlm.39)

Namun, Julia memberikan catatan terkait integrasi negara ke dalam kehidupan perempuan. Generalisasi tidak bisa dilakukan, meskipun semuanya mengalami penindasan akibat dampak kekuasaan Orba. Perempuan dari masyarakat miskin mendapatkan dampak yang lebih berat, dibandingkan mereka yang berasal dari golongan kelas atas.

Studi kasus Julia di desa Buniwangi menjadi bukti konkrit segregasi sosial perempuan dari perempuan itu sendiri. Perempuan Buniwangi yang mayoritas berprofesi sebagai buruh tani, turut juga menjadi penopang utama kelangsungan keluarga. Berbanding terbalik dengan mereka yang berasal dari golongan pemilik tanah di desa itu.

PKK di Buniwangi, tidak mampu menjawab kebutuhan perempuan desa. Sebab utamanya, program-program dirumuskan langsung dari pusat dan tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Sehingga perempuan miskin yang turut terlibat dalam kerja produksi subsisten, secara terpaksa mereka harus terlibat menghidupi organisasi tanpa tahu tujuannya.

Selain itu, konsep kerumahtanggaan dengan landasan konsep keluarga batih yang ditonjolkan PKK juga menjadi masalah. Konsep tadi menonjolkan peran maskulin laki-laki sebagai pencari nafkah dalam sektor formal. Sedangkan perempuan harus terlibat aktif dalam mengurusi rumah tangga saja, atau ranah privat. Hal ini, menihilkan kerja mereka yang nyatanya turut membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Perlu dipahami Ibuisme Negara, tidak sekadar menancapkan pokok utama ketertindasan perempuan akibat patriarki. Lebih dari itu, Julia membaca bagaimana kebijakan Orba terhadap perempuan sebagai pijakan konstruksi sosial mereka di masyarakat. Seperti kewajiban mengikuti suami dan mengurusi rumah tangga yang memperlihatkan domestikasi perempuan dari lingkungan sosialnya.

Pasca keruntuhan Orba, tidak serta-merta meruntuhkan konstruksi sosial perempuan di atas. Meskipun terjadi otonomi daerah dan kekuasaan tidak lagi terpusat, perempuan tidak menjadi objek dan dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Ibuisme tetap relevan, meskipun hari ini konstruksi sosial perempuan bukan hanya dilakukan negara tapi juga lewat nilai-nilai agama dan tradisional.

“Wacana dan lembaga publik di Indonesia telah berubah secara signifikan sejak saya menulis Ibuisme Negara … [tetapi]… Gender pada dasarnya masih merupakan kekuatan penggerak untuk intervensi terprogram dan kontrol sosial…[dan]…perempuan masih merupakan objek yang dikonstruksi secara sosial agar sesuai dengan tatanan hierarkis dan patriarkis tertentu”. (hlm.xxxviii)

Maka buku Ibuisme Negara meskipun ditulis pada masa Orba, tetap menjadi sumbangan menarik untuk membaca konstruksi sosial perempuan. Walau perlu disesuaikan dengan fenomena hari ini, apalagi setelah masuknya konstruksi pasar bebas di Indonesia. Sedikit mengamini apa yang ditulis Julia soal relevansi konsepnya hingga seratus tahun lagi. Akan tetapi, jika begitu posisi perempuan tidak berubah sama sekali?

 

Penulis: Abdul

Editor: Sonia