Dengan beratapkan langit kelabu, ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggelar short march dari teras Mall Sarinah hingga ke kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya pada Sabtu (8/3). Aksi yang mayoritasnya dihadiri oleh perempuan tersebut dilaksanakan guna memperingati International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional.

Sesampainya di titik aksi, massa aksi yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat rentan, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat, serta kelompok minoritas gender dan seksual secara bergantian melakukan orasi di atas mobil komando. Perempuan dimiskinkan, perempuan dikriminalisasi, perempuan dibunuh serta perempuan menuntut negara menjadi bahasan utama dalam aksi ini.

Salah satu koordinator lapangan aksi dan bagian dari Perempuan Mahardika, Sarah, mengungkapkan rasa syukurnya terhadap antusiasme masyarakat yang turut serta meramaikan aksi IWD tahun ini. Ia tidak menyangka bahwa banyak sekali masyarakat dengan berbagai latar belakang turut hadir dan menyuarakan keresahan pada negara.

Ia menjelaskan bahwa aksi ini dilatarbelakangi oleh ketertindasan perempuan sebagai bagian dari masyarakat rentan serta meningkatnya kasus femisida yang dinilai semakin mengancam kehidupan perempuan di Tanah Air. Melansir dari komnasperempuan.go.id, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan berdasarkan gender atau jenis kelamin.

Femisida adalah puncak kekerasan terhadap perempuan. Yang lebih mengkhawatirkan, negara abai dalam menjalankan perannya untuk melindungi. Akibatnya, perempuan tidak merasa aman, baik di ruang publik maupun privat, karena femisida bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja,” ujar Sarah pada (8/3).

Iklan

Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, Sarah menilai hal itu masih belum cukup. Ia berpendapat bahwa femisida merupakan kejahatan yang lebih spesifik karena menyasar tubuh dan identitas perempuan. Hingga saat ini, lanjutnya, jumlah pasti korban femisida tidak diketahui dan hanya bisa dihitung berdasarkan kasus yang diberitakan.

Melalui aksi ini, Sarah berharap pemerintah bisa mendengarkan tuntutan-tuntutan yang disuarakan dan memprioritaskan penghapusan agenda kekerasan terhadap perempuan. Serta dengan serius memberikan perlindungan terhadap perempuan dan masyarakat rentan lainnya.

Sementara itu, Cindy, perwakilan masyarakat adat sekaligus bagian dari Komunitas Wirasa, mengungkapkan keresahannya terhadap ketiadaan peran negara dalam menyokong kehidupan masyarakat adat. Menurutnya, peralihan fungsi lahan adat membawa dampak besar, terutama bagi perempuan.

“Pihak yang paling dirugikan dari adanya peralihan fungsi lahan adat adalah perempuan sendiri. Peran perempuan yang tadinya berkisar di ranah domestik, kini diharuskan bekerja untuk menghidupi keluarga,” ucap Cindy pada Sabtu (8/3).

Baca juga: Masyarakat Adat Melawan Setan-Setan Kota

Selain itu, ia juga menyoroti minimnya akses pendidikan dan kesehatan di daerah terpencil, yang memaksa pemuda desa merantau ke kota atau bahkan luar daerah hanya untuk bersekolah. Sayangnya, keterbatasan fasilitas di kampung halaman membuat mereka sulit kembali dan terserap dalam lapangan pekerjaan.

Dampak dari kondisi ini, lanjutnya, adalah kekosongan generasi di daerah adat, yang kini mayoritas dihuni oleh lansia, perempuan, dan anak-anak. Situasi tersebut semakin meningkatkan risiko perampasan tanah adat dengan dalih bahwa tanah tidak lagi dikelola oleh masyarakat. Padahal, menurut Cindy, bukan masyarakat yang abai, melainkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan ruang hidup yang layak.

“Kami tidak menentang pembangunan. Yang kami tentang adalah pembangunan yang dilakukan tanpa musyawarah dan sosialisasi kepada warga setempat,” tegasnya.

Berkaca pada persoalan ini, di Hari Perempuan Internasional kali ini, Cindy beserta sejumlah orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA), yang hingga kini dibiarkan mengendap selama hampir 20 tahun.

“Kami berharap dengan disahkannya rancangan undang-undang ini, masyarakat adat dapat memiliki hak untuk melawan tanpa takut dikriminalisasi,” tutupnya.

Iklan

Massa aksi sekaligus salah satu orator, Neneng, turut menyuarakan keresahan yang sama. Tanah kelahirannya, Rumpin, juga tidak luput dari perampasan dengan dalih pembangunan landasan udara dan pangkalan militer TNI AU.

Ia menjelaskan bahwa sejak 2012, negara mengklaim tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor. Akibatnya, mereka tidak berkutik karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) membekukan sertifikat tanah, yang membuat warga kehilangan akses terhadap tindakan administratif apa pun.

Baca juga: 17 Tahun Berlalu, Tragedi di Desa Sukamulya Belum Menemui Titik Terang

Dari kacamata seorang perempuan, Neneng merasakan bahwa perampasan tanah tidak hanya berdampak pada kehidupan ekonomi, tetapi juga psikis perempuan. Menurutnya, tidak seperti laki-laki yang lebih bebas berpindah tempat, perempuan terikat dengan tanahnya. Karena itu, ketika tanah dirampas, kehidupan perempuan pun turut tercerabut.

“Sebagai perempuan, kita harus tetap berjuang dan tidak membeda-bedakan perjuangan perempuan dan laki-laki. Bahkan, perempuan harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan apa yang menjadi hak kita,” tuturnya pada Sabtu (8/3).

 

Reporter/Penulis: Lovina Dita Nuratayna

Editor: Akmal Hafizh

 

.