Bayang-bayang pelanggaran HAM pada 21 s.d  22 Januari 2007 oleh TNI AU ATS masih menyisakan trauma terhadap warga Desa Sukamulya. Hingga kini, upaya advokasi masih diperjuangkan.

Musim rambutan 22 Januari 2007 menjadi lorong sejarah yang tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh warga Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor. Dengan kesewenang-wenangannya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara markas Atang Sendjaja (TNI AU ATS) meletuskan konflik agraria yang menyisakan trauma kepada warga. Dengan raut tegas, Maman, ketua panitia kerja Desa Sukamulya yang saat itu (27/1) sedang membuat kursi kayu langsung menghentikan kegiatannya, kemudian membuka obrolan terkait musabab dari adanya peristiwa ini.

Berpindah ke ruang tamu, menurut penuturannya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara markas Atang Sendjaja (TNI AU ATS) mengklaim tanah 1000 hektar di Desa Sukamulya untuk membangun kembali landasan udara bekas peninggalan Jepang. Adapun TNI AU ATS dalam kasus ini menggunakan klaim dokumen Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang Nomor: 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950, mengatur tentang Penguasaan Lapangan Terbang serta Bangunan-bangunan yang termasuk Lapangan dan Alat-alat yang berada di Lapangan menjadi milik TNI Angkatan Udara.

Menurut Maman, hal ini tidak masuk akal karena tanah Desa Sukamulya sudah diduduki secara turun temurun, bahkan semenjak Belanda belum menjajah Indonesia. Bagi Maman, hal ini dapat dibuktikan dari aspek sosial, seperti seisi masyarakat desa memiliki garis keturunan yang sama. Ada pula ia menambahkan warga juga memiliki bukti berupa Surat Girik, Letter C, dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas klaim tanah yang dimiliki.

“Perlu dipertanyakan dasar mereka mengklaim 1000 hektar. Walaupun menggunakan SK Kepala Staf Angtan Perang tahun 1950, kita sudah ada di sini sejak lama. Kalau mereka menggusur, kita mau tinggal di mana?” ucap Maman sambil menghembuskan asap rokok.

Dimulai dari Aksi Warga

Iklan

Pasca adanya pengklaiman sepihak, TNI AU ATS mulai melaksanakan proyek pembangunan markas latihan militer bernama Water Training yang sebelumnya tidak berjalan. Diketahui, pembangunan ini diwacanakan sejak 4 November 2006. Tim Didaktika menemui Dadi (58) yang kala itu menjadi saksi sejarah demonstrasi bersama Maman. 

Sambil membetulkan posisi duduk dan membakar rokok di teras rumahnya, Dadi bercerita pada 21 Januari 2007, pukul 10.00 WIB, TNI AU ATS melakukan penggusuran pada sejumlah lahan pertanian warga dengan alat berat. Jika merujuk waktu sekarang, kejadian berada di dekat perumahan Springhill Yume Lagoon Alvin. Dalam pengakuannya, ratusan warga mulai memberikan perlawanan dengan cara menghadang pekerjaan dan TNI AU ATS yang bersenjata.

Dadi mengatakan, sekitar jam 16:30 sempat terjadi negosiasi antara warga dengan pihak TNI AU ATS. Dalam negosiasi tersebut disepakati bahwasannya TNI AU ATS akan menarik pasukan dari lokasi serta menghentikan penggusuran terhadap lahan-lahan pertanian warga. Sekitar jam 17:00 WIB warga berhasil memaksa pihak TNI AU ATS keluar dari lokasi.

Dadi menuturkan, keesokan harinya, pada 22 Januari 2007 pukul 09.00 WIB pihak TNI AU ATS justru kembali ke lokasi, mengkhianati hasil dari kesepakatan kemarin. Ratusan warga mulai kembali merapatkan barisan, kemudian melakukan aksi demonstrasi di tempat yang sama seperti kemarin..

“Seperti main bola di tanggal 22 Januari 2007 itu, aksi tiba-tiba berhenti atau istirahat di jam 12:00 WIB,” tutur Dadi dengan raut serius.

Barulah sekitar jam 13:00 WIB datang 4 buah mobil truk berisi kurang lebih 100 tentara bersenjata lengkap serta dikawal oleh kurang lebih 30 orang aparat kepolisian. Kerumunan tentara itu langsung menyerang warga yang tengah berdemo. Kerusuhan tak terelakan, warga menyerang balik menggunakan batu dan bambu, ada pula yang terjatuh kemudian dipukuli tentara, namun kebanyakan lari berhamburan.

“Ternyata saat sedang sibuk menolong warga yang terluka, Iyon, anak saya kala itu masih SMP, dipukuli oleh tentara hingga perutnya hingga membengkak besar,” kata Dadi sambil mengernyitkan dahi mengingat kejadian itu.

Kasus Penembakan

Di tengah huru-hara yang ditimbulkan, beberapa petani masih ada yang berusaha membereskan urusan pekerjaannya di ladang sawah. Bersamaan dengan latar waktu yang diceritakan oleh Dadi, dentuman bersumber dari senapan pun ikut-ikutan memanaskan konflik karena menyasar langsung kerumunan. Nahas, salah seorang bernama Acep yang sedang mengarit padi tertembak oleh salah satu peluru.

Malam itu (27/1), Acep mengobrol dengan Tim Didaktika dan mengingat kembali kekejaman peristiwa yang dialaminya kala itu. Menurut pengalamannya ketika sudah tertembak, dirinya merasa ada yang aneh ketika meraba-raba bagian kiri leher. Acep kaget bukan main karena melihat aliran darah mengalir deras hingga mengotori pakaiannya. Setelah peluru bersarang sebentar dan jatuh,. dalam pengakuannya, Acep terjatuh pingsan sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi setelahnya. 

Iklan

Acep dibawa ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo oleh Senung, Abu, Erwin, dan Usman Hamid, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Acep mengatakan bahwa terdapat 11 jahitan untuk menutup luka akibat peluru yang sebelumnya tersangkut.

“Sampai sekarang kalau saya mau bicara juga rada kaku. Jika ingin menengok rasanya sakit dan pusing,” ujar Acep dengan nada bicara sedih.

Kekerasan dan Pelecehan

Satu tahun lulus dari seragam putih abu-abu menyisakan memori yang menyakitkan bagi Yati (35). Sepulang melakukan aksi demonstrasi pada Senin, 22 Januari 2007, Yati memutuskan untuk mandi. Setelah ia selesai, sang bibi bergantian ke bilik air untuk juga membasuh badan. 

Keluar dari bilik air, Yati mengenakan pakaian dan membaringkan tubuh di atas kasur kamar bersama keponakannya, tiba-tiba Yati mendengar suara ketukan pintu yang kasar suaranya. Yati menduga bahwa pelaku dibalik pintu tersebut adalah anggota TNI AU ATS. Sang bibi yang baru selesai mandi, hanya diselimuti selembar handuk di tubuhnya, bergegas menuju kamar dan langsung mengunci. 

Ketukan pintu berulang kali terdengar dan semakin cepat ritmenya. Seiringan dengan itu, terdengar pula kalimat ancaman, jika tidak segera dibuka mereka akan mendobrak masuk. Karena Yati, keponakan, dan bibinya tidak mau menjawab, para anggota TNI AU ATS benar-benar mendobrak pintu depan dan belakang, menyisir setiap sudut ruangan. 

Dengan rasa takut dan panik, Yati memutuskan untuk bersembunyi di bawah ranjang dan keponakannya masuk ke dalam lemari baju. Sedangkan bibi, memilih untuk membuka pintu dan berdialog dengan para anggota TNI AU ATS. Nahas, percakapan bibinya dengan tentara tidak berselang lama, Yati berhasil diringkus karena kakinya kelihatan dan keponakannya memutuskan keluar karena ketakutan.

Dalam pengakuan Yati sekitar 50 orang tentara masuk, sehingga seisi rumah penuh. Beberapa tentara melontarkan pertanyaan pada Yati. Dengan gigih, Yati selalu menjawab bahkan balik bertanya kepada sekelompok tentara. Merasa geram, akhirnya salah satu anggota TNI AU ATS menampar perempuan belasan tahun tersebut.

“Kalau saya ditampar, karena terus nyolot ketika ditanya oleh para tentara. Tetapi yang lebih parah adalah bibi saya, dia diperintahkan untuk membuka handuk,” katanya dengan raut wajah yang emosional.

Yati menuturkan, di sela-sela pertikaian, anggota TNI AU ATS mengobrak-abrik setiap sudut rumah. Saat itu juga ponsel Yati direbut paksa oleh aparat TNI AU ATS, mereka berusaha mencari informasi dibalik aksi demonstrasi dengan membuka pesan. Pertikaian itu selesai, TNI AU ATS menarik pasukan karena tidak menemukan informasi apa-apa.

Penganiayaan dan Penahanan

Menyambangi salah satu penyintas lain (27/1), Dery (40) yang sedang bersantai di depan teras juga memiliki kisah kelam. Sambil merokok dan menyeruput kopi hitam di pukul 21:00 WIB, Dery menceritakan pengalaman buruknya itu bermula ketika ia pulang bekerja pada pukul 17:30 WIB. Seperti hari-hari biasa yang dilakukan, sehabis mandi ia langsung menonton TV dan asyik memakan buah rambutan.

Rutinitasnya itu seketika harus dihentikan ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya. Menyadari akan hal itu, ia langsung membuka pintu dan mendapati anggota  TNI AU ATS, lengkap dengan atribut bersenjata berdiri di depan rumahnya. Salah satu dari mereka langsung mengambil selembar kertas, berisikan 12 nama warga desa yang dinilai provokator, kemudian ditanyakan ke Dery.

“Saat itu saya langsung mengiyakan saja ketika mereka menyebut nama saya. Sehabis itu, mereka langsung membentak ‘mana KTP nya!’ Saya yang tidak tahu apa-apa langsung memberinya saja,ucap Dery sambil meniru gaya berbicara salah seorang TNI AU ATS.

Setelah mengecek KTP Dery, seorang anggota TNI AU ATS sontak saja langsung berlari, memberitahu kepada komandannya di lokasi yang berbeda. Ketika salah satu anggota TNI AU ATS selesai melapor, ia langsung memerintahkan Dery untuk digelandang ke halaman depan rumahnya karena dianggap provokator. Dery yang merasa tidak bersalah, berusaha mendebat TNI AU ATS.

Tidak terima disanggah Dery, aparat TNI AU ATS langsung menampar keras wajah, kemudian Dery terjatuh. Saat dibawa berjalan, ia melihat lengahnya penjagaan langsung berlari. Menyadari itu aparat TNI AU ATS mengancam akan menembak Dery jika lari. Dery tidak peduli dan kabur, sayangnya ia tidak menyangka karena diujung jalan sudah banyak aparat TNI AU ATS yang berjaga. Harapan telah pupus, Dery tertangkap lalu disetrum di bagian lengan dan perut hingga lemas.

“Setelah disetrum di bagian lengan dan perut, saya ditendang dan dipukul hingga muntah. Beruntungnya salah satu aparat TNI AU ATS yang sudah mengenal saya berusaha menyelamatkan. Tetapi, saya tetap disuruh ke Pos Water Training,” ucapnya sambil menghisap rokok.

Sesampainya di Pos Water Training, Dery bertemu dengan Haji Amir, Uci, dan Cece, mahasiswa aktivis AGRA berbunyi. Masing-masing dari mereka diinterogasi sambil dianiaya. Penganiayaan itu berlanjut hingga mereka diangkut dengan truk TNI menuju ke Polsek Rumpin.

Saat diperjalanan, ponsel Cece berbunyi. Salah satu anggota TNI AU ATS langsung meminta ponselnya kemudian diperiksa. Ternyata pesan bersumber dari salah satu awak media yang menanyakan kasus konflik agraria Desa Sukamulya. Mengetahui hal itu, tanpa segan-segan aparat TNI AU ATS langsung menendang keras tubuhnya hingga terjatuh dari truk.

3 hari mereka menghabiskan malam di dalam dinginnya sel Polsek Rumpin. Pada jam 5 sore mereka telah kembali ke rumah masing-masing, kecuali Cece. Cece dikembalikan ke desa Sukamulya pada jam 3 pagi dengan tubuh lebam-lebam dan wajah penuh darah.

Pasca peristiwa itu, beberapa hari kemudian Dery ditawari uang 10 juta rupiah oleh pihak TNI AU ATS sebagai uang berobat. Namun dirinya menolak karena sudah sakit hati oleh kejadian tersebut. Tidak kehabisan akal, TNI AU ATS mencoba mendekati Ibu Dery dengan membawanya ke salah satu Mushola dekat rumahnya.

Bersama Pak Acep, Ibunda Dery dipaksa untuk menerima uang sebesar 2 juta rupiah oleh pihak TNI AU ATS, lalu menandatangani surat-surat yang rincian isinya tidak diberitahu. Dery menduga isi surat itu perjanjian perdamaian TNI AU ATS dengan warga agar tidak melanjutkan kasus ini ke ranah hukum.

“Saya trauma berat pasca kejadian itu hingga setahun. Melihat tentara, hingga makan rambutan juga tidak berani karena takut kebayang lagi,” ucap Dery sambil membetulkan posisi duduk di kursi.

Tidak Pernah Diadili 

Muhammad Fadhil Alfathan Nazwar, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menjelaskan tindak pengadvokasian sudah dilakukan selama 17 tahun (1/2). Dimulai dari pasca kejadian 22 Januari 2007, pihak LBH mendampingi warga ke Kepolisian Resor (Polres) Bogor untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh TNI AU ATS. Laporan tersebut ditolak oleh Polres Bogor, sehingga tim LBH bersama warga melapor ke Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (POM TNI).

Setelah itu warga Sukamulya melapor ke Polisi Militer Kodam Jayakarta (Pomdam) Jaya di Manggarai, Jakarta Pusat, laporannya telah diterima namun belum ada proses lebih lanjut. Warga Sukamulya juga telah melaporkan kejadian ini ke Kepala Staff Angkatan Udara (KASAU). Tapi kenyataannya hingga saat ini belum ada pelaku yang diproses secara hukum.\

“Rencana kedepan agar tidak mendapatkan hasil yang sama, tim LBH akan memperbanyak dokumen di berbagai sektor penguatan alas hak sebagai bukti pelanggaran HAM. Upaya itu dilakukan agar nantinya proses advokasi bisa menemui titik terang,” ucapnya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Muhammad Ilyas Ihryaroza, staf divisi Hukum/Advokasi KontraS, menyatakan terdapat pelanggaran HAM yang tidak pernah diadili pasca 17 tahun lamanya peristiwa bentrok (8/2). Ilyas menerangkan jika kasus di Desa Sukamulya merupakan tindakan kekuasaan berlebihan yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap warga sipil. Baginya, dalam kacamata hukum negara, hal tersebut melanggar UU No 5 Tahun 2014 yang mengatur aparatur sipil negara dan  UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dari data yang dicatat oleh KontraS, setidaknya pada tragedi 22 Januari 2007 warga Desa Sukamulya mengalami kerugian materi berupa dirusaknya saung-saung tani, 2 motor, hingga dirampasnya beberapa ponsel dan 5 gram kalung emas milik warga.

Pengawalan advokasi masih berlanjut hingga hari ini. Agustus 2023, KontraS bersama warga Desa Sukamulya mendorong Staf Presiden untuk dapat mempertemukan pihak warga dengan TNI AU, Anggota DPR RI Komisi 1 dan 3, serta pihak Kementerian Keuangan. Kemudian di bulan Februari 2024,  KontraS bersama warga Desa Sukamulya berdialog di Kantor Staf Kepresidenan (KSP).

“Pertemuan tersebut diharapkan dapat memberikan kejelasan terkait kasus yang ada saat ini,” pungkasnya di akhir sesi wawancara.

Reporter/Penulis: Puput D.I. dan Akmal H.H.

Editor: Arrneto B.W.