Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ramai menjadi perbincangan publik setelah menerima konsesi pertambangan batu bara dari pemerintah. Sontak, di media sosial banyak beredar cuitan sarkas yang menyinggung dua organisasi keagamaan tersebut dengan istilah “Dipisahkan Qunut, Disatukan Tambang”.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengambil keputusan dengan mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola lahan pertambangan. Keputusan itu tertuang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Pemerintah mengklaim, pemberian izin tambang untuk mendistribusikan kekayaan negara demi kepentingan rakyat.
Alih-alih demi kepentingan rakyat, aktivitas pertambangan kerap mengancam ruang hidup masyarakat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan, dari tahun 2019 – 2023 terdapat 301 kasus perampasan tanah adat, terkhusus karena pertambangan.
Sebagai contoh terbaru, masyarakat adat di Halmahera Tengah sedang berkonflik dengan perusahaan tambang akibat wilayah adatnya diserobot untuk dijadikan lahan pertambangan. Tak ayal, konsesi pertambangan juga dapat menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat adat.
Selain itu, masifnya aktivitas tambang juga berakibat kerusakan lingkungan. Misalnya, alih fungsi hutan untuk pertambangan di Kutai Timur–wacananya merupakan lahan tambang untuk NU– berdampak terjadinya banjir bandang. Hal itu dapat diperparah apabila aktivitas pertambangan terus dilakukan secara masif dan mengancam kehidupan masyarakat.
Lalu, sangat tidak rasional apabila NU dan Muhammadiyah yang merupakan ormas keagamaan diberikan izin mengelola pertambangan. Sebab, ormas keagamaan bukanlah lembaga atau perusahaan yang memiliki kompetensi dalam bisnis pertambangan.
Pun, pemberian konsesi tambang tersebut seakan mewajarkan eksploitasi alam secara berlebihan oleh para pemilik modal. Banyaknya efek mudarat dari usaha pertambangan dapat tidak dipedulikan banyak orang, karena ormas agama yang punya massa melimpah justru mempunyai usaha tambang.
Baca juga: Jokowi dan 10 Tahun Dosa Agraria
Bila ditelaah lebih lanjut, ada indikasi politik transaksional yang melatarbelakangi pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Dalam Koran Tempo edisi 22 Januari 2024, diketahui adanya dugaan konsolidasi di kalangan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat untuk memenangkan pasangan Prabowo dan Gibran–putra sulung Presiden Jokowi–dalam Pemilihan Presiden 2024.
Ormas agama yang notabene memiliki segamblang basis massa, seolah dimanfaatkan oleh penguasa untuk menjulang suara. Sebagai timbal balik, penguasa memberikan konsesi tambang kepada organisasi keagamaan.
Hal di atas dapat dilihat sebagai dampak dari geliat sistem kapitalisme yang telah mengakar kuat di Indonesia. Tom Bottomore, melalui bukunya yang berjudul Teori Kapitalisme Modern, menilai kapitalisme merupakan sistem yang menganggap memperoleh keuntungan maksimal (akumulasi kapital) adalah tujuan yang mutlak bagi individu, alih-alih kolektif. Kepentingan individu, khususnya ranah ekonomi, menjadi segalanya dan kerap menihilkan kepentingan publik.
Kritik terhadap kapitalisme dipopulerkan oleh Karl Marx. Menurutnya, dalam sistem ini sumber daya alam dan manusia dieksploitasi agar mampu untuk meningkatkan akumulasi kapital para pemilik modal atau kelas borjuis.
Agar eksploitasi itu terus langgeng, maka diperlukan seperangkat alat yang dapat mengkonstruksi pemikiran ataupun laku dari masyarakat. Seperangkat alat ini disebut sebagai suprastruktur yang terdiri dari budaya, pendidikan, hingga agama.
Agama sebagai suprastruktur, sangat ampuh bila dijadikan alat untuk menundukkan kesadaran masyarakat akan sistem politik yang berjalan saat ini. Dalam Islam misalnya, terdapat istilah, “sami’na wa atho’na” yang dapat mengkonstruksi pikiran umat Muslim untuk secara mutlak harus patuh terhadap fatwa atau langkah politik ulamanya.
Istilah itu kerap dimanfaatkan oleh sejumlah pemuka agama Islam untuk memenuhi kepentingan penguasa. Apalagi, ketika mayoritas pemeluk agama tidak mendapatkan pendidikan layak dan minimnya tingkat literasi, mengakibatkan semakin terperosoknya masyarakat ke dalam jurang kesadaran semu.
Baca juga: Di Balik Krisis Hunian: Lahan Dikuasai, Rakyat Tergusur
Demikian secara gamblang terlihat dari kasus di atas, agama kini dijadikan alat untuk tercapainya kepentingan penguasa. Aktor-aktor pemuka agama yang terafiliasi dengan ormas keagamaan cenderung mendulang kekayaan pribadi atas nama agama, alih-alih untuk kemaslahatan umat.
Padahal, dalam Agama Islam sendiri melarang agama dijadikan alat untuk mencari keuntungan materil agar menambah harta kekayaan, apalagi untuk merusak alam. Seperti tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 41 dan Q.S. Al-Araf ayat 56 yang jelas melarang seorang Muslim menggunakan ayat-ayat agama untuk memperoleh keuntungan duniawi dan merusak alam.
Agama idealnya tidak terlibat dalam politik praktis, apalagi dimanfaatkan menjadi alat politik bagi para penguasa. Agama pun idealnya adalah pedoman hidup para pemeluknya untuk melawan kezaliman, mengimplementasikan nilai-nilai kemanusian, hingga menjaga kelestarian alam.
Jika berkebalikan dengan itu, maka akan muncul stigma negatif terhadap agama itu sendiri. Seperti anggapan bahwa agama adalah opium yang memabukan manusia. Maka dari itu, Ibnu Rusyd atau Averoes pernah berkata, apabila ingin menguasai kumpulan orang bodoh (karena minimnya pendidikan dan tingkat literasi), maka bungkuslah segala wacana dengan balutan agama.
Oleh karena itu, bagi penulis sendiri, perlunya merefleksikan kembali ajaran agama agar tidak dimanfaatkan sebagai kendaraan politik. Rasionalitas dalam beragama diperlukan agar tidak terjebak ke dalam dogmatisme yang menidurkan kesadaran kritis manusia. Berkelindan dalam Surat Al- Baqarah ayat 44 yang memerintahkan manusia untuk senantiasa berpikir kritis agar memahami fenomena yang ditemui.
Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Andreas Handy