Di tengah ketimpangan penguasaan lahan dan masifnya penggusuran demi pembangunan kota, strategi gerakan yang inovatif dan variatif dibutuhkan. Kampung Susun Akuarium dan Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) bisa jadi contoh sekaligus bahan refleksi.

Program Permukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Habitat) menyebut pada 2023, 1,1 miliar orang di dunia kini tinggal di permukiman informal dan kumuh, 300 juta lainnya bahkan tunawisma (tidak memiliki hunian). Fenomena ini muncul seiring masifnya pertumbuhan kota.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023, hampir 8 persen rumah tangga tinggal di daerah kumuh. DKI Jakarta jadi provinsi dengan daerah kumuh terbanyak ke-3. Provinsi terpadat itu masih punya 450 kawasan kumuh (16,39 persen) dari total keseluruhan wilayah. Angka ini merupakan data baru bagi BPS yang sebelumnya hanya mencatat 225 kawasan (11,29 persen).

Direktur Rujak Center for Urban Studies (CUS), Elisa Sutanudjaja mengatakan permukiman kumuh berkorelasi dengan masalah penguasaan lahan. Terutama di Jakarta, ia mengatakan masih banyak tanah-tanah yang tak jelas status kepemilikannya. 

Ketidakjelasan status kepemilikan membuat daerah-daerah itu jauh dari akses, sanitasi, air dan infrastruktur lainnya. Menurut Elisa, pemerintah enggan untuk masuk sebab merasa tanah tersebut adalah ilegal.

“Bisa dilihat dari kasus di Tanah Merah yang ‘dianggap ilegal’, pemerintah tak mau masuk ke daerah itu. Sehingga infrastruktur kerap dibangun seadanya oleh warga, akhirnya jadi kumuh,” ungkapnya saat ditemui tim Didaktika, Minggu (25/7).

Iklan

Elisa melanjutkan, masalah penguasaan lahan akan menempatkan penghuni kampung kota pada posisi rentan. Ia melihat permukiman kumuh sering dijadikan objek penggusuran paksa. Hal ini acap kali dilakukan demi “mempercantik kota”.

Ia menyampaikan hal tersebut di sela acara World Habitat Awards (WHA) 2024. Acara yang bertempat di Kampung Susun Akuarium, Jakarta Utara itu bermaksud menganugerahi Gold Medal kepada Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Rujak CUS, dan Urban Poor Consortium (UPC) atas inovasinya dalam memperjuangkan hak atas hunian layak, khususnya bagi warga Kampung Akuarium dan Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC)

“Penghargaan ini menjadi tonggak perjuangan untuk mewujudkan hunian layak bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang digagas Mohammad Hatta,” tegas Elisa. 

Penggusuran telah mewarnai tumbuhnya Jakarta. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat, tahun 2007-2013 sekitar 3.200 keluarga menjadi korban penggusuran. Hingga tahun 2018, terdapat 495 titik penggusuran dan sudah menelan lebih dari 10 ribu korban. 

Warga Kampung Akuarium adalah salah satunya. Pada 2016, Pemerintah DKI di bawah kepemimpinan  Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menggusur mereka demi membangun kawasan wisata. Namun, warga memilih tetap tinggal di antara puing-puing bekas gusuran, di bawah tenda yang dibangun sendiri.

Sejak peristiwa itu, JRMK bersama Rujak dan UPC mulai membangun konsep bernama Community Action Plan (CAP). Konsep ini berisikan desain program penataan 16 kampung di Jakarta. 

Koordinator JRMK, Minawati menyatakan. Salah satu prinsip utama dalam CAP, selain infrastruktur, adalah kepemilikan bersama lewat model koperasi sebagai strategi pengelolaan kampung. Baginya, alih-alih perorangan, kepemilikan bersama dapat menciptakan komunitas yang terorganisir. Hal ini akan meminimalisir ancaman seperti penggusuran dan pengusiran paksa. 

Selain itu, status badan hukum oleh koperasi memungkinkan warga, secara kolektif terlibat berbagai kegiatan komersial, advokasi, hingga politik.“Kami berharap pengelolaan koperasi, bukan perorangan, menjadi prinsip utama dalam pengelolaan perumahan di kampung-kampung miskin kota,” tegasnya.

CAP kemudian disepakati melalui kontrak politik dengan bakal calon gubernur yang menggantikan Ahok waktu itu, yaitu Anies Baswedan. Kontrak tersebut mengharuskan Anies, jika terpilih, untuk mewujudkan CAP selama periode kepemimpinannya yaitu 2017-2022. Pada 2018, pelaksanaannya tertuang dalam Keputusan Gubernur No. 878. 

Solusi tersebut, menurut Deputy CEO World Habitat, Louise Winterburn bisa menjadi inspirasi bagi negara lain. Ia menuturkan kisah penolakan terhadap penggusuran, kemudian berujung melahirkan intervensi kebijakan dan perubahan politik, merupakan pertama kalinya di dunia.

Iklan

“Berawal dari gerakan lokal, kemudian berkembang masif dan telah menyelamatkan ribuan orang. Di tengah krisis pendapatan dan hunian di dunia, banyak komunitas bisa belajar dari pengalaman ini,” tuturnya.

Belum Menjadi Solusi 

Strategi gerakan lewat kontrak politik dan hukum, menjadi praktik ampuh terutama dalam konteks agraria. Seperti yang dialami Kampung Akuarium, mereka mendapat privilese berkat perjanjian dengan pejabat pemerintahan tertentu.

Meski begitu, Elisa menilai cara tersebut tidak selalu efektif. Sebab CAP dan kontrak politik belum menyelesaikan persoalan mendasarnya, yaitu kepemilikan lahan. 

“Strategi gerakan semacam CAP dan perjanjian politik maupun hukum, mesti dibarengi dengan reforma agraria perkotaan,” ujarnya. 

Elisa juga bercerita, banyak lahan diberikan kejelasan status oleh Anies di era kepemimpinannya. Namun tidak berlanjut setelah dirinya lengser. Hal ini, juga terjadi pada kampung-kampung dalam program CAP. Seperti pada Kampung Susun Bayam dan Kampung Tongkol, hingga kini belum pasti nasibnya.

“Susah kalau tidak ada political will, mesti ada peraturan yang berlaku umum dan diinstitusionalkan. Jadi mau presiden, gubernur, atau walikotanya ganti, programnya tetap jalan,” tegasnya.

Peneliti Murdoch University, Ian Wilson menanggapi tren gerakan yang cenderung populis hari ini, merupakan konsekuensi logis dari kondisi masyarakat dan struktur kekuasaan yang ada. Sebab sejatinya ciri politik masyarakat miskin, terutama di perkotaan, memang cenderung bersifat pragmatis.

Penulis buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru itu menambahkan, tren gerakan ini mulai muncul setelah diberlakukannya otonomi daerah. Desentralisasi politik telah menciptakan kontestasi politik yang semakin kompetitif.

Kondisi tersebut, menurutnya membuat para politisi akan sangat bergantung pada suara yang didapat. Di sisi lain, masyarakat miskin akan bergantung pada apa yang bisa ditawarkan si politisi untuk memenuhi kepentingan praktis mereka. 

“Satu-satunya cara menciptakan tatanan yang demokratis adalah, bagaimana masyarakat bisa mengikat para kandidat, salah satunya dengan kontrak politik,” jelasnya.

Namun, Ian mengakui cara tersebut sangat beresiko. Sebab, lemahnya ikatan dalam kontrak maupun perjanjian memungkinkan para politisi tersebut membelot. Contohnya saja, kesepakatan UPC dan Jokowi pada gelaran Pilkada Jakarta 2011. Alih-alih menjalankan program yang disepakati, dirinya malah semakin memasifkan penggusuran.

“Apa yang kita harapkan dari demokrasi yang sebatas elektoral? Strategi seperti kontrak politik menjadi yang paling konkret saat ini. Kecuali, jika terdapat partai dengan ideologi dan komitmen tertentu yang bisa merepresentasikan masyarakat miskin sebagai sebuah kelas,” pungkasnya.

Reporter/penulis: Ezra Hanif

Editor: Zahra Pramuningtyas