Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (Geram Tanah) memperingati Hari Tani Nasional di depan gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Selasa (14/06). Adapun Hari Tani Nasional pada tahun 2024 mengangkat tema “Selamatkan Konstitusi, Tegakan Demokrasi, Jalankan Reforma Agraria Sejati”.

Koordinator umum aksi, sekaligus Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menjelaskan dalam 10 tahun masa pemerintahan Jokowi pelanggaran konstitusi di bidang agraria jamak terjadi. Ia mencatat, setidaknya ada 18 bentuk pelanggaran terhadap Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 serta putusan konstitusi lainnya. 

“Banyak terjadi pelanggaran, salah satunya pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 160 tahun kepada investor di Ibu Kota Negara (IKN). Padahal, sudah jelas dalam UUPA melarang pemberian HGU lebih dari 35 tahun dan HGB selama 30 tahun,” ucap Dewi.

Dewi menambahkan, pemerintahan Jokowi juga telah melemahkan demokrasi seperti kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani, masyarakat adat, dan aktivis. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 1.062 orang mengalami penganiayaan dan penangkapan karena mempertahankan hak konstitusional atas tanah dan sumber kehidupannya.

“Pelemahan demokrasi ini bertujuan untuk memuluskan jalan oligarki untuk terus menerus merampas tanah-tanah petani di berbagai tempat,” ujar Dewi dalam pernyataan tertulis press release. 

Baca juga: Kampus Semakin Mengekang, Puluhan Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Diskors Usai Berdemonstrasi 

Iklan

Contoh nyata dari pelanggaran konstitusi serta kriminalisasi petani itu dialami oleh ketua Kampung Susun Bayam (KSB) Madani, Muhammad Furqon. Ia dikriminalisasi pada bulan April 2024 karena memperjuangkan hak atas huniannya yang tak kunjung diberikan oleh PT. Jakarta Propertindo.

Furqon harus mendekam di jeruji besi selama empat bulan imbas laporan yang dilayangkan oleh PT Jakarta Propertindo atas tuduhan pencurian, pengrusakan dan masuk pekarangan tanpa izin. Setelah bebas, Furqon masih gigih memperjuangkan hak atas huniannya. Salah satunya lewat aksi Hari Tani Nasional tahun ini. 

Melihat aksi demonstrasi berjalan, Furqon mengaku kecewa karena tidak ada orang dari Kementerian ATR/BPN hadir mendengarkan aspirasi masyarakat. Menurutnya, ketidakhadiran perwakilan Kementerian ATR/BPN menandakan negara sudah tidak hadir dalam permasalahan agraria.

“Jangan berikan kebebasan kepada para pengusaha, sedangkan petani dipenjara karena memperjuangkan haknya,” ujar Furqon.

Seorang massa aksi yang tergabung dalam Serikat Tani Indramayu (STI), Fendi, mengeluarkan keluh kesahnya sebagai petani gurem. Ia menghidupi anak dan istrinya dengan menanam padi di lahan seluas kurang lebih satu hektar.

Fendi menjelaskan, apabila sudah memasuki musim kemarau padi menjadi sulit untuk tumbuh. Sehingga ia harus menambah pundi-pundi rupiah dengan menanam mentimun, semangka dan cabai di kebun rumahnya.

Baca juga: Union Busting Mengancam Hak Pekerja dan Stabilitas Sosial

Bagi Fendi yang terbiasa menggarap lahan orang lain, bisa memiliki lahan dan mengolahnya sendiri merupakan sebuah impian. Namun, imbas reforma agraria tak kunjung dilakukan membuatnya pesimis akan hal tersebut.

“Sudah seyogyanya setiap rakyat bisa menggarap lahannya sendiri tanpa adanya tuan tanah. Saya berharap semua tuntutan pada aksi kali ini bisa dikabulkan, dan reforma agraria sejati segera dilakukan oleh rezim yang baru,” tegasnya.

Pada sore hari menjelang demonstrasi berakhir, perwakilan Kementerian ATR/BPN pun turun menemui demonstran meski hanya di depan pagar. Aksi simbolik dilakukan oleh Dewi Kartika dengan menyerahkan pernyataan tertulis berisi sikap dan tuntutan.

Iklan

Dari kinerja 10 tahun rezim Jokowi, Geram Tanah membuat 10 tuntutan yang mencakup permasalahan agraria yang masih terjadi. Beberapa diantaranya berupa, wujudkan reforma agraria yang berlandaskan UUPA 1960, mencabut UU Cipta Kerja dan turunannya, hingga penyelesaian seluruh konflik agraria.

Penulis/reporter: Fadil B. Ardian

Editor: Zahra Pramuningtyas