Puluhan mahasiswa UIN Alauddin Makassar diskors karena adanya peraturan kampus yang membatasi kebebasan berpendapat. Ada tren kenaikan kasus pelanggaran kebebasan akademik di Indonesia.
Geram, begitulah yang dirasakan Muhammad Reski saat mengetahui dirinya mendapatkan hukuman skors yang diberikan oleh birokrat kampus pada Selasa (13/08). Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar itu diskors karena melanggar peraturan kampus tentang penyampaian aspirasi mahasiswa. Adapun peraturan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 259 Tahun 2024 yang diterbitkan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar pada Kamis (25/07).
“Hukuman skors itu membuat saya semakin marah dan ingin terus berjuang agar SE Nomor 259 Tahun 2024 dapat dicabut,“ ucap Reski pada Selasa (10/09).
Sebelumnya pada Rabu (31/07), Reski bersama mahasiswa UIN Alauddin Makassar lainnya melakukan aksi demonstrasi menentang SE Nomor 259 Tahun 2024 yang baru enam hari diterbitkan tersebut. Ia menilai, terdapat sejumlah poin dari peraturan itu yang membatasi kebebasan berpendapat.
Reski mengatakan, poin yang paling bermasalah dalam SE itu berupa penyampaian aspirasi mahasiswa harus mendapatkan izin tertulis dari birokrat kampus. Adapun pengajuan izin tertulis paling lambat tiga hari sebelum acara berlangsung. Hal itu membuat pimpinan kampus bisa dengan mudah melarang berbagai bentuk penyampaian aspirasi mahasiswa.
“Peraturan yang membatasi kebebasan berpendapat itu terkesan ugal-ugalan. Karena tidak melibatkan mahasiswa dalam pembuatannya,” terang Reski.
Lanjut Reski, permasalahan lainnya dari SE itu adalah adanya poin penyampaian aspirasi tidak dapat dilakukan mengatasnamakan organisasi non-intra kampus seperti aliansi mahasiswa. Penyampaian aspirasi mahasiswa hanya dilakukan melalui lembaga kemahasiswaan intra kampus.
Tambahnya, sebelum SE itu diterbitkan mahasiswa UIN Alauddin Makassar kerap melakukan aksi demonstrasi di dalam kampus memakai nama aliansi. Menurut Reski, hal itu dilakukan untuk mencegah intervensi kampus kepada mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi.
“Kemungkinan SE itu dibuat karena melihat kondisi kemarin. Kalau pakai aliansi kan belum jelas siapa yang bisa diintervensi, tapi ketika pakai lembaga intra kampus, mereka (birokrat kampus) bisa mudah mengintervensinya,” ujarnya.
Karena aksi demonstrasi tersebut, Reski dijatuhi hukuman skors yang berlandaskan SE Nomor 259 Tahun 2024. Aksi demi aksi menentang SE tersebut terus berlanjut. Akan tetapi, tindakan protes itu berujung kepada rentetan kasus hukuman skors kepada mahasiswa.
Reski mengatakan, sejauh ini terdapat 29 mahasiswa yang terkena skors imbas terbitnya SE tersebut. Tambahnya, hampir semua waktu skors yang diberikan sama seperti Reski, yakni satu semester. Sementara itu, waktu skors satu tahun hanya didapatkan oleh Presiden Mahasiswa saja.
“Kami tetap melawan karena bagi kawan-kawan mahasiswa di UIN Alauddin Makassar, mahasiswa yang baik adalah mahasiswa yang tidak taat pada hukum yang jahat,” tutupnya.
Baca juga: JPPI Desak Pemerintah Wujudkan Pendidikan Dasar Gratis
Sama seperti Reski, Nur Rahman juga mendapatkan hukuman skors karena dianggap melanggar SE Nomor 258 Tahun 2024. Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar itu merasa sangat keberatan dengan sanksi yang menimpanya.
Rahman mengatakan, aksi demonstrasi yang diikutinya pada Rabu (31/07) tidak berujung kepada pengrusakan fasilitas kampus. Namun, aksi tersebut dianggap bersalah hanya karena tidak mempunyai izin dari pimpinan kampus.
“Karena adanya SE ini, kami yang hanya menyampaikan aspirasi terkena skors,” ucap Rahman pada Selasa (10/09).
Rahman mengatakan, dirinya merasa merugi karena tidak dapat mengakses perkuliahan dan layanan akademiknya pun dinonaktifkan. Padahal, ia mengaku korban yang terkena skors juga harus membayar uang kuliah tunggal (UKT) agar tidak dikeluarkan dari kampus.
Selain itu, ia pun dibuat kesulitan untuk saling berinteraksi dengan sesama mahasiswa. Ia mencontohkan larangan mengikuti bagi mahasiswa yang terkena hukuman skorsing saat pelaksanaan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK).
“Saat PBAK, kami (mahasiswa korban skorsing) tidak diperbolehkan masuk acara tersebut,” ucapnya
Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan, Azhad Zadly menentang keras adanya SE Nomor 259 Tahun 2024. Pendamping korban skorsing itu menilai SE tersebut melanggar hak asasi manusia berupa hak menyampaikan pendapat di muka umum.
Azhad mengatakan, ketentuan terkait hak berpendapat di muka umum sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998. Jelasnya, dalam peraturan itu tidak ada ketentuan untuk melakukan aksi demonstrasi harus mendapatkan izin terlebih dahulu.
Baca juga: Resmi Menjadi PTN-BH, UNJ Pontang-Panting Mengembangkan Unit Bisnis
Tambahnya, SE memang merupakan hak prerogatif dari rektor. Akan tetapi menurutnya, SE itu sifatnya terbatas ataupun tidak mutlak. Dengan begitu tambahnya, SE itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang sudah ada dan kedudukannya lebih tinggi.
“Masa sekelas Rektor dalam membuat peraturan tidak menimbang hal-hal seperti ini,” ujar Azhad pada Selasa (10/09).
Azhad menyatakan, pendamping hukum korban telah menempuh upaya non litigasi untuk mencabut SE dan membatalkan skors. Lanjutnya, pendamping hukum korban sudah bersurat dengan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Kemendikbud Ristek, dan Kementerian Agama–kementerian yang menaungi UIN.
“Kalau dirasa Rektor UIN Alauddin Makassar masih keras kepala, kami akan menempuh jalur hukum lewat gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” tutupnya.
Tren Kenaikan Kasus Pelanggaran Akademik
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul mengatakan, kasus di UIN Alauddin Makassar merupakan bentuk pelanggaran kebebasan akademik. Tambahnya, fenomena tersebut meningkat dan merebak di berbagai kampus.
“Ada 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik sepanjang tahun 2023 dan 2024 yang didampingi oleh KIKA,” ujarnya pada Kamis (12/09).
Lanjut Satria, ada beberapa faktor yang menyebabkan kampus semakin mengekang. Salah satu faktor menurutnya adalah liberalisasi pendidikan. Menurutnya, liberalisasi pendidikan membuat paradigma birokrat kampus dalam mengelola universitas sangat dipengaruhi oleh pasar.
Satria mengatakan, mahasiswa yang menentang prinsip pasar dalam pendidikan berpotensi mendapatkan penekanan. Ia mencontohkan, kasus kriminalisasi yang menimpa mahasiswa Universitas Riau, Khariq Anhar beberapa waktu lalu. Usai mengkritik UKT yang mahal, Khariq dilaporkan dengan dugaan pencemaran nama baik oleh rektornya sendiri.
“Ketika kebebasan akademik tidak dilindungi, justru yang dikorbankan adalah masa depan demokrasi dan pembangunan ilmu pengetahuan,” tutupnya.
Reporter/penulis: Andreas Handy
Editor: Naufal Nawwaf