Jalan panjang ditempuh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dalam menggugat pemerintah melalui Judicial Review guna mewujudkan pendidikan dasar gratis.
Pada Rabu (11/06), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) kembali mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) guna membahas sidang lanjutan terkait Judicial Review atau permohonan pengujian materiil dengan nomor perkara 3/PUU-XXU/2024, perihal Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Agenda sidang kali ini merupakan yang kesembilan sejak gugatan dilayangkan.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menilai bahwa selama ini pemerintah telah salah tafsir mengenai pasal 34 ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Sebagai informasi, pada pasal 6 ayat 1 dalam UU yang sama tertulis bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Maka pendidikan dasar yang dimaksud adalah jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Lebih lanjut, Ubaid menjelaskan selama ini pemerintah hanya memberikan pendidikan dasar gratis bagi sekolah negeri saja. Padahal, menurutnya sekolah swasta pun berhak dan wajib disubsidi agar tidak memungut biaya dari peserta didik.
“Mestinya sekolah harus setara untuk seluruh anak Indonesia. Mereka yang masuk sekolah negeri dapat gratis, sedangkan yang masuk swasta punya beban biaya yang sangat besar. Ini sudah menyalahi undang-undang,” ungkapnya.
Baca juga: Union Busting Mengancam Hak Pekerja dan Stabilitas Sosial
Ubaid menambahkan, penyebab terjadinya ketidakadilan yang terjadi imbas pemerintah tidak serius dalam mengelola anggaran pendidikan. Menurutnya, anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sudah lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta. Namun, pemerintah selama ini malah menggunakan anggaran tersebut dengan semena-mena.
“Jika pemerintah dan sekolah serius menggunakan semua anggaran khusus pendidikan, saya yakin pendidikan pasti gratis. Malah sekarang kita menemui kasus penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” ujar Ubaid
Terakhir, Ubaid berharap MK mengabulkan semua gugatan yang telah JPPI ajukan. Sehingga SD dan SMP baik negeri maupun swasta dapat diakses dan gratis bagi semua kalangan sesuai undang-undang yang telah ditetapkan.
“Kami mendesak kepada pemerintah supaya tafsir atas UU Sisdiknas ini diberlakukan bagi negeri maupun swasta. Jadi sekolah tanpa dipungut biaya itu untuk seluruh anak Indonesia,” jelasnya.
Kuasa Hukum JPPI, Jondamay Sinurat mengatakan agenda sidang hari ini hanya mendengarkan keterangan dan pendapat dari berbagai lembaga pendidikan swasta. Terlihat selama sidang, ada empat lembaga pendidikan yang hadir, yakni PP Muhammadiyah, Taman Siswa, Majelis Pendidikan Kristen Indonesia, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik.
Menurut keterangan Jondamay, sidang berikutnya akan diselenggarakan pada 3 Oktober dengan agenda mendengarkan keterangan dan pendapat dari lembaga pendidikan Nahdlatul Ulama. Jondamay juga menyebut, ia belum bisa memastikan kapan putusan final MK terkait gugatan kliennya akan diketuk. Sejauh ini, MK masih mendengarkan keterangan dari berbagai pihak terkait.
“Kalau mahkamah merasa cukup atas keterangan tersebut, barulah kita masuk pada agenda kesimpulan dan putusan mahkamah,” ungkapnya.
Sementara itu, perwakilan dari Taman Siswa, Saur Pandjaitan selama persidangan mengungkapkan permasalahan yang dialami oleh lembaganya. Saat ini, Taman Siswa memiliki empat sumber pendanaan. Pertama, berasal dari uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Kedua, berasal dari dana BOS pemerintah pusat. Ketiga, berasal dari dana BOS daerah provinsi. Dan sumber yang terakhir, berasal dari dana BOS daerah kabupaten.
Baca juga: Tetap Konsisten Menggugat Permendikbud Ristek No.2 Tahun 2024
Namun, lanjut Saur, sebagian besar cabang Taman Siswa di berbagai daerah tidak mendapatkan dana BOS dari provinsi dan kabupaten. Sebagai contoh, cabang Taman Siswa yang berada di Jawa Timur mendapatkan dana BOS daerah. Sedangkan di Taman Siswa cabang Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan tidak menerima dana BOS daerah.
“Alasan kami masih memungut uang SPP pada siswa adalah untuk menutup biaya operasional sekolah. Karena kami tahu, dana BOS dari pemerintah pusat tidak cukup memenuhinya,” jelas Saur pada persidangan.
Saur juga menyinggung terkait kurangnya perhatian pemerintah kepada para guru di sekolah swasta. Menurut Saur, permasalahan kesejahteraan guru lebih krusial dibanding masalah pungutan pada sekolah swasta. Meskipun tunjangan profesional guru sudah menyasar ke sekolah-sekolah swasta, Saur mengaku masih banyak guru yang tidak mendapatkannya.
“Kami mengajak pemerintah untuk lebih serius memperhatikan nasib guru di sekolah swasta. Karena dengan kesejahteraan guru terjamin, maka kualitas pendidikan pun akan baik,” pungkasnya.
Penulis: Zidnan Nuuro
Editor: Zahra Pramuningtyas