Union busting, bukanlah praktik baru dalam dunia hubungan industrial. Sejak abad ke-19, union busting telah menjadi salah satu taktik yang digunakan oleh manajemen untuk mempertahankan kontrol atas tenaga kerja mereka.

Istilah ini mengacu pada berbagai tindakan untuk melemahkan atau menghancurkan serikat pekerja. Mulai dari kampanye propaganda anti-serikat, intimidasi, hingga pemecatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan serikat.

Fenomena union busting mencerminkan ketegangan antara pekerja dan pemilik modal. Di satu sisi, serikat pekerja mewakili kepentingan pekerja memperoleh upah layak, keamanan kondisi kerja, dan hak-hak lainnya. Di sisi lain, perusahaan melihatnya sebagai ancaman terhadap efisiensi operasional dan profitabilitas mereka.

Namun di balik ketegangan ini, implikasinya sangatlah mendalam dan luas. Ia melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, buruknya hubungan industrial, reputasi perusahaan, dan stabilitas sosial secara keseluruhan.

Pelanggaran Hak Asasi Pekerja dan Lemahnya Penegakkan Hukum

Union busting sering dianggap sebagai pelanggaran hak asasi pekerja paling fundamental, yaitu berserikat dan berunding secara kolektif. Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menetapkan, berserikat adalah hak asasi manusia yang mendasar.

Iklan

Dalam bukunya yang berjudul Labor Rights are Human Rights, James A. Gross menegaskan bahwa berserikat tidak hanya soal kondisi kerja yang lebih baik, tetapi juga martabat sebagai manusia yang merdeka.  Ketika hak ini dilanggar, pekerja tidak hanya kehilangan kekuatan tawar mereka, tetapi juga rasa hormat dan pengakuan atas kontribusi mereka terhadap perekonomian.

Baca juga: Dari Kompas ke CNN: Kontinuitas Pemberangusan Serikat Pekerja Media

Di banyak negara, union busting dianggap melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi berat. Misalnya, di Amerika Serikat, Undang-Undang Hubungan Buruh Nasional (National Labor Relations Act) melarang tindakan yang menghalangi pekerja untuk berserikat dan berunding bersama.

Pekerja yang menjadi korbannya pun memiliki hak untuk melapor ke Dewan Hubungan Buruh Nasional (NLRB). Nantinya, NLRB dapat memerintahkan perusahaan untuk memulihkan status pekerja yang dipecat secara tidak adil, ataupun memberi kompensasi atas kerugian yang diderita.

Namun, tantangan dalam menegakkan undang-undang ini tetap besar. Laporan dari Economic Policy Institute mengungkapkan, masih banyak perusahaan berhasil menghindari sanksi atau hanya dikenakan denda yang relatif kecil.

Di negara-negara berkembang, perlindungan hukum hak pekerja kerap lemah atau bahkan tak ada. Laporan dari Human Rights Watch menunjukkan, praktik union busting masih banyak terjadi.

Menurunkan Kualitas Hubungan Industrial, Produktivitas, dan Moral Pekerja

Union busting juga merusak kualitas hubungan industrial yang seharusnya didasarkan pada dialog dan kerja sama antara pekerja dan manajemen. Di negara-negara dengan tradisi hubungan industrial yang kuat, serikat pekerja berperan penting dalam menjaga stabilitas di tempat kerja melalui negosiasi dan penyelesaian konflik.

Namun, ketika perusahaan menghancurkan serikat pekerja, akan tercipta lingkungan yang penuh dengan ketidakpercayaan dan ketegangan. Hubungan kerja yang tentu berimplikasi terhadap produktivitas dan loyalitas pekerjanya.

Menurut studi yang diterbitkan dalam Journal of Industrial Relations, perusahaan yang terlibat praktik union busting cenderung mengalami penurunan moral pekerjanya dan peningkatan konflik di tempat kerja. Sebab, tanpa mekanisme untuk menyuarakan ketidakpuasan, pekerja bisa beralih pada bentuk-bentuk perlawanan yang lebih destruktif, seperti pemogokan atau sabotase.

Iklan

Jika bukan dalam bentuk perlawanan. Setidaknya pekerja yang merasa hak-haknya diabaikan, akan cenderung berkurang motivasi dan komitmennya terhadap pekerjaan. Pada akhirnya merugikan produktivitas dan keberlanjutan perusahaan.

Padahal loyalitas pekerja adalah aset berharga bagi perusahaan. Ketika loyalitas ini terkikis oleh praktik union busting, perusahaan harus siap menghadapi penurunan kinerja dan kualitas tenaga kerja.

Memperburuk Stabilitas Sosio-Ekonomi

Union busting berkontribusi pada peningkatan ketidakadilan sosial dengan menekan kekuatan tawar-menawar pekerja, terutama di sektor dengan upah rendah atau kondisi kerja yang buruk.

Menurut Thomas Piketty dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century, meningkatnya ketidakadilan ekonomi dapat memicu ketidakstabilan sosial yang lebih besar. Union busting memperburuk masalah ini dengan memperlebar kesenjangan antara manajemen dan pekerja.

Penghancuran serikat pekerja pun menyebabkan ketidakpuasan di kalangan pekerja kemudian memicu protes, pemogokan, dan bahkan kerusuhan sosial. Seperti di Amerika Latin pada akhir abad ke-20, terdapat serangkaian kebijakan anti-serikat pekerja diterapkan oleh pemerintahan diktator.

Baca juga: Momentum untuk Mendefinisikan Ulang Pergerakan dan Makna Demokrasi

Rezim militer Augusto Pinochet (1973-1990) di Chile, mengeluarkan Dekret Hukum 2.200 tahun 1978. Dimana hampir semua kegiatan serikat pekerja dilarang dan memperkenalkan sistem perundingan kolektif yang terfragmentasi.

Di Brasil pun sama. Rezim militer dari 1964 hingga 1985 memperketat kontrol atas serikat pekerja, membatasi kebebasan buruh untuk berorganisasi, dan mengizinkan intervensi negara dalam urusan internal serikat lewat Undang-undang No. 4.330/604.

Catatan sejarah tersebut sedikit menunjukkan, negara-negara dengan serikat pekerja yang lemah kerap mengalami tingkat ketidakstabilan tinggi. Ini menunjukkan bahwa union busting bukan hanya berimplikasi terhadap hubungan industrial, tetapi juga bagi stabilitas sosial dan ekonomi.

Buruk Bagi Kedua Belah Pihak

Dalam dunia yang semakin transparan dan terkoneksi, tindakan tidak etis seperti union busting bisa tersebar cepat melalui media sosial dan platform lainnya. Tentu saja hal ini dapat menurunkan citra perusahaan.

Studi dari Harvard Business Review menunjukkan, saat ini konsumen semakin sadar akan praktik bisnis yang bertanggung jawab. Mereka cenderung mendukung perusahaan yang menghormati hak-hak pekerja.

Di sisi lain, perusahaan bisa mengalami penurunan penjualan serta kehilangan kepercayaan dari investor dan mitra bisnis. Dalam hal ini union busting, meski menguntungkan dalam jangka pendek, dapat merugikan perusahaan dalam jangka panjang.

Bisa dikatakan, union busting merupakan praktik tidak etis dan berdampak luas bagi pekerja, perusahaan, maupun masyarakat secara keseluruhan. Menghancurkan serikat pekerja sama saja dengan merusak hubungan industrial, mengancam stabilitas sosial, dan menurunkan reputasi serta produktivitas mereka sendiri.

Untuk itu, perlu adanya upaya lebih kuat dari pemerintah, masyarakat, dan pekerja sendiri untuk menentang praktik ini dan memastikan bahwa hak-hak pekerja dilindungi dan dihormati di setiap level.

Penulis: Fatih Hayatul Azhar, mahasiswa Universitas Budi Luhur

Daftar Pustaka

Gross, James A. (2003). Labor Rights are Human Rights. ILR Press.

International Labour Organization. (2018). Freedom of Association and Protection of the Right to Organise Convention, 1948 (No. 87). Geneva: ILO.

Piketty, Thomas. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.

Economic Policy Institute. (2020). Fear at Work.

Townsend, Keith, & Wilkinson, Adrian. (2010). Managing Under Pressure: The Role of Workplace Industrial Relations in the Global Financial Crisis. Journal of Industrial Relations, 52(2), 261-274.

Wang, Peter. (2020). The Future of Work : How to Survive and Thrive in the Changing Workplace. Harvard Business Review.

Greenwood, Michelle. (2002). Ethics and Industrial Relations. Journal of Business Ethics, 36(3), 261-274.