Sejenak, mari membayangkan punya mesin waktu seperti di film-film fiktif. Terdapat sebuah kubus berukuran 2×3 meter berbahan logam. Kita memasukinya kemudian menutup pintu. Di dalam kubus ini, ada catatan-catatan mengenai tata cara penggunaanya.

Cara kerjanya mudah, kita hanya perlu duduk di sebuah kursi, kemudian memasukan periodisasi sejarah dan tempat di alat kontrol yang rupanya mirip seperti di kasir-kasir minimarket. Periode yang dimasukan ke dalam mesin itu berkisar di abad ke-16, tempatnya di bumi Parahyangan, Nusantara. Mesin berguncang keras, lalu langsung ngacir menembus lintasan waktu dan ruang yang tidak dapat dijelaskan melalui hukum-hukum fisika.

Sampailah kita pada bumi Parahyangan, Nusantara. Tepatnya kalau sekarang sedang berada di Warpat, Puncak Pass, Bogor. Kala itu, peperangan hebat sedang terjadi karena kesultanan Banten dan Cirebon terus menyerang. Situasi yang membingungkan ini menuntun kita secara serampangan melarikan diri dari serangan.

Ketika berusaha kabur inilah, secara tidak sengaja, terdapat seorang lelaki, kira-kira berumur setengah abad lebih, sedang menulis sesuatu di pinggiran sawah. Kita penasaran dengan isinya, kemudian bertanya mengenai apa yang ia sedang tulis di berhalaman-halaman potongan kayu tipis kecil berbentuk segi panjang. Dengan singkat, ia menjawab “ieu bakal ngageterkeun karajaan Sunda, sabab ngandung kajujuran rahayat,” atau “ini akan menggemparkan kerajaan sunda karena berisikan kejujuran orang-orang.”

Apa yang sedang ditulis oleh lelaki tua itu adalah Carita Parahyangan. Carita Parahyangan terdiri dari 25 babak. Naskah ini berisikan kritik tajam terhadap serentet dosa yang dilakukan Raja-raja penguasa tanah Sunda dari abad ke-8. Terkhusus, naskah ini menggambarkan bagaimana dosa-dosa para Raja sunda meruntuhkan kerajaannya sendiri.

Keruntuhan kerajaan Sunda diakibatkan beberapa hal. Dalam naskah ini, keruntuhan disebabkan oleh salah perilaku (gering lampah), senang merusak (lantaran polahna resep ngarusak nu tapa), sering membunuh orang tanpa dosa (mindeng maehan jalmma tanpa dosa), merampas hak orang tanpa perikemanusiaan (ngarampas tanpa rasrasan), dan lain sebagainya.  

Iklan

Kenampakan Carita Parahyangan yang muncul kurang lebih selama 500 tahun silam mengingatkan pada konteks sosial-politik hari ini. Terdapat kesamaan yang mencolok di mana rakyat mengeluarkan unek-uneknya selama diperintah oleh para penguasa. Terkhusus dalam bingkai pemerintahan yang dijalani oleh Joko Widodo.

Baca juga: Melawan Korupsi karena Bermoral  

Jika dilihat dari sisi momentum kelahiran gejolak tersebut, di macam media sosial muncul sebuah unggahan bertuliskan #Peringatandarurat yang dilatarbelakangi oleh layar berwarna biru dan lambang Pancasila (21/8/2024). Musabab dari kelahiran unggahan ini karena DPR dinilai melakukan tindakan inkonstitusional dengan mengabaikan hasil putusan MK terkait ambang batas syarat pencalonan kepala daerah lewat RUU Pilkada. Menjadi gayung bersambut, gerakan di wilayah digital ini meluber keesokan harinya di panggung jalanan berbagai daerah.

Menyoroti bagaimana berjalannya agenda, terutama di DPR RI, DKI Jakarta, berbagai massa yang tergabung seolah memiliki kesamaan dalam konstruksi berpikir. Di sini, Jokowi menjadi tokoh paling antagonis dan harus segera mungkin ada penghakiman. 

Sampai-sampai eskalasi kemarahan, kebencian, hingga dendam yang tadinya sebatas unek-unek, berubah menjadi keriuhan dan kerusuhan. Lewat mobil komando, terdengar seruan-seruan provokasi yang menghanyutkan massa untuk lebih emosi, supaya pagar DPR RI bisa dirobohkan. Kemudian, massa bisa merangsek ke dalam.

Bisa jadi, alam situasi itu sama dengan demo #Reformasidikorupsi yang habis-habisan menentang Undang-undang Cipta Kerja, tahun 2019 silam. Penembakan gas air mata, penangkapan massa aksi, hingga tindak-tanduk represifitas yang dilakukan oleh pihak kepolisian kembali terjadi. Padahal sepanjang pengamatan situasi pergerakan di Jakarta selama 4 s.d 5 tahun belakangan, hal seperti ini tidak pernah terjadi.

Melihat bagaimana momentum pergerakan tersebut, tentu tidak terlepas dari rantai kausalitas yang membentuk. Mencuatnya isu Putusan MK dan RUU Pilkada menjadi akumulasi dari kemarahan rakyat. Sebelum-sebelum ini, boleh dibilang eskalasi segala jenis emosi negatif terhadap pemerintahan di bawah kuasa Jokowi sudah tumpah. Namun, massa tercerai berai ke dalam aksi yang segmentasinya tersekat pada masing kelompok dengan pembawaan isu berbeda.

Dalam melihat kecenderungan isu atau tuntutan yang dibawa oleh massa aksi, dominasi wacana kurang lebih sudah terangkum oleh Majalah Tempo, 18 Dosa Jokowi, (28/7/2024). Dari rangkuman ini, terdapat signified, petanda, atau makna yang boleh jadi tidak ada lagi perbedaan mana isu tingkat elitis atau populis.

Jika tadinya terdapat disparitas isu elit yang dipegang oleh kelas menengah reformis seperti kelompok-kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kemudian, isu populis yang dibawa oleh masyarakat akar rumput. Kini, semua melebur jadi satu. Di sini dapat ditarik satu kesimpulan yaitu segala bentuk penyakit-penyakit dari berbagai lini politik-ekonomi-sosial dilahirkan dalam rezim Jokowi berdampak ke dalam aspek keseharian. 

Kakunya imajinasi politik yang menjadi latar belakang konstruksi berpikir massa untuk melandasi demonstrasi semacam ini menjadi angin segar pergerakan. Segala jenis isu–kalau tadi dari liputan Majalah Tempo ada 18–berhasil tereduksi ke dalam satu gerakan. Imajinasi politik massa aksi hari ini mencemaskan kehancuran demokrasi, baik dari segi parlementer atau masyarakat akar rumput sekalipun.

Iklan

Baca juga: Guru Honorer: Dicampakan Padahal Berperan Sentral

Isu mengenai kehancuran demokrasi di Indonesia menjadi zeitgeist atau gerak dari roh zaman hari ini. Akan tetapi, perlu dibaca lebih lanjut. Pertama-tama, perlu pengkondisian ulang makna demokrasi. Jangan sampai, ada satu fenomena keterjebakan di mana makna demokrasi hanya sebatas kata itu sendiri. Seorang Filsuf Indonesia, Yasraf Amir Piliang, dalam meneropong fenomena ini, menyebut keterjebakan makna demokrasi disebut sebagai simulacrum democracy.

Simulacrum democracy secara definitif menitikberatkan sistem demokrasi hanya sebatas reproduksi citra dengan kekosongan makna di dalamnya. Tak ubahnya, jika simulacrum democracy ini dirawat, maka akan sama dengan barang yang memiliki fetish di dalamnya. Sehingga, masyarakat berusaha mengejar atau mengonsumsi citra demokrasi, tanpa mengetahui makna bersama yang sedang dibutuhkan Indonesia hari ini.

Piliang menerawang, jika kondisi simulacrum democracy dirawat, masyarakat dengan mudah dikendalikan oleh berbagai pergerakan sosial yang tak beraturan, wacana politik, ekonomi, budaya dan sosial yang tidak jelas. Dengan turbulensi sosial yang liar, masyarakat tidak akan memiliki identitas imajinasi politik. Ini adalah bahaya karena praktik perjuangan yang tidak terorganisir seperti demonstrasi pasca keluarnya Putusan MK dan RUU Pilkada hanya akan menjadi momentum, di kemudian hari redup.

Bertalian dengan poin pertama, untuk menghancurkan simulacrum democracy ini dibutuhkan upaya. Momentum kelahiran aksi besar yang diakibatkan oleh Putusan MK dan RUU Pilkada tidak cukup. Di sini, perlu pembacaan rigid terkait temporal gerakan

Dalam transisi kekuasaan, baik dari nasional maupun daerah yang berlangsung selama 2 bulan ke depan, bisa jadi adalah waktu tepat untuk mengganaskan laju gerakan. Sebelum momentum habis karena kekecewaan rakyat di rezim Jokowi telah dilupakan dengan kekuasaan yang baru. Membangun gerakan dari puing-puing demokrasi yang telah hancur perlu dilakukan dengan cepat, namun mengalir tenang. 

Tidak perlu ketokohan gerakan bersifat sentralistis yang mereproduksi makna tunggal di dalam citra demokrasi. Jauh lebih penting dari itu adalah membangun disiplin gerakan terlebih dahulu. Semakin banyak organisasi yang menyadarkan rakyat dengan pemaknaan demokrasinya tersendiri, akan lebih mempermudah eskalasi gerakan. Terkhusus hari ini, nampaknya rakyat yang mengalami gaya ketertindasan berbeda-beda. 

Tanpa sebuah redefinisi gerakan yang dapat menembus citra kosong demokrasi dan membawa makna yang lebih substantif. Boleh jadi, kita mungkin akan menyaksikan nasib yang sama. Kehancuran negeri disebabkan oleh kesalahan penguasa, selayaknya kerajaan di tanah-tanah Sunda dahulu kala.

Redaksi Didaktika