Pada 8 Juli lalu, tepatnya saat hari pertama masuk sekolah semester 2024/2025, jamak guru honorer khususnya di Jakarta terkejut mendengar kabar adanya pemecatan. Berdasarkan data kasar, sebanyak 107 guru honorer dipecat dari jabatannya sebagai guru. Data tersebut dianggap kasar karena jumlah total guru honorer di Jakarta mencapai lebih dari 4.000 orang.

Adanya cleansing atau pembersihan guru honorer di seluruh sekolah negeri karena Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau guru honorer diupah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pun, pengangkatan guru honorer diklaim bermasalah karena tidak melalui rekomendasi dari Disdik Jakarta. 

Selain itu, pengangkatan guru honorer diklaim tidak mematuhi Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022. Tertuang dalam Pasal 40 ayat (3), syarat pengangkatan guru honorer harus memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik), berstatus bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) serta belum mendapat tunjangan profesi guru

Padahal bila ditelisik, guru honorer yang dipecat sudah memenuhi syarat pengangkatan tenaga pendidik honorer sudah sesuai Permendikbud tersebut. Di mana salah satu syarat yang telah terpenuhi adalah tercatat dalam pangkalan Dapodik

Kendati demikian, adapula multitafsir di dalam Permendikbud Nomor 63 tersebut. Misalnya, Pasal 39 huruf (i) dan Pasal 40 ayat (4) menjelaskan, pihak sekolah memperbolehkan mengupah guru honorer menggunakan dana BOS dan pengangkatannya melalui surat penugasan dari kepala sekolah terkait. 

Regulasi di atas, bagi penulis, menggambarkan semrawutnya regulasi dan tata kelola pendidikan di Indonesia. Di satu sisi tidak adanya sinkronisasi data guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah karena kekurangan tenaga pengajar dengan jajaran Disdik. Di sisi lain,  pemerintah turut lambat dalam memenuhi kebutuhan guru dan rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Iklan

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melihat permasalahan itu sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). LBH membuka aduan atau upaya advokasi terhadap guru honorer yang dipecat agar mendapat kejelasan mengenai status kerjanya.

Baca juga: Nasib Guru Honorer DKI Jakarta Masih Tak Pasti

Adanya pemecatan guru honorer secara tiba-tiba itu sangat mengiris hati. Sebab, peran guru di Indonesia seakan tidak dihargai. Apalagi, guru yang berstatus honorer kerap kali diperlakukan tidak manusiawi. 

Perlakuan tidak manusiawi terhadap guru honorer lainnya ada di wilayah pedesaan atau pelosok Nusantara. Perihal upah, misalnya, sebagian besar guru honorer di pedesaan hanya diupah per bulannya sebesar Rp300 ribu – Rp500 ribu dan rata-rata upahnya tidak lebih dari 2 juta rupiah. Sebagai contoh, seorang guru honorer di kecamatan Plandaan, Jawa Timur, hanya mendapat upah sebesar Rp300 ribu per bulan padahal telah mengabdi selama 17 tahun lamanya.

Selain itu, guru honorer kerap mendapat beban kerja berlebih. Contohnya, harus mengurus tumpukan administrasi dan beban mengajar yang melebihi kesanggupan. Padahal, beban itu menghambat guru mengembangkan metode mengajar dan ilmu pengetahuan dalam dirinya. 

Istilah “guru adalah pelita bangsa” kian bias dalam pikiran. Kita tentunya bertanya-tanya, apakah peran guru kini tidak lagi dianggap penting dan berdampak pada pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) di negeri ini?

Guru untuk Pembangunan Bangsa

Seorang pakar pedagogik, H.A.R Tilaar dalam buku “Pedagogik Teoretis untuk Indonesia” menjelaskan guru memiliki peran sentral dalam pengembangan SDM. Menurutnya, peran guru bagian tak terpisahkan dalam rangka pembangunan bangsa. 

Selain itu, bagi Tilaar guru berperan penting dalam memberikan pendidikan kepada peserta didik agar dapat menumbuhkan potensi dan bakat dalam dirinya. Guru mencoba mendorong, memberi arahan, menjadi pendamping, dan sebagai teladan agar peserta didik mampu mengembangkan diri.

Berkelindan dengan diktum Ki Hadjar Dewantara, terdapat tiga semboyan keberadaan guru bagi peserta didik. Pertama, semboyan “ing ngarsa sung tulada” berarti guru “di depan” sebagai teladan bagi muridnya. Kedua, semboyan “ing madya mangun karsa” bermakna guru “di tengah” sebagai pendamping murid untuk membangkitkan semangat dan kemauan belajar. Terakhir, semboyan “tut wuri handayani” bermakna bila guru “di belakang”, mereka harus memberikan dorongan untuk berani mengembangkan potensi bagi muridnya.

Iklan

Dari penjelasan di atas, terlihat peran guru begitu sentral dalam membangun potensi dan bakat siswa agar senantiasa berkembang menjadi insan cemerlang. Untuk mencapai pembangunan bangsa, sangat jelas peran guru harus membentuk SDM di Indonesia berkualitas.

Dapat dikatakan, pembangunan bangsa akan terlaksana dengan baik apabila sektor pendidikan diperhatikan secara seksama oleh pemerintah. Baik dari infrastruktur hingga kebijakan yang melatarbelakanginya. Termasuk, pemberdayaan guru harus menjadi perhatian serius.

Keinginan Indonesia menjadi negara maju dan menciptakan generasi emas 2045 perlu dipikirkan kembali. Bonus demografi 2024 tanpa kemajuan SDM akan sulit memajukan negara ini. Oleh karena itu, tanpa meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru, semua hanya akan sia-sia saja.

Baca juga: Penghapusan Jurusan SMA dalam Bayang-Bayang Neoliberalisme

Indonesia harus belajar dari bangsa lain yang pendidikannya telah maju dan berhasil menciptakan SDM berkualitas. Misalnya Jepang, berhasil menjadi negara maju lantaran sangat menghargai peran guru, khususnya pada aspek finansial. Jepang tahu, suatu bangsa tidak akan pernah bisa maju apabila peran guru diabaikan begitu saja.

Intinya, pemerintah Indonesia tidak boleh menyepelekan peran guru walaupun berstatus honorer. Apalagi menghardiknya dengan pemecatan secara tiba-tiba. Peran guru tak bisa disepelekan.

Oleh karena itu, perlu adanya langkah konkrit untuk mengatasi permasalah guru honorer. Misalnya, guru honorer diangkat langsung menjadi PPPK dengan tiga tahun pengalaman mengajar dan tercatat pada pangkalan Dapodik. Langkah tersebut dapat menyederhanakan pengangkatan guru PPPK dan mengatasi kebutuhan tenaga pengajar di sekolah. 

Lebih lanjut, perlu menilik kemampuan guru dalam mengimplementasikan ilmu pedagogik. Hal itu dapat diterapkan dengan membuat survei atau penilaian langsung kepada siswa secara objektif tanpa intervensi Kemendikbud. Penilaian siswa penting untuk dilakukan karena merasakan pengajaran guru secara langsung. Nantinya, bisa diketahui apakah guru tersebut layak atau tidak sebagai pengajar. 

Mengenai beban kerja, khususnya administrasi, pemerintah dapat menambah pegawai tata usaha sekolah yang secara khusus bertugas mengurus administrasi guru. Hal itu penting dilakukan agar para guru tidak terbebani dan dapat fokus mengembangakan kompetensi pedagogig dalam dirinya. 

Ihwal pengangkatan guru PPPK, pemerintah perlu membuka seleksi pengangkatan dengan cepat sesuai kebutuhan wilayah. Pemerintah juga perlu mengkaji ulang mengenai tahap pendistribusian guru secara cermat agar para guru tidak terombang-ambing dalam ketidakpastian kerja. Ketimbang menunggu pembukaan seleksi untuk pengangkatan guru menjadi PPPK yang kerap memakan waktu lama. 

Syahdan, langkah itu dapat dilakukan supaya klaim kekurangan guru dapat teratasi. Selain itu, kesejahteraan dan keadilan profesi guru juga bisa tercapai. Jangan sampai ada lagi fenomena upah murah, beban kerja berlebih, hingga pemecatan secara tiba-tiba. 

Hidup guru!

Penulis: Lalu Adam Farhan Alwi 

Editor: Adinda Rizki