Beberapa waktu lalu kanal pemberitaan masyarakat Indonesia diramaikan oleh kebijakan penghapusan jurusan di seluruh Sekolah Menengah Atas (SMA). Pembagian jurusan seperti Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Bahasa ditiadakan.

Dalam praktik kebijakan itu, seluruh siswa kelas 10 diajarkan mata pelajaran yang sama. Barulah ketika menginjak kelas 11 dan 12, siswa dibebaskan untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan keinginan masing-masing.

Dilansir dari Tempo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo menyatakan, penghapusan jurusan diharapkan dapat mendorong eksplorasi pengetahuan siswa. Ia pun berharap kebijakan ini dapat membuat siswa lebih reflektif terkait pengetahuan apa yang ingin mereka dalami. 

Senafas dengan Andidito, penekanan eksplorasi pengetahuan siswa sebagai tujuan pendidikan juga tergambar dalam Landasan Filosofis UU No 12 tahun 2024 tentang Kurikulum untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah. Termaktub, pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang holistik dan dapat mengoptimalkan potensi diri dengan baik. 

Baca juga:Massa Aksi Bergerak Selamatkan Demokrasi, Aparat Malah Melakukan Represi

Kendati demikian, pernyataan di atas muskil diwujudkan dalam iklim akademik Indonesia yang kian hari kian pragmatis. Hal itu terlihat dari maraknya penggunaan joki kegiatan akademis oleh siswa. Sebagai contoh, Kompas mencatat sebanyak 200 peserta didiskualifikasi karena diduga menggunakan jasa joki pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi 2022. 

Iklan

Pragmatisme mendorong seseorang untuk berpikir praktis. Dalam konteks pendidikan, budaya pragmatis memfokuskan kepada hasil tanpa memperhatikan proses yang siswa tempuh. Imbasnya, budaya instan di kalangan siswa seperti praktik joki merebak.

Maka dari itu, pendidikan yang ditempuh siswa seakan formalitas belaka untuk syarat mereka dapat masuk ke dalam dunia kerja. Kata-kata seperti “mengembangkan potensi siswa” dan “eksplorasi pengetahuan” hanyalah angan-angan di iklim pragmatis seperti hari ini.

Budaya pragmatisme pada dunia pendidikan bukanlah kesalahan individu semata. Budaya itu lahir dari rahim kurikulum yang memiliki legitimasi untuk mengatur pengetahuan dan kebiasaan berpikir siswa. 

Melalui Buku Ideologi dan Kurikulum, Michael W. Apple membagi sifat kurikulum menjadi dua, yaitu kurikulum formal dan kurikulum tersembunyi. Kurikulum formal tertulis melalui undang-undang atau sejumlah peraturan. Sementara itu, kurikulum tersembunyi terselip pada nilai dan budaya yang diproduksi oleh sekolah. 

Pada kasus Kurikulum Merdeka, pragmatisme menjadi kurikulum tersembunyinya. Terselip dalam kajian akademik kurikulum itu, tepatnya di bagian muatan esensial, perubahan pendidikan dapat berhasil jika konsep kepraktisan dapat diinternalisasi oleh pendidik.

Sebenarnya, saat pemerintah merumuskan kurikulum paling kurang mereka mempertanyakan dua hal. Melalui Buku Prinsip Dasar Kurikulum dan Pengajaran, Ralph Tyler mengajukan persoalan, ”Haruskah kurikulum melatih generasi muda untuk beradaptasi dengan masyarakat ataukah sebaliknya, apakah kurikulum mempunyai misi revolusioner untuk melatih generasi muda yang akan memperbaiki masyarakat yang sama?”

Bilamana kurikulum melatih generasi muda untuk memperbaiki masyarakat, maka akan terjadi sebuah dialog kritis, analisis, dan pemahaman. Siswa akan terbiasa dengan pengeksplorasian pengetahuan sekaligus pemikiran utopis mengenai masyarakat ideal. 

Sebaliknya, jika kurikulum melatih generasi muda untuk beradaptasi, maka pragmatisme menjadi hal yang pasti. Siswa akan terbentuk menjadi pribadi yang pasif dan mengikuti dengan baik tatanan sosial. 

Budaya pragmatisme pada Kurikulum Merdeka merupakan bentuk dari penyesuaian kepada corak ekonomi Indonesia hari ini, yakni neoliberalisme. Secara sederhana, neoliberalisme menekankan pada pengurangan peran negara dalam pembiayaan dan pengelolaan sektor publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Bentuk paling gamblang dari sistem itu di dunia pendidikan Indonesia adalah hadinya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).

Dilimpahkan kepada pasar bebas, pendidikan mengutamakan efisiensi. Pendidikan yang memakan biaya besar–karena subsidi dari negara berkurang– harus memberikan hasil pasti berupa pekerjaan kepada konsumen. Dengan demikian, terserah proses dalam pembelajaran, hasil yang pasti itu harus diutamakan.

Iklan

Kembali kepada harapan dari adanya penghapusan jurusan SMA seperti eksplorasi pengetahuan, minat, dan bakat siswa. Hal itu tidak dapat tercapai di tengah budaya pragmatisme yang didasari oleh sistem neoliberalisme. 

Justru, kebijakan itu dapat dilihat sebagai bentuk pengkondisian siswa menuju dunia tenaga kerja pasar bebas. Siswa seolah-olah dibebaskan untuk memilih pengetahuan yang diminati. Akan tetapi, pemberian kebebasan memilih di tengah sistem neoliberalisme adalah ilusi. Sebab, siswa tidak punya pilihan selain menyesuaikan harapan dan kemampuan dengan pasar.

Mengajar sebagai Tindakan Subversif 

Melihat iklim pragmatisme semakin mewabah, para guru jelas memiliki peran sentral dan tanggung jawab dalam memimpin perlawanan. Ia memiliki hak istimewa seperti dapat mengatur ruang kelas. Hak istimewa itu memberikan peluang bagi guru untuk memulai perlawanan. 

Pada praktiknya,  guru  sebagai pendidik harus menghadirkan ruang demokratis dalam kelas. Fungsi guru harus dipahami sebagai pemantik agar pengetahuan menjadi kritis dan transformatif. Dengan demikian, eksplor pengetahuan siswa pun dapat tercipta. 

Supaya pengetahuan dapat dieksplorasi, guru pun harus mengetahui sejarah, nilai-nilai, dan pemahaman yang membentuk kehidupan siswa sehari-hari. Tidak hanya memberikan pengetahuan yang telah ada, guru juga harus menentang batas-batas pengetahuan dengan selalu mempertanyakan sejarah dan konteks suatu pengetahuan tersebut diproduksi. 

Baca juga: Nasib Guru Honorer DKI Jakarta Masih Tak Pasti

Meskipun, pemikiran kritis yang dikobarkan oleh guru tidak serta merta mengubah sifat masyarakat yang ada. Namun, hal tersebut dapat menjadi landasan dalam menghasilkan gerakan sosial yang lebih besar. 

Ketika gerakan sosial terbentuk dan budaya kritis menjamur di kalangan peserta didik. Maka, mereka bukan lagi budak catur dapat dikendalikan secara semena-mena oleh sistem. Jika keadaan seperti itu, barulah penghapusan jurusan SMA menjadi kebijakan yang tepat. Sebab, siswa merdeka dalam mengeksplorasi pengetahuan, minat, dan bakatnya.

Tentu, hal diatas dapat dilakukan bila persoalan struktural telah teratasi. Pedagog asal Amerika Serikat, Henry A. Giroux mengingatkan bahwa pemerintah harus bersedia mendanai pendidikan. Selain itu, prinsip-prinsip kebebasan akademik dijunjung tinggi di institusi pendidikan dan pendidik mendapatkan gaji yang layak.

Penulis: Annisa Inayatullah

Editor: Andreas Handy