Berbagai elemen masyarakat menggelar aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (22/08). Massa yang terdiri atas mahasiswa, kalangan aktivis 98, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, influencer, hingga ibu-ibu tersebut mendesak penyelamatan demokrasi dengan menuntut pembatalan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Kemarahan berbagai elemen masyarakat itu dimulai saat DPR berencana menetapkan RUU Pilkada. RUU tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat ambang batas pencalonan hingga syarat usia calon kepala daerah.

Sebelumnya pada Selasa (20/08), MK menetapkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Lewat putusan itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dapat mengusung calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) sendiri, setelah hampir semua partai politik mendukung Ridwan Kamil maju sebagai pemimpin mantan ibu kota itu. 

Pada hari yang sama, MK menetapkan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Dalam putusan itu, usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat penetapan calon kepala daerah. Putusan tersebut membuat anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep tidak bisa menjadi calon gubernur dan wakil gubernur karena umur dirinya masih 29 tahun.

Adanya RUU Pilkada yang bertentangan dengan kedua putusan MK di atas, menimbulkan gelombang kritik dari masyarakat. Media sosial misalnya, dipenuhi oleh poster berisi tulisan “Peringatan Darurat Indonesia”. Tidak hanya protes di media sosial, rakyat berduyun-duyun melakukan demonstrasi di Gedung DPR pada Kamis (22/08).

Salah satu massa aksi yang berasal dari Universitas Negeri Jakarta, Muhammad Kholid menilai RUU Pilkada sangat kental dengan kepentingan pemerintah untuk memperkuat kekuasaan. Menurutnya, munculnya RUU Pilkada secara tiba-tiba dan tidak sesuai dengan putusan MK, membuktikan pemerintah sangat tamak akan kekuasaan. Diketahui pembahasan pengesahan RUU itu hanya berlangsung selama enam jam.

Iklan

“Di saat pemerintah semakin maruk kekuasaan, masyarakat harus menjaga demokrasi, “ ucap Kholid.

Massa aksi lainnya, Mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA), Abiyyu Rafie alias Pio merasa Indonesia hari ini mengarah menjadi negara monarki. Ia juga mengatakan, Republik Indonesia yang merupakan milik seluruh rakyat Indonesia, kini seakan milik keluarga Jokowi semata. 

Lanjutnya, gaya monarki pemerintahan Jokowi membuat penerapan sistem meritokrasi tidak berjalan, sehingga posisi-posisi dalam pemerintahan tidak dijabat oleh orang yang berkapasitas. Akan tetapi, kekuasaan dibagi-bagi kepada kerabat Jokowi beserta kroni-kroninya. 

“Dampaknya (tidak berjalannya sistem meritokrasi), esensi untuk menyejahterakan masyarakat jadi dikesampingkan, “ ujar Pio.

Baca juga: Nasib Guru Honorer DKI Jakarta Masih Tak Pasti

Salah satu massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Gugat Negara, Sari Wijaya yang juga merupakan Ketua Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menilai oligarki telah merusak nilai-nilai demokrasi. Menurutnya oligarki hanya mementingkan isu-isu elit seperti putusan MK tentang Pilkada yang langsung direspon cepat oleh mereka, sedangkan isu kerakyatan pemerintah cenderung abai. Oleh karenanya, rakyat menjadi muak dan secara spontan melakukan aksi massa. 

Sari juga menjelaskan aksi massa kali ini sangat cair. Maka dari itu, semua elemen masyarakat sipil perlu konsolidasi lebih lanjut mengenai cara dan tujuan gerakan ke depan. 

“Dengan konsolidasi lanjutan, semua elemen gerakan dapat bersatu dan tidak terkotak-kotakan,“ tutupnya. 

Pada hari yang sama, demonstrasi sebagai reaksi atas RUU Pilkada terjadi di kota lainnya seperti Yogyakarta, Bandung, dan Makassar. DPR pun membatalkan pengesahan RUU Pilkada. Namun, banyak massa aksi mendapatkan tindakan represifitas dari aparat keamanan.

Dalam siaran pers Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui banyak tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada massa aksi. Di Bandung misalnya, 31 orang massa aksi mendapatkan kekerasan oleh polisi. Tidak hanya itu, ada ratusan massa aksi yang ditangkap aparat keamanan.

Iklan

Anggota Divisi Riset Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Hans G. Yosua menyatakan bentuk represifitas aparat kepada massa aksi penolakan RUU Pilkada adalah penggunaan kekuatan secara berlebihan. Ia mencontohkan bentuk represifitas seperti itu terjadi ketika seorang massa aksi tidak punya senjata, tapi ditendang dan dipukul pakai benda tumpul dari aparat keamanan.

Selain itu, ia menduga adanya tindak penyiksaan dari aparat keamanan kepada massa aksi. Penyiksaan yang dimaksud olehnya adalah tindakan untuk memberikan penghukuman kepada orang dengan kekerasan. Tambahnya, KontraS sudah menemukan beberapa kasus dugaan tindak penyiksaan massa aksi dari aparat.

“Berdasarkan konstitusi, hak untuk tak mendapatkan penganiayaan tidak dapat dikurangi. Jika benar terdapat tindak penyiksaan, maka itu pelanggaran berat konstitusi, “ pungkas Hans pada Kamis malam (22/08).

Penulis/reporter: Andreas Handy

Editor: Zahra Pramuningtyas