“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Nyai Ontosoroh namanya, dirinyalah yang melontarkan ucapan termasyhur dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer itu. Nyai Ontosoroh hanyalah perempuan pribumi sekaligus gundik yang mempunyai jenjang pendidikan rendah. Meski berada dalam lapisan paling suram dalam struktur pemerintahan kolonial, Nyai Ontosoroh memimpin suatu perlawanan yang menggoyahkan realitas sosial penuh penindasan.
Sanikem adalah nama aslinya. Sejak belia Sanikem dijual orang tuanya kepada seorang pengusaha Belanda, Herman Mellema untuk dijadikan gundik.
Menjadi seorang gundik tidak membuatnya sekadar objek belaka, Sanikem berjuang menjadi subjek aktif yang terus mengembangkan diri. Banyak bacaan dan keterampilan dikuasai oleh Sanikem, sampai-sampai ia memiliki dan mengelola secara mandiri perusahaan yang didirikan Herman Mellema.
Namun, kekuasaan kolonial kemudian berupaya merenggut segala yang dipunyai Nyai Ontosoroh. Ia mengadakan perlawanan bersama kekasih anaknya yang bernama Minke. Pemuda priyayi sekaligus lulusan Hogere Burger School (HBS) itu menyebarkan masalah yang terjadi kepada khalayak melalui tulisan. Sedangkan Nyai Ontosoroh, terus berorasi memperjuangkan haknya di persidangan kolonial
Nahasnya, mereka kalah. Akan tetapi, struktur kolonial goyah oleh perlawanan seorang gundik. Terlebih lagi, perlawanan Nyai Ontosoroh membawa pelajaran yang sangat mendalam bagi Minke. Bahwa keadaan yang menindas tidak bisa dibiarkan dan perlu diubah. Maka menurut Minke, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.”
Baca juga: Merawat Kesadaran Rakyat untuk Menolak Geothermal Gunung Gede
Nyai Ontosoroh adalah sosok yang disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik. Intelektual organik dapat berasal dari segala lapisan masyararakat. Dengan pemikirannya, mereka menggerakkan banyak orang untuk bersama-sama mengupayakan perubahan atas realitas sosial yang menindas.
Pemikiran Gramsci cukup radikal. Sebab, umumnya seseorang dapat dikatakan sebagai “intelektual” jika mempunyai jenjang pendidikan formal yang tinggi. Akan tetapi menurut tokoh Neo-Marxis asal Italia itu, semua orang berpotensi menjadi intelektual, tetapi tidak semua orang bisa memiliki fungsi intelektual di masyarakat.
Intelektual organik seringkali muncul saat situasi penindasan yang amat kental terasa. Semisal ketika terjadi perampasan ruang hidup rakyat.
Pentingnya ruang hidup, mendorong sejumlah rakyat menginisiasi perlawanan terhadap kekuasan. Mereka menggerakan rakyat lainnya untuk melawan penindasan.
Kiwari, kasus perampasan rakyat tumbuh subur. Menurut data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), terdapat sekitar 290.337 hektar lahan konflik agraria sepanjang tahun 2021-2024. Seiring banyaknya konflik agraria yang terjadi, maka bermunculan pula intelektual organik di tengah masyarakat.
Salah satu contohnya adalah seorang nelayan asal Banten, Kholid Miqdar. Di tengah para pejabat dalam suatu program acara debat televisi, ia mengkritik tajam pemagaran laut di Tangerang. Bagi pria lulusan sekolah menengah pertama itu, pemagaran laut sangat menyusahkan nelayan dalam melaut.
Kholid menduga, pemagaran laut berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang dikelola perusahaan milik taipan Aguan. Ia pun menilai negara tidak hadir untuk rakyat, tetapi malah melayani kepentingan korporasi. Segera Kholid menjadi simbol perjuangan rakyat Banten melawan PIK 2, yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Pengalaman bersentuhan langsung dengan intelektual organik, saya dapatkan beberapa hari lalu di Gunung Gede, Jawa Barat. Di sana saya bertemu dengan Kang Cece Zaelani, seorang warga Desa Sukatani, sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Gede.
Cece dan umumnya masyarakat di Gunung Gede bekerja sebagai petani. Mata pencaharian dan sumber daya air mereka terancam oleh rencana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) Gunung Gede. Sebab, PLTP itu akan berdiri di lahan perkebunan warga dan pengerjaannya dapat menguras air bersih dari gunung.
Oleh karenanya, Cece menginisiasi perkumpulan masyarakat untuk menolak PLTP Gunung Gede. Pemuda lulusan sekolah dasar itu akif mengkampanyekan dampak buruk PLTP itu kepada para warga. Bagi Cece, Gunung Gede telah membawa banyak manfaat kepadanya, maka dari itu harus dijaga dari kerakusan manusia.
Baik Kholid dan Cece merupakan Nyai Ontosoroh baru. Walau jenjang pendidikan rendah, mereka mampu melawan kekuasaan yang menindas. Para intelektual organik itu sadar betul akan realitasnya yang penuh penindasan dan berupaya mengubahnya.
Namun, menjamurnya Nyai Ontosoroh baru disertai dengan meredupnya Minke baru. Para terpelajar yang telah menempuh pendidikan tinggi, malah acuh tak acuh terhadap permasalahan sosial yang ada. Merekalah yang disebut Gramsci sebagai intelektual tradisional.
Berkebalikan dengan intelektual organik, intelektual tradisional cenderung netral. Mereka umumnya kerap memisahkan diri dengan masyarakat, karena menganggap diri sebagai cendekiawan yang seharusnya terbebas dari berbagai kepentingan. Dengan demikian, intelektual tradisional tidak mempunyai kesadaran ataupun sikap untuk mengubah realitas sosial.
Kenetralan itu menyebabkan mereka hanya terbawa arus oleh segala sesuatu yang dominan. Dengan demikian, intelektual tradisional cenderung melestarikan ide ataupun nilai dominan dari penguasa. Maka, mereka harus berpikir seribu kali untuk mengkritik pemerintah.
Hari ini perampasan tanah rakyat makin menjamur, korupsi disepelekan, demokrasi dibegal elite, dan segala macam permasalahan sosial terjadi. Akan tetapi, sayup terdengar amarah dari kaum berpendidikan. Padahal, mereka lebih paham akan permasalahan sosial dibanding masyarakat lainnya. Bahkan, tidak jarang kaum berpendidikan malah melanggengkan penindasan.
Contohnya dapat dilihat dari kasus Shandy Marta Praja yang ramai dibicarakan baru-baru ini. Pemuda itu mengaku sebagai mahasiswa dan mengatakan, pagar laut di Tangerang adalah hasil swadaya warga. Shandy juga berdebat keras dengan Kholid yang menentang pemagaran laut. Dirinya seolah bermesraan erat dengan penguasa.
Kaum berpendidikan tinggi kebanyakan malah membeo kepada kekuasan yang menindas. Mereka sangat pragmatis dan eksklusif, sehingga tidak mau terjun langsung ke masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan sosial.
Baca juga: Identitas, Imajinasi, dan Strategi Front Rakyat Papua Melawan Kolonialisme
Musababnya, para mahasiswa tidak dididik menjadi intelektual organik. Malah sebaliknya, mereka dibentuk menjadi manusia individualis yang mengupayakan segala cara guna mendapat kekayaan. Tambah lagi, gempuran informasi lewat segudang media menanamkan nilai-nilai tersebut kepada mereka
Memudarnya Minke baru tak ayal membuat pergerakan mandeg. Sebab, dengan kelebihan dalam memproduksi dan mendapat informasi, hadirnya para kaum terdidik dapat menggerakan masyarakat lainnya untuk melakukan perubahan. Bahkan, mereka bisa membuat banyak orang juga menjadi intelektual organik.
Melengos ke masa lampau, kemerdekaan Indonesia dapat muncul oleh menjamurnya para kaum terdidik menjadi intelektual organik. Syarat dari perubahan radikal adalah perluasan penyadaran masyarakat atas realitas sosialnya. Maka, perlu intelektual organik sebanyak mungkin menjamur di tengah masyarakat.
Melawan adalah sehormat-hormatnya, diam adalah sekurang-kurangnya, dan menyuburkan penindasan adalah seburuk-buruknya.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Ezra Hanif
*. Tulisan ini adalah bagian dari Terbita Khusus Perayaan Hari Lahir Pram