Judul buku: Pemberontakan Nuku : persekutuan lintas budaya di Maluku-Papua sekitar 1780-1810
Penulis: Muridan Widjodjo
Penerbit: Komunitas Bambu, 2013
Jumlah halaman: 383
ISBN: 978-602-9402-31-5
60 tahun Yasinta Moewind benar-benar baru keluar dari tanah kelahirannya, Merauke, Papua. Pada tanggal 17 Oktober 2024, ia memutuskan pergi ke Jakarta, tepatnya dekat istana presiden, seberang Monumen Nasional (Monas). Perempuan yang akrab disapa Mama Sinta itu berasal dari suku Marind, Merauke.
Tidak untuk berlibur, Mama Sinta datang untuk berunjuk rasa, menolak proyek cetak sawah dan kebun tebu di tanah Papua. Proyek tersebut mengincar lahan seluas 1,18 juta hektare atau sama dengan 71 kali luas daerah Bandung. Sedangkan, perkebunan tebu untuk swasembada gula dan industri bioetanol di lahan seluas 1,11 juta hektare. Bersama massa aksi lainnya, dengan kepalan tangan terangkat dan lumpur putih di wajah, mama Sinta berorasi:
“Sudah kalian gusur hutan tempat cari makan kami, tempat-tempat sakral sudah digusur semua, kami punya tempat cari makan sudah tidak ada lagi, nanti kedepannya kami mau cari makan dimana lagi sudah tidak ada tempat,” tegasnya dengan nada tinggi.
Diwartakan dari media Tempo, gelombang penolakan ini mulanya membludak ketika mendengar proyek cetak sawah sampai ke tanah Wanam, Merauke, Papua. Pasalnya, Wanam merupakan bagian dari wilayah hutan adat suku Marind-Anim. Dalam kepercayaan mereka hutan digambarkan sebagai rahim ibu, tempat mendapatkan kehidupan untuk pertama kali.
Api menjalar, suku peranakan dari Marind-Anim berkumpul di Kampung Payum. Mereka bersepakat membuat Forum Masyarakat Adat Marind Kondo-Digul untuk menolak proyek cetak sawah. Beberapa perwakilan suku dari daerah tetangga Merauke, seperti Kabupaten Boven Digoel, Mappi, dan Asmat, juga bergabung.
Merebaknya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat adat membuat peran militer dan polisi menjadi niscaya. Mereka menjadi tukang pukul penguasa. Dengan dalih pembangunan ekonomi, moncong senjata terangkat kepada setiap kepala yang melawan. Sehingga, ekonomi negara dibangun dengan cara menggebuk para pemberontak.
Begitupun, bila memutar kembali ingatan kolektif bangsa ini, Belanda melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengumpulkan pundi-pundi uang melalui cara militeristik. Pemerintahan Belanda di Indonesia dibangun dengan pembantaian serta perampasan tanah pribumi.
Sebagaimana ketika VOC mengeluarkan regulasi Hongi pada 1625. Pelayaran Hongi merupakan pasukan armada VOC yang berlayar ke daerah penghasil cengkeh, pala, dan sagu. Tujuan pelayaran ini untuk memusnahkan komoditas asli pribumi. Ihwal dari perkara ini adalah ketakutan VOC terhadap penurunan harga rempah di pasar dunia. Tak jarang, armada berisikan tukang pukul itu membakar desa karena terdapat perlawanan.
Pelayaran Hongi menjadi pemantik kemarahan para pemberontak Papua dan pemilik modal di Maluku. Musababnya, rempah yang ditanam di luar wilayah monopoli VOC akan dimusnahkan. Dengan demikian, mereka kehilangan kendali atas tanah dan perdagangan.
Kemarahan masyarakat pribumi pada masa kolonial, khususnya daerah timur Indonesia dianalisis Muridan Widjojo melalui buku Pemberontakan Nuku. Ia membentangkan konteks sejarah periode jabatan Sultan Tidore 1797-1805, Nuku Muhammad Amiruddin sebagai pemimpin pemberontakan dengan mempersatukan budaya Halmahera-Merauke untuk mengusir penjajah Belanda.
Mitos sebagai Pemersatu Identitas
Dalam dinamika perkembangannya, mitos memiliki peran untuk membentuk identitas sebuah kelompok. Sebab, mitos memiliki ketertarikan dari sisi emosional dan berdampak mendalam terhadap kesadaran manusia. Seperti halnya, bangsa Papua membangun identitas kelompok mereka dengan legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut.
Awalnya, Pada 1521, nama Papua pertama kali disebut dalam perjalanan penjelajah Italia, Pigafetta. Ia menjelaskan Papua terdiri dari empat kerajaan besar yang masyhur, dikenal dengan wilayah Raja Ampat. Masing-masing kerajaan diperintah oleh empat raja: Salawati, Waigeo, Misool dan Waigama.
Baca juga: Dari Ruang Kuliah ke Galian Tambang
Dalam tulisannya, Pigafetta menggambarkan suasana kerajaan tersebut. Rumah-rumah berdiri di atas tiang tinggi di atas sungai. Penduduk di daerah pedalaman dan pegunungan memiliki kepercayaan lokal. Penduduk pedalaman menyatakan kesetiaan kepada orang yang tinggal di pesisir. Orang ini, para ketua–merupakan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir– beragama islam.
Melihat relasi sosial ini, Muridan mengidentifikasi musabab maraknya penganut agama islam di Papua. Dalam penjelasannya, hal itu berasal dari jalinan perdagangan lama dengan para pedagang Tidore, juga Keffing di Seram Timur. Tercatat dalam arsip Papua abad ke-18, perkumpulan Raja Ampat mengakui kekuasaan dan kewenangan sultan Tidore.
“Sebagai balasan untuk Sultan Tidore dan kehadiran fisik suratnya, mereka memberi penghormatan yang sama seperti yang dikhususkan untuk nama Allah dalam Al Qur’an,” (hlm 157).
Menurut legenda Papua, Raja Ampat sendiri dibentuk oleh seorang pahlawan, Sekfamneri. Ia memiliki harta karun di samping lokasi pemujaan dewa dan leluhur suku Wawiai.
Muridan menceritakan, Sekfamneri mendapatkan harta tersebut melalui berkelana ke tanah asing untuk merebut produk lokal dan mengganggu desa. Hasil penjarahan berupa tumbuhan, serta budak dari penduduk desa yang akan dijual ke pasar di Seram Timur, Maluku.
Penjarahan Sekfameri sampai di tanah Tidore. Saat itu, Tidore membutuhkan pasukan untuk berperang melawan armada Jailolo. Sultan Tidore berjanji akan menikahkan ia dengan putrinya, Boki Tabai jika berhasil menang.
Kemenangan menjemput, Sekfamneri melalui pernikahan itu mendapatkan hak politik dengan menjadi raja di Papua. Bentuknya adalah vasal dari kerajaan Tidore. Maksudnya, Ia akan mengelola urusan internal secara otonom namun tetap memiliki kewajiban membayar upeti kepada Tidore setiap angin muson timur tiba. Sedang, Tidore akan memberikan perlindungan militer dan politik terhadap rombongan Papua.
Sejarawan Australia, Chris Ballard, membedah legenda Sekfamneri. Mitos tersebut berusaha membangun identitas orang Papua agar tidak gampang tunduk secara ekonomi dan politik kepada daerah lain.
“Dengan memasuki istana dan bersujud di depan singgasana, orang Papua mengklaim bahwa mereka menyerap barak (berkah) yang terpancar dari Sultan. Bersama barang-barang yang diperoleh dan gelar Tidore yang diberikan kepada orang-orang Papua, para penjarah membawa kembali barak ini ke komunitas-komunitasnya,” (hlm 166).
Hubungan Papua-Tidore dapat dipandang sebagai dasar eksistensi dan pengakuan identitas masing-masing daerah. Oleh karena itu, identitas orang Papua terbangun melalui legenda-legenda aktivitas penjarahan.
Pemberontakan Menuju Maluku Merdeka
Berdasarkan pembangunan identitas di atas, Muridan melihat tradisi penjarahan membuat orang Papua memiliki kultur pemberontak. Hingga dalam konteks koloni, kultur ini diamini oleh masyarakatnya.
Pada mulanya, Belanda memecahkan hubungan Tidore-Papua melalui Pelayaran Hongi. Sebab, sultan sebelumnya, Jamaluddin dituding membantu dengan menyediakan bubuk mesiu bagi para pemberontak.
Sementara itu selain digagalkannya Sultan Tidore menjabat, VOC secara sepihak membebankan hutang kepada kerajaan. Mereka menyudutkan hutang itu merupakan kerugian yang diterima internal VOC atas penyerangan para vasal Tidore.
Memanfaatkan kejadian itu, VOC memaksa perubahan hubungan formal status mereka dengan Tidore melalui traktat yang ditandatangani tahun 1780. Dalam traktat, Kesultanan Tidore tidak lagi dideskripsikan sebagai bondgenoot atau sekutu VOC melainkan negara boneka.
“Traktat 1780 dapat dilihat sebagai akhir Tidore sebagai negara ‘Merdeka’,” (hlm 83).
Perubahan status Tidore memantik kemarahan putra Jamaluddin, Nuku. Ia mengumpulkan para pemberontak dari Raja Ampat, Gamrange, Gebe dan orang Seram Timur. Setelah penyerangan kepada Belanda terus menerus, mereka memutuskan untuk membuat front persatuan. Anggota Front berdaulat kepada Nuku sebagai Sultan Papua dan Seram tanpa kerajaan.
Baca juga: Diberhentikan Tidak Adil, Nelangsa Buruh Outsourcing UNJ
Di bawah bendera Nuku, pemberontak menyebarluaskan teror kepada daerah-daerah Belanda. Pada 1783, serangan dilakukan kepada benteng-benteng Belanda. Pasukan Nuku membunuh semua orang Eropa di wilayah Tidore termasuk komandan pasukan, serta 12 pengawal pribadi Sultan boneka Belanda kala itu, Patra Alam.
“Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Revolusi Tidore 1783, semua orang Tidore bersatu mendukung perjuangan Pangeran Nuku dan membantai para prajurit VOC di Tidore,” (hlm 93).
Nuku tidak ingin hanya melakukan pemberontakan, ia memimpikan sebuah negeri yang merdeka seperti Tidore pada semula. Oleh sebab itu, Nuku juga bekerja sama dengan Inggris untuk mengalahkan Belanda. Akhirnya, pada 1797 Tidore menuju kemerdekaannya. Ia bukan lagi negeri boneka, namun Tidore merdeka yang bersekutu dengan Inggris.
Setelah kemerdekaan direbut, pelayaran hongi berangsur-angsur diberhentikan. Perdagangan rempah pun dijual dengan harga rempah tinggi kepada Inggris.
Dengan besarnya gelombang perlawanan hari ini, perlu disadari Papua bukanlah entitas berbeda dari bangsa Indonesia. Tali kebudayaan telah mempersatukan mereka jauh sebelum Belanda datang.
Oleh sebabnya, strategi Nuku untuk membentuk Front Persatuan dapat dipertimbangkan lebih mendalam. Fungsi front menjadi penting untuk mengakomodasi kepentingan dari berbagai kelompok. Tujuan dibentuknya jelas, untuk menumbangkan aktor-aktor kapitalisme yang masih bersarang dalam tubuh pemerintahan kita saat ini.
Penulis: Anisa Inayatullah
Editor: Arneto Bayliss