Hanya ada satu kata, tolak geothermal! Namun agar wacama ini meluas, di berbagai macam desa Kabupaten Cianjur, AMGP dan GSK rutin mengagendakan diskusi publik dan pemutaran film.
Pada 14 April 2022, mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menyatakan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) untuk melaksanakan eksplorasi potensi panas bumi Gunung Gede Pangrango. Eksplorasi ini bertujuan untuk pembangunan Wellpad atau tapak pengeboran, akses masuk jalan berat, dan pembuatan gudang. Eksplorasi adalah tahap awal sebelum nanti DMGP akan mendapat Izin Panas Bumi (IPB) untuk melakukan eksploitasi dan pemanfaatan.
Kendati telah melakukannya, proyek ini masih mendapat banyak penolakan dari warga setempat. Terutama, 3 Desa yang paling dekat dengan titik pengeboran, Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya, Kabupaten Cianjur.
Baca juga: Identitas, Imajinasi, dan Strategi Front Rakyat Papua Melawan Kolonialisme
Untuk memperpanjang nafas perjuangan menolak pembangunan PLTP, 3 desa itu bersatu dalam Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP). Sementara di wilayah Pasir Cina, Cipendawa, masyarakat tergabung dalam Gerakan Surya Kencana (GSK). Mereka kerap melakukan pendidikan politik ke masyarakat terkait bahaya geothermal.
Cara tersebut dilakukan dengan melaksanakan agenda nonton bareng dan diskusi publik di Desa Maleber, Cianjur, Jawa Barat (08/01) di Madrasah Ibtidaiyah Al-Fajar. Film dan diskusi mengangkat tema dampak negatif geothermal hingga prediksi ketika PLTP telah dibangun di Gunung Gede Pangrango. Agenda tersebut dilakukan setiap satu minggu sekali.
Ketua Karang Taruna Desa Maleber, Syarifudin mengkhawatirkan proyek ini menghancurkan ekosistem Gunung Gede. Terlebih, banyak dari pemuda desa dirugikan dari segi ekonomi karena memiliki profesi sebagai petani. Sebab, jarak Maleber ke titik panas bumi hanya 3 KM.
Ia menjelaskan para petani sangat bergantung kepada ekosistem Gunung Gede Pangrango, khususnya air. Sedangkan, geothermal membutuhkan air 15-20 ribu liter/ menit. Baginya, pembangunan tersebut hanya akan membuat kering wilayah.
“Gunung Gede Pangrango adalah tanah leluhur kami dan harusnya tetap asri. Dengan masuknya pembangunan PLTP, ekosistem untuk keberlangsungan hidup dapat tercemar,” tegasnya.
Syarifudin berharap banyak kepada pemerintah Desa, seperti RT, RW, dan Kepala Desa (Kades) Maleber tegas menolak proyek ini. Menurutnya dengan pemerintah desa menolak, maka suara rakyat lebih bulat untuk mengusir segala tetek bengek geothermal.
Baca juga: Dari Ruang Kuliah ke Galian Tambang
Senada, Koordinator GSK, Aryo Primo menganggap minimnya sosialisasi tersebut sebagai tindakan kurang ajar. Sebab, pemasangan patok titik panas bumi di Ciguntur dilakukan tanpa surat yang jelas.
Aryo mengaku dari pihak AMGP dan GSK meminta perusahaan untuk memberikan informasi terkait dampak negatif geothermal. Bukan hanya secara lisan lewat audiensi dari sisi positif saja. Namun, warga harus diberi dokumen analisis mengenai dampak buruk proyek kepada ruang hidup.
Ia merasa sudah seharusnya Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berimbas luas kepada masyarakat dibicarakan bersama dengan warga terkait dokumen tersebut. Hal itu dikarenakan warga adalah pihak yang paling dirugikan jika proyek ini dilaksanakan.
“Perusahaan tolong punya adab. Sosialisasikan dokumen untuk menyediakan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) mengenai proyek ini,” pungkasnya.
Aryo menegaskan jika proyek ini akan tetap dilaksanakan. Hal tersebut akan berimbas pada perampasan hidup rakyat, merusak warisan luhur, hingga bentang air, dan meracuni warga. Ia merasa dampak-dampak barusan berusaha disembunyikan oleh PT DMGP.
“Jangan membuat masyarakat tertidur, tidak paham akan bahaya geothermal,” tutupnya.
Penulis: Annisa Inayatullah
Editor: Arrneto Bayliss Wibowo