Maraknya perampasan hak buruh perlu perhatian khusus dari pemerintah. Ditambah lagi, solidaritas buruh harus diperkuat.
Perampasan hak buruh masih kerap dijumpai dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Misalnya, absennya jaminan kesehatan ketenagakerjaan, jam kerja panjang, dan pemberian upah di bawah upah minimum regional (UMR). Selain itu, praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh masih terus terjadi.
Bila merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah buruh terkena PHK periode Januari sampai Desember 2023 terdapat 64.855 orang. Sementara itu, pada periode Januari sampai Agustus 2024 terdapat 46.240 orang. Jika ditotal, sepanjang periode Januari 2023 – Agustus 2024 terdapat 111.095 buruh yang terkena PHK.
Namun, pereduksian hak buruh juga mencangkup kebebasan dalam membentuk serikat di dalam perusahaan. Acap kali, buruh yang membentuk atau bergabung ke dalam serikat mendapatkan berbagai intimidasi seperti PHK sepihak oleh perusahaan.
Contohnya terjadi pada 30 Agustus 2024, 14 jurnalis Cable News Network (CNN) Indonesia yang tergabung ke dalam Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI), terkena PHK. Tambah lagi, organisasi pekerja tersebut dibubarkan sepihak oleh pihak perusahaan.
Bila ditelisik, SPCI didirikan untuk memperjuangkan hak pekerja CNN. Mereka menentang pemotongan upah sebesar 30 persen terhadap jurnalis CNN.
Baca juga: Dari Kompas ke CNN: Kontinuitas Pemberangusan Serikat Pekerja Media
Hal serupa juga terjadi pada Serikat Pekerja Pelabuhan Terminal Kendaraan Indonesia (SPPTKI). Serikat itu berisi buruh PT Indonesia Kendaraan Terminal (IKT) yang merupakan anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Anggota SPPTKI kerap mendapat intimidasi dari pihak perusahaan. Terlebih lagi, ketua dari serikat itu terkena PHK secara sepihak.
Pada Kamis (17/01), Tim Didaktika mewawancarai Ketua SPPTKI, Joko Laras Anjasmoro saat melakukan aksi demonstrasi memprotes pemecatan dirinya di Gedung Pelindo, Jakarta Utara. Joko mengungkapkan sebab-musabab dirinya terkena PHK dan anggota SPPTKI mengalami intimidasi dari pihak perusahaan.
Berawal pada tahun 2022, Joko dan pekerja SPPTKI lainnya memprotes Koperasi Jasa Pegawai Maritim (KOPEGMAR) —vendor outsourcing di PT IKT— karena diduga menggelapkan dana bantuan cuti dan bonus akhir kontrak buruh. Dana bantuan tersebut menjadi kesepakatan bersama antara buruh dengan KOPEGMAR ketika menandatangani surat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Lanjut Joko, pada 2 Mei 2023, buruh SPPTKI kemudian mengajukan gugatan kepada KOPEGMAR lewat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Walhasil, pada 30 Agustus 2023, buruh SPPTKI berhasil memenangkan gugatan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 107/Pdt.Sus-PHI/2023/PN Jkt.Pst.
“Pihak KOPEGMAR dihukum untuk membayar dana kompensasi kepada tujuh puluh penggugat senilai Rp2,4 miliar. Walaupun dalam praktiknya, baru dibayar separuh dari total kompensasi yang harus dibayarkan,” ucapnya dengan penuh kekecewaan.
Namun, bagi Joko, permasalahan tersebut bukanlah satu-satunya sebab mengapa dirinya terkena PHK sepihak dan buruh SPPTKI lainnya mendapat intimidasi dari pihak perusahaan. Misalnya, buruh SPPTKI kerap memprotes panjangnya jam kerja dan kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di PT IKT yang tidak layak.
Dampak dari itu, kata Joko, jamak buruh yang mengalami kelelahan bekerja dan jatuh sakit. Lebih parahnya, salah satu buruh SPPTKI meninggal dunia.
“Kondisi tempat bongkar muat kendaraan di pelabuhan sangat panas. Tidak ada tempat berteduh dan kami tidak diberikan air mineral oleh pihak perusahaan. Akhirnya, banyak kawan-kawan buruh yang kelelahan dan jatuh sakit,” pungkasnya.
Baca juga: Perintah Gaib Kerahkan Tentara Gusur Paksa Kampung Tongkol Dalam
Lebih lanjut, Joko juga mengungkapkan perjuangan buruh SPPTKI yang menuntut kepastian hubungan kerja dan pengangkatan tenaga kerja tetap di PT IKT. Sebab menurutnya, terdapat 346 buruh yang telah bekerja lebih dari lima sampai tiga belas tahun, tetapi masih berstatus tenaga kerja kontrak.
Joko menjelaskan, dari serangkai perjuangan buruh tersebut, pihak PT IKT merasa terganggu dengan kehadiran SPPTKI. Walhasil, PT IKT melakukan PHK sepihak terhadapnya dan mengintimidasi anggota SPPTKI dengan pemotongan upah. Selain itu, baginya, pihak PT IKT melakukan praktik pemberangusan serikat buruh atau union busting.
“Kami menduga, ini merupakan upaya-upaya dari manajemen PT IKT untuk melemahkan perjuangan. Kami berharap agar praktik penindasan buruh jangan sampai terjadi lagi,” sebutnya.
Menanggapi kasus di atas, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSPBI), Sri Rahmati, menyayangkan terjadinya kasus perampasan hak-hak buruh di PT IKT. Perempuan yang kerap dipanggil Rahma itu, menyoroti perihal kasus panjangnya jam kerja, K3 yang tidak manusiawi, praktik union busting, hingga PHK terhadap Joko Laras oleh pihak PT IKT.
PT IKT, kata Rahma, tidak seharusnya melakukan hal yang mereduksi hak-hak buruh. Apalagi, PT IKT merupakan anak perusahaan Pelindo yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rahma memandang, PT IKT sebagai anak perusahaan BUMN seharusnya menjamin dan melindungi hak-hak buruh agar tidak hilang.
“PT. IKT sebagai anak perusahaan Pelindo seharusnya tidak melakukan hal yang mereduksi hak-hak buruh,” ujarnya saat diwawancarai Tim Didaktika pada Kamis (17/1).
Informasi terbaru, PHK Joko Laras Anjasmoro dibatalkan oleh pihak PT IKT. Hal itu terjadi setelah Joko dan buruh SPPTKI lainnya melakukan unjuk rasa di depan Gedung Pelindo.
Cadangan Tenaga Kerja dan Minimnya Daya Tawar Buruh
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, sebanyak 7,47 juta rakyat Indonesia tidak memiliki pekerjaan. Data tersebut menunjukan cadangan tenaga kerja di Indonesia sangat berlimpah.
Tak ayal, menurut Muhtar Habibi dalam bukunya Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, melimpahnya cadangan pekerja (surplus populasi relatif) di Indonesia membuat lemahnya daya tawar buruh untuk menuntut dan melindungi hak-haknya. Pemilik modal pun dapat dengan mudah memberi PHK terhadap buruh yang memprotes kebijakan perusahaan.
Padahal, kebebasan berserikat telah dijamin lewat Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28E UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Berkelindan dengan itu, UU Nomor 21 Tahun 2000 juga menjamin kebebasan berserikat bagi buruh.
Memandang permasalahan di atas, Rahma menyoroti perlunya perhatian khusus dari Pemerintah dan Kementerian Ketenagakerjaan. Menurutnya, negara harus melakukan pengawasan ketat terhadap jalannya regulasi yang menyangkut perlindungan ketenagakerjaan.
Baca juga: Tali Simpul Kerentanan Pekerja Informal: Sebuah Catatan dari Kapitalisme Pinggiran
Rahma menyinggung perihal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024. Putusan itu menyatakan 21 Pasal di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja inkonstitusional dan wajib diubah. Di antara 21 Pasal tersebut menyinggung perihal batasan waktu tenaga kerja kontrak hingga ketentuan upah yang perlu memenuhi kebutuhan hidup layak.
Namun, pasca putusan MK tersebut dikeluarkan, Rahma melihat masih jamak terjadi pelanggaran hak buruh. Oleh karena itu, ia berharap agar pemerintah dapat menindak tegas perusahaan yang terbukti melanggar dan merampas hak-hak buruh.
Selain itu, tambah Rahma, buruh perlu bersatu agar memiliki kekuatan untuk melawan kebijakan yang mereduksi hak buruh. Dengan begitu, pihak perusahaan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan buruh.
“Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak ada lagi hak-hak buruh yang dirampas,” tutupnya.
Reporter/penulis: Lalu Adam Farhan Alwi
Editor: Andreas Handy Hakiki