Judul buku: “Surplus Pekerja Di Kapitalisme Pinggiran”

Penulis: Muchtar Habibi 

Penerbit: Marjin Kiri

Jumlah halaman: 142 hlm

ISBN: 978-979-1260-61-9

Satu waktu, penulis pernah berbincang dengan seorang teman berstatus sebagai pengemudi ojek online. Ia mengaku dalam sehari harus bekerja selama belasan jam untuk mencapai target harian, guna mengantongi uang sedikit lebih banyak. Lain waktu, penulis berbincang dengan salah satu pekerja kafe di Jakarta yang mesti bekerja 10 jam dalam sehari dengan gaji hanya setengah dari ketentuan upah minimum regional (UMR).

Iklan

Jika dipikirkan, kedua pekerja di atas tidak mendapat penghasilan cukup meskipun telah bekerja melebihi ambang batas ideal delapan jam sehari, mengapa hal ini bisa terjadi? Apalagi keduanya hidup di kota metropolitan, yaitu Jakarta yang memiliki biaya hidup sangat tinggi dibanding dengan daerah-daerah lain.

Bila ditelaah secara kritis, kedua pekerja tersebut merupakan pekerja informal tanpa pengaturan hubungan kerja resmi dan jaminan sosial dari tempatnya bekerja. Hal ini jelas berbeda dengan pekerja lain dengan status kontrak kerja formal sesuai peraturan perundang-undangan. 

Ketiadaan kontrak kerja resmi dan minimnya perlindungan hukum membuat kedua pekerja informal itu kerap kali diabaikan hak-haknya sebagai pekerja. Tak ayal, pekerja informal mendapatkan upah murah, jam kerja panjang, peniadaan jaminan sosial, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan aturan cuti. 

Di Indonesia sendiri, pekerja informal mendominasi jumlah keseluruhan dari angkatan kerja yang terserap ke sektor industri. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 dari 139,85 juta orang pekerja, sebanyak 83,34 juta orang atau 60,12 persennya bekerja di sektor informal. Sedangkan, hanya 55,29 juta orang atau sebesar 39,88% pekerja yang bekerja di sektor formal.

Baca juga: Menuju Negara Leviathan dalam Selubung Demokrasi: Wacana Penambahan Kodam dan RUU Penyiaran

Syahdan, fenomena pekerja informal berusaha ditelisik secara komprehensif oleh Muhtar Habibie dalam bukunya “Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran”. Dalam bukunya ia mencoba menjelaskan mengapa Indonesia sebagai negara kapitalisme pinggiran cenderung menyerap angkatan kerjanya ke sektor informal. Selain itu, terdapat pula analisis alur historis dari dampak melimpahnya angkatan kerja di Indonesia. 

Kapitalisme Pinggiran dan Terbentuknya Surplus Pekerja

Kapitalisme pinggiran merupakan fenomena di mana negara berkembang – seperti Indonesia – dijadikan wilayah ekspansi bisnis oleh negara maju untuk memperoleh akumulasi kapital. Kerentanan ekonomi negara-negara pinggiran ini menimbulkan ketergantungan ke negara-negara industri maju dalam rantai perdagangan dunia. Hal ini menjadi celah eksploitasi sumber daya alam atau manusia yang dilakukan negara maju ke negara pinggiran. 

Dari kacamata Muhtar Habibi, awal mula ekspansi bisnis negara adidaya ke Indonesia terjadi saat anak perusahaan America Freeport-McMoRan, yakni PT. Freeport Indonesia yang mendapatkan izin tambang dari Presiden Soeharto pada tahun 1967. Izin tersebut diberikan, tiga bulan setelah pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA).

Pada awal 80an, tepatnya ketika berakhirnya masa oil boom, Soeharto membuka keran investasi asing berskala besar untuk menopang perekonomian negara lantaran berjalannya rencana pembangunan lima tahun yang memerlukan biaya besar. Hingga terbitnya PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU) yang secara eksplisit memberikan karpet merah terhadap investasi di sektor perkebunan komoditas.

Iklan

Rezim Orde Baru dalam strateginya menarik investasi asing berperan sebagai fasilitator yang bertugas menyediakan lahan untuk sarana produksi investasi asing. Proses penyediaan lahan  biasanya dilakukan dengan cara merampas tanah petani maupun masyarakat adat. Akibatnya, proses proletarisasi berjalan sehingga menyebabkan orang-orang yang kehilangan tanah beralih untuk menjajakan tenaganya di pasar kerja. 

Alhasil, akibat masifnya proses proletarisasi menghasilkan cadangan tenaga kerja melimpah atau surplus populasi relatif di Indonesia.Maka, jamak masyarakat yang beralih ke sektor inti produksi kapitalis, seperti pabrik di perkotaan. Selain itu, tak sedikit pula yang beralih pekerjaan ke sektor informal, seperti pedagang asongan. 

“…. pada dasarnya bahwa surplus populasi relatif ialah dampak sekaligus kondisi yang diperlukan bagi akumulasi kapital”. (hlm.10) 

Pada konteks hari ini, melimpahnya surplus populasi relatif membuat terpuruknya kesejahteraan pekerja di Indonesia. Sebagai gambaran, per Agustus 2023 saja, terdapat 7,86 juta pengangguran. Lewat mekanisme pasar tenaga kerja monopsoni –ketika serapan tenaga kerja untuk industri tidak berekuivalen dengan jumlah tenaga kerja yang ada– membuat pelaku bisnis mudah untuk memanipulasi hak dan kewajibannya terhadap pekerja.

Baca juga: Di Balik Krisis Hunian: Lahan Dikuasai, Rakyat Tergusur

Dengan demikian, pemilik industri memiliki kekuatan nyata dan sesuka hati untuk menentukan jam kerja, pengupahan, jaminan sosial, dll. Akibatnya, eksploitasi tenaga kerja semakin marak terjadi. Sebagai contoh, mengutip BPS, pada 2023 rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya sebesar 2,94 juta rupiah. Sedangkan pekerja yang bekerja lebih dari 49 jam sebesar 25, 14% .

Lebih dari itu, melimpahnya cadangan tenaga kerja membuat pekerja semakin kehilangan daya tawar. Misalnya, sebanyak 249 tenaga kesehatan di Kabupaten Manggarai, NTT, dipecat lantaran melakukan demonstrasi menuntut pembayaran upah dan pengangkatan menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Fenomena kerentanan pekerja informal khususnya, membawa dampak buruk bagi keberlanjutan pembangunan sumber daya manusia berkualitas di Indonesia. Itu semua disebabkan oleh kecenderungan negara sebagai kaki tangan para pebisnis di bawah pengaruh neoliberalisme. 

Neoliberalisme mencoba mengebiri peran negara di dalam pengaturan ekonomi-politik nasional dan memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pemilik modal. Tak ayal, masyarakat kelas menengah-bawah cenderung tidak dapat meningkatkan kondisi perekonomiannya. Bahkan terjebak di garis kemiskinan ekstrem. 

Buku ini menarik untuk dibaca bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan menganalisis kondisi pekerja kontemporer. Lewat rentetan historis yang komprehensif dan analisis yang mendalam ihwal ketertindasan pekerja informal. 

Namun, rasanya narasi yang dipakai di dalam buku ini sukar untuk dipahami. Masih banyak kalimat tidak baku dan kurangnya penggunaan tanda baca koma. Selain itu, buku ini tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai cara manipulatif apa yang digunakan saat merebut tanah masyarakat. Patronase Soeharto dalam memengaruhi politik-ekonomi  dan keterlibatan elit tentara dalam pusaran bisnis masih kurang dijelaskan secara mendalam. 

Dengan demikian, pembaca mestilah mempunyai landasan pemahaman mengenai pekerja dan sistem ekonomi-politik, baik secara historis maupun pada konteks saat ini sebelum membaca buku ini. Bagaimanapun, dengan membaca, khususnya buku ini, dapat membuka cakrawala pengetahuan kita ihwal kerentanan pekerja di Indonesia. 

Penulis: Lalu Adam. F. A

Editor: Mukhtar Abdullah