Meski Surat Edaran telah dicabut, perjuangan belum kandas. Ini menandakan kita perlu terus mengupayakan demokratisasi akademik.
Saat keadaan peperangan, senjata menjadi alat paling lumrah digunakan oleh kelompok yang terlibat. Namun senjata tidak hanya berbentuk keras dan langsung melumpuhkan musuh dalam sekejap. Senjata juga bisa hadir dalam wujud yang halus, membinasakan secara perlahan.
Sebagai perumpamaan senjata yang berbentuk keras, dapat ditemui dalam lintasan sejarah pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Pada 10 November 1945 di Surabaya, pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menggunakan senjata bambu runcing. Peristiwa ini menjadi cerita paling kondang diingat karena heroisme pejuang bangsa kita melawan sekutu kolonial dengan seadanya.
Sementara di sisi lain, senjata berbentuk halus boleh jadi berbentuk aturan hitam di atas putih, alias hukum. Kelahiran hukum secara konseptual adalah sebagai alat kontrol agar masyarakat terhindar dari perbuatan yang merugikan satu sama lain. Dengan kata lain, hukum mengikat dengan paksaan, hingga melumpuhkan kebebasan yang liar dan tak bertanggung jawab, baik dalam konsekuensi pidana atau pengucilan moral.
Namun, hukum tidak melulu diilhami kesepakatan mengikatnya oleh masyarakat. Alih-alih menjadi senjata yang menertibkan, hukum malah menjadi bumerang yang menyerang balik. Hukum menciptakan ketidaksepakatan yang begitu besar.
Kiwari, jagat dunia akademis harus kembali meneteskan air matanya kembali. Situasi berkabung ini dikarenakan tindakan represifitas yang dilakukan oleh pihak birokrat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar terhadap 31 mahasiswanya.
Disinyalir, 31 mahasiswa itu mendapatkan skors dalam temporal waktu satu sampai dua semester. Sebabnya, mereka melakukan aksi demonstrasi menentang kelahiran Surat Edaran (SE) Nomor 259 Tahun 2024 yang dinilai membatasi kebebasan akademik.
UIN Alauddin Makassar tidak sendiri, kejadian serupa terjadi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Di sana terbit SE Nomor: 41/UN40.RI/PK.00.02/2024 pada (09/07/2024). Isi dari surat ini ada empat poin yang mengatur Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKAKU).
Empat poin itu dinilai bermasalah oleh mahasiswa UPI Bandung karena disinyalir menghambat kebebasan ekspresi dalam tataran akademik. Terkhusus pada mahasiswa yang masuk ke dalam Organisasi Mahasiswa (ORMAWA), SE ini merugikan mereka karena menghambat pengenalan eksistensi organisasi. Maka dari itu, banyak yang mengecam tindakan pihak pembuat SE tersebut di UPI Bandung.
Bagai seseorang yang takut ketinggalan kereta, UNJ juga melakukan hal yang persis dilakukan UIN Alauddin dan UPI Bandung. Pada Senin (23/09), UNJ memberlakukan SE yang mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa. Adapun peraturan itu tertuang dalam SE Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Mahasiswa di Luar Ruangan dan Menggunakan Pengeras Suara di Area Kampus.
Sumber: Surat Edaran Nomor 25 Tahun 2024
Jika menilik bagian awal SE ini, motif yang diinterpretasikan oleh si pembuat adalah untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan. Maka dari itu, perlu pengaturan mendetail ketika mahasiswa UNJ ingin melaksanakan kegiatan di luar ruangan dengan menggunakan pengeras suara. Akan tetapi dengan diterbitkannya SE ini, kembali pada konteks yang mengharuskan adanya penggunaan senjata, apakah dari pihak birokrat memandang situasi kampus sedang perang?
Isi
Untuk membongkar isi dari SE Nomor 25 Tahun 2024, dibutuhkan metode pembedahan interpretasi dari teks menuju ke sebuah motif sebenarnya peraturan itu. Hal tersebut bisa dilakukan dengan disiplin keilmuan hermeneutika. Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuien yang berarti “menginterpretasikan.” Secara praktik, tulisan ini akan membedah SE dari isi, kemudian realitas yang membidani terbentuknya teks.
Pembedahan dimulai dari pengantar, SE ini dilandasi oleh motif penjagaan dan ketertiban. Beranjak ke isi, pada poin 1 dan 2 diklasifikasikan sebagai motif pendapatan izin atau pendampingan. Kemudian, pada poin 3, motif digolongkan pelaporan. Selanjutnya, pada poin 4, 5, 6, dan 7 termasuk ke motif koordinasi. Lebih lanjut, poin 8, memiliki motif persetujuan. Terakhir, poin 9 dan 10, digolongkan pada motif pembatasan.
Pada bagian penutup, motif dilaksanakan dan dilakukan secara tanggung jawab menjadi seruan dasar peraturan ini. Total, ada 7 motif yang berusaha disampaikan pihak pembuat terhadap mahasiswa.
Dari seuntai motif ini, dapat disimpulkan bahwa dari lahirnya SE, terdapat pembakuan nilai-nilai dalam moral ketika berkegiatan akademik UNJ. Masalahnya, dari ke-7 motif ini, penyampaian yang bernilai ambiguitas malah menjadikan SE tersebut liar untuk ditafsirkan.
Motif larangan, terkhusus merokok, menyasar pada konteks yang bagaimana? Apakah UNJ memiliki batas area merokok di luar ruangan? Atau tidak boleh merokok di keseluruhan area UNJ?
Lanjut, motif koordinasi. Terkhusus poin 7 yang menggunakan kata “pada massa dalam jumlah besar,” seberapa banyak? Besar, banyak, sedikit, kecil, dan kata-kata lain yang menunjukan keterukuran, memiliki dasar sifat sangat relatif. Alhasil, poin ini menjadi sangat karet karena persepsinya sangat subjektif.
Baca juga: Kampus Semakin Mengekang, Puluhan Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Diskors Usai Berdemonstrasi
Ada pula dalam bahasan yang sama, kata-kata lanjutannya adalah wajib koordinasi dengan kepolisian. Menurut Pasal 10 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aturan pelaporan tidak berlaku di dalam kampus ketika kegiatan ilmiah sedang berlangsung. Dalam studi kasus demonstrasi, bukankah hal tersebut merupakan aktivitas politik yang didasari dan disusun oleh diskursus ilmiah
Kemudian, motif pembatasan. Pada poin 9, kegiatan dibatasi hanya sampai jam 20.00 WIB. Deliknya adalah tidak mengganggu lingkungan area kampus. Perihal jam, bukankah di poin yang berkaitan dengan koordinasi malah menimbulkan kontradiksi. Koordinasi didasari oleh kesepakatan beberapa pihak atau konsensus, semisal antara mahasiswa dengan ketua RT/RW. Maka selagi tidak merugikan satu sama lain, tidak menjadi masalah bukan, acara selesai di atas jam 20.00 WIB?
Kemudian sisanya, motif pendampingan, perizinan, hingga pelaporan sudah merupakan bagian jantung yang selalu berdetak di dalam organisasi di bawah legalitas kampus. Lewat program kerja yang mendapatkan persetujuan dari pihak tingkatan fakultas sampai universitas sudah menjadi bukti jika pelaksanaan telah dilakukan. Lantas, apa lagi?
Realitas
Dari keluarnya 3 SE di UPI Bandung, UIN Alauddin Makassar, dan UNJ, terdapat satu kesamaan dalam memahami realitas akademik. Pihak kampus ingin menciptakan stabilitas politik, sehingga tidak ada angin kencang dari mahasiswa yang mengganggu. Namun, masalahnya ke mana stabilitas politik ini ingin dibawa?
Sebelum stabilitas politik disusun, ada tujuan yang melandasi stratak pengkondisian lingkup masyarakat ini. Semisal dalam era Orde Baru, stabilitas politik menjadi haluan negara untuk memuluskan perjalanan pembangunan lewat REPELITA 1 s.d 6. Kata lainnya, stabilitas politik hanyalah sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan dengan memperhatikan batas-batas tertentu yang ditentukan oleh kekuasaan.
Kembali ke dalam konteks UNJ, boleh jadi terdapat sebuah tujuan yang sedang dibangun dalam skala besar. Dapat dilihat dari turunnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2024 Tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang mencatut nama UNJ.
Baik dalam ranah keuangan, akademik, dan infrastruktur, UNJ berusaha menjajalnya secara mandiri. Pengusungan kemandirian yang dicoba oleh PTN-BH ini diharuskan memiliki satu otorita tertinggi, bernama Majelis Wali Amanat (MWA). MWA ini jika meninjau PP Nomor 31 Tahun 2024, memiliki tupoksi menyusun, merumuskan, menetapkan kebijakan, memberikan pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum, dan melaksanakan pengawasan di bidang non-akademik.
MWA memiliki peran vital, terutama dalam perumusan rencana jangka panjang, strategis, kerja, dan tahunan. Masalahnya, tidak ada desas-desus apapun mengenai pembentukan MWA yang sampai ke telinga mahasiswa hingga hari ini.
Pasca diturunkannya PP Nomor 31 Tahun 2024, sepatutnya MWA telah dibentuk, mengingat pembenahan transisi UNJ menjadi PTN-BH bukanlah sesuatu yang mudah. Belum lagi menyoal ranah akademik yang tampaknya juga sama seperti MWA. Desas-desus rumusan kebijakannya oleh Senat Akademik tidak sampai ke telinga mahasiswa. Seolah memang kampus ini mengejar status PTN-BH secara simbolik saja, tapi kosong maknanya.
Dengan dikeluarkannya rumusan kebijakan, baik dari MWA atau Senat Akademik, kita dapat melihat dahulu tujuan UNJ yang baru menjadi PTN-BH ingin menjadi seperti apa. Jika stabilitas politik yang berusaha dibangun tapi kosong manifestasinya. Bukankah hanya menimbulkan secara vulgar kondisi politik UNJ yang tidak tahu arahnya ingin ke mana?
Dicabut
SE yang tadinya digadang-gadang sebagai alat kontrol sosial mahasiswa di UNJ agar tidak menimbulkan gejolak telah dicabut. Hanya berselang 4 hari dari pembentukan, SE Nomor 26 Tahun 2024 muncul dengan menggantikan SE sebelumnya. Dengan kata lain dicabut.
Pasca SE dicabut, rasa-rasanya memang hal itu menjadi kemenangan kecil di dalam riak samudera masalah di kampus. Ini adalah celah untuk lebih membangkitkan gairah. Terkhusus demokratisasi di bidang akademik.
Jika memandang dengan dicabutnya SE ini proses demokrasi telah diimani betul oleh si pembuat kebijakan, hal tersebut adalah kesalahan. Meminjam pandangan seorang pedagog aliran kritis Kanada, Henry Armand Giroux, demokrasi di ranah akademik adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Menurutnya, memandang demokrasi sebagai hasil dari sebuah upaya, adalah kesia-siaan. Dengan kata lain, demokrasi yang dijalankan UNJ adalah kesalahan karena praktiknya tidak mengekang kebebasan akademik lewat SE.
Baca juga: Rektor Menyumbat Proses Keadilan: Cacat Prosedural Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual di UNJ
Dalam jurnal yang ditulis oleh dirinya dengan judul Critical Pedagogy and the Postmodern/Modern Divide: Towards a Pedagogy of Author Democratization, ia memantapkan pandangannya tersebut. Diskursus yang ingin dia bawa mengenai demokratisasi akademik menekankan pada pentingnya upaya atau proses. Menurut Giroux, proses demokratisasi di perguruan tinggi perlu dilandasi oleh isu atau masalah kontekstual yang berakar pada capaian keinginan sivitas akademika.
Ada pula teori Giroux mengenai pedagogi kritis membahas juga pentingnya upaya refleksi dalam merumuskan gerakan sosial. Berkaca pada dicabutnya SE, ini adalah momentum reflektif. Keinginan kita sehari-hari, mengimpikan satu kebebasan akademik perlu menjadi langkah perjuangan yang perlu diteruskan dan dirawat nafas panjangnya.
Penulis: Arrneto Byliss Wibowo
Editor: Andreas Handy