Sumber ilustrasi: Google
Hampir setahun, penyelesaian kasus kekerasan seksual di UNJ tidak kunjung selesai imbas rektor tak kunjung keluarkan SK.
Kekerasan seksual kembali terjadi di lingkungan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) menjadi korban kekerasan seksual pada April 2023 lalu. Terduga pelakunya merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) berinisial SS. Korban dan terduga pelaku merupakan rekan satu organisasi Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) UNJ.
Korban kekerasan seksual, berinisial AS, menceritakan kejadian tidak mengenakan yang menimpanya tersebut. Insiden itu terjadi di lingkungan kampus. Pertama, terjadi di sekretariat organisasi dan yang kedua di aula salah satu gedung di UNJ. Adapun pelecehan seksual yang dilakukan terduga pelaku berupa fisik, di mana terduga pelaku mencium kening korban tanpa ada persetujuan.
Setelah berbulan-bulan hidup dengan ketakutan dan trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya, korban pun memberanikan diri melapor pada hotline Satuan Tugas Pencegahan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UNJ pada 02 November 2023 dengan harapan terduga pelaku bisa mendapatkan sanksi. Setelah enam hari berselang, korban pun dipanggil untuk ditanyai perihal kronologi dan pendampingan oleh Satgas PPKS UNJ pada 08 Agustus 2023.
“Aku baru berani melapor pada bulan November 2023. Itupun setelah banyak pertimbangan dan ngerasa tertekan juga mengingat terduga pelaku masih bebas berkeliaran. Setelahnya, Satgas PPKS banyak meminta keterangan, dan melakukan pemanggilan kepada terduga pelaku dan juga aku,” ungkapnya kepada Didaktika.
“Sampai bulan Januari, aku dapat kabar kalau Satgas PPKS udah merekomendasikan sanksi berupa skorsing dan tinggal diajukan ke rektorat. Aku seneng banget karena dijanjikan surat keputusan (SK) berupa sanksi terhadap terduga pelaku, dan tinggal menunggu SK itu keluar,” sambung AS.
Korban harus menghadapi kenyataan pahit karena SK sanksi yang dijanjikan Satgas PPKS UNJ tak kunjung keluar, meskipun nyaris setahun berlalu. Padahal, prosesnya hanya tinggal menunggu rektor untuk mengeluarkan SK.
AS sempat ingin menyerah untuk memperjuangkan keadilan akan kasusnya. Keinginan menyerah itu muncul sebelum dirinya melakukan pemberkasan kelulusan. Namun, SK sanksi tersebut tak kunjung keluar meskipun ia telah diwisuda pada 18 September 2024.
“Perasaan trauma itu bikin aku gak tenang kalau mengingat SK sanksi kepada terduga pelaku belum keluar. Apalagi terduga pelaku masih bisa bekerja dan menjalani hidupnya dengan normal. Tanpa catatan dan bukti tertulis pernah melakukan KS,” lanjutnya.
Bagi AS, SK sanksi terhadap terduga pelaku merupakan hal yang penting untuk pembuktian perjuangannya mengungkapkan kasus kekerasan seksual. AS juga merasa tertekan ketika melakukan konseling kepada Unit Pelaksana Teknis-Layanan Bimbingan Konseling (UPT-LBK) UNJ, dan dianjurkan untuk merelakan SK agar tidak menjadi beban untuk hidupnya ke depan. “Aku harus hidup dengan trauma dan ketakutan seumur hidup, dan malah disuruh untuk merelakan kasusnya gitu aja,” ungkap korban sambil menangis.
Hingga berita ini diterbitkan, AS masih gigih untuk memperjuangkan haknya sebagai korban untuk mendapatkan SK atas terduga pelaku. Ia masih menghubungi Satgas PPKS UNJ untuk mendapatkan informasi terbaru akan kasusnya. Ia ingin kasusnya jelas terselesaikan tanpa meninggalkan beban ketika melanjutkan hidup.
Tim Didaktika mencoba menghubungi terduga terduga pelaku yaitu SS untuk meminta keterangan via telepon. Namun, SS beralasan sedang di luar kota dan tidak bisa ditemui. “Memang apa yang mau dibahas dan untuk apa lagi wawancara? Kalau sekarang sedang sibuk, jadi tidak bisa,” balas SS lewat WhatsApp.
Setelah itu, wawancara disepakati akan dilakukan dengan pesan via WhatsApp. SS mengatakan bahwa ia akan menjawab pertanyaan yang diajukan jika memiliki waktu luang. Akhirnya, pertanyaan dikirimkan pada Minggu, 22 September 2024.
Sumber: pesan WhatsApp dengan SS
Pesan yang dikirimkan tidak kunjung dibalas oleh SS, meskipun sudah diingatkan setiap hari. Selain dengan pesan, pada Rabu 25 Oktober dan Kamis 26 Oktober, dilakukan panggilan WhatsApp kepada SS. Namun, kedua panggilan tersebut tidak diangkat dan pesan yang dikirimkan sampai berita ini diterbitkan tidak kunjung dibalas.
Sumber: pesan WhatsApp dengan SS
Ketidakberdayaan Satgas PPKS
Tidak berselang lama setelah korban melapor kepada Satgas PPKS UNJ pada bulan November 2023, korban secara tidak sengaja bertemu terduga pelaku di sekitar lingkungan kampus. Pertemuan tersebut memicu trauma yang dialami korban, sehingga ia memilih mengunjungi Satgas PPKS untuk meminta perlindungan. Naas, saat itu sekretariat Satgas PPKS kosong karena sedang melakukan studi banding keluar kota.
Bulan Januari 2024, korban meminta kabar terbaru dari kasus dan SK sanksi terduga pelaku. Satgas PPKS mengatakan bahwa sudah diajukan rekomendasi sanksi kepada rektor, dan tinggal menunggu rapat diadakan untuk selanjutnya rektor mengeluarkan SK.
Dua bulan berlalu dan SK tidak kunjung keluar. Korban terus meminta kabar terbaru namun Satgas PPKS selalu beralasan masih menunggu keputusan rektor. Pada pertengahan Maret 2024, Didaktika mewawancarai Satgas PPKS guna mencari informasi terbaru terkait SK sanksi terduga pelaku.
Ketua Satgas PPKS UNJ, Dr. Ikhlasiah Dalimoenthe menyebut, bahwa pada 19 Maret 2024, telah dilaksanakan rapat pleno untuk membahas kelanjutan kasus dan tinggal menunggu rektor mengeluarkan SK. Lamanya jangka waktu antara surat rekomendasi dan rapat pleno karena banyaknya hari libur pada Januari sampai Maret. Alhasil, kata ia, perlu menyesuaikan waktu dengan wakil rektor, dekan fakultas, hingga pihak-pihak yang menghadiri rapat.
“Kami sudah melakukan rapat pleno bersama bapak rektor, dekan fakultas, satuan kerja serta terduga pelaku. Hal ini memang tidak bisa diselesaikan secara cepat, namun kami terus melakukan follow up agar cepat terselesaikan dan SK-nya segera terbit,” ucap Ika pada (20/03).
Baca juga: Investigasi Belum Selesai, Dosen DA Kembali Mengajar
Ika juga menegaskan bahwa wewenang Satgas PPKS hanya sebatas merekomendasikan sanksi terhadap terduga pelaku kepada pimpinan universitas untuk dirapatkan. Perihal SK atas terduga pelaku yang tak kunjung keluar, hal tersebut di luar kewenangan Satgas PPKS.
Selain itu, Ika juga mengatakan, SK atas terduga pelaku akan turut diserahkan kepada Wakil Dekan III FIS untuk diterbitkan. Ika sampai melakukan panggilan kepada Abdul Haris selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial untuk menyerahkan mandat dan mendesak keluarnya SK.
“Bapak Haris, ini ada anak Didaktika bertanya tentang kelanjutan SK sanksi atas terduga pelaku, tolong segera ditindaklanjuti ya, Pak,” tegas Ika melalui sambungan telepon kepada Abdul Haris pada (20/03).
Sampai pada bulan Mei, belum ada kabar terbaru atas progres dan SK sanksi. Menurut keterangan, AS sudah mulai lelah menanyakan kabar tentang kasusnya kepada Satgas PPKS. Sebab, jawaban yang didapat selalu sama, yaitu menunggu SK keluar dan sedang diproses.
Akhirnya, Tim Didaktika kembali mewawancarai Satgas PPKS pada 28 Mei 2024. Ika ditemani anggota Satgas PPKS UNJ menyatakan, bahwa SK tidak bisa dikeluarkan kepada khalayak umum. Akhirnya, pihak Satgas PPKS UNJ hanya mengarahkan Tim Didaktika serta korban untuk bersabar akan SK yang tidak kunjung keluar.
Setelah kunjungan itu, Tim Didaktika kembali mengirimkan surat wawancara kepada Satgas PPKS UNJ untuk meminta kabar terbaru. Surat permohonan wawancara sudah dikirim pada 06 Agustus melalui whatsapp, namun Satgas PPKS enggan diwawancarai. Esok harinya, Tim Didaktika kembali menghubungi Ika untuk meminta permohonan wawancara, namun tidak ada balasan.
Sumber: pesan WhatsApp dengan Ika
Berselang dua minggu, Tim Didaktika mencoba kembali menghubungi Ika melalui pesan dan panggilan WhatsApp pada Rabu, 25 Oktober, namun tidak ada balasan. Pada Kamis, 26 Oktober, Satgas PPKS UNJ mengadakan diskusi publik yang bertempat di Plaza UNJ dengan tema “Kupas Tuntas Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekitar”. Ketika ditemui setelah kegiatan diskusi, Ika menolak menjawab pertanyaan dari Tim Didaktika dan tidak memberikan keterangan apapun.
Cacat Prosedural
Wakil Dekan III FIS, Abdul Haris menjelaskan perihal dirinya yang dituduhkan tidak kunjung mengeluarkan SK. Ia mengakui bahwa pada 20 Maret 2024, memang dihubungi oleh Ketua Satgas PPKS mengenai penyelesaian kasus kekerasan seksual.
“Saya memang diarahkan untuk membuat SK. Namun, setelah ditelaah lagi, hal tersebut bukan ranah saya. Jika dilihat pada Permendikbud maupun Pedoman PPKS, seharusnya rektor yang berhak mengeluarkan SK. Jika saya yang mengeluarkan SK sanksi, hal tersebut akan menimbulkan maladministrasi,” ungkapnya pada (01/08).
Berdasarkan temuan Tim Didaktika, terdapat setidaknya dua hal yang mengindikasikan cacat prosedural penyelesaian kasus kekerasan seksual di UNJ. Hal pertama, terdapat pada tahapan rapat pleno yang dilaksanakan pada 19 Maret lalu.Rapat pleno yang diadakan oleh UNJ hanya dihadiri oleh pimpinan FIS, pimpinan FBS, wakil rektor, dan rektor. Selain itu, terduga pelaku beserta keluarganya juga turut dihadirkan.
Sumber: buku pedoman Satgas PPKS UNJ 2024
Pada rapat tersebut, korban sama sekali tidak diberitahu dan tidak diundang untuk mengikuti rapat. Padahal, mengacu pada pedoman Satgas PPKS UNJ, rapat pleno yang ditujukan untuk membahas sanksi terhadap terduga pelaku haruslah juga menghadirkan korban, sanksi, pendamping, dan pihak lainnya yang sudah disetujui korban.
Temuan kedua, SK atas terduga pelaku seharusnya dikeluarkan oleh rektor universitas, karena mengacu pada Buku Pedoman PPKS UNJ 2024. Namun sampai saat ini, Rektor UNJ yaitu Komarudin belum mengeluarkan SK tersebut. Bahkan, pihak Satgas PPKS malah melimpahkan pengeluaran SK kepada pihak fakultas.
Sumber: buku pedoman Satgas PPKS UNJ 2024
Tim Didaktika mencoba menghubungi rektor UNJ untuk meminta keterangan. Surat permohonan wawancara dikirimkan pada tanggal 08 Agustus 2024 melalui pesan WhatsApp kepada protokoler rektor UNJ.
Baca juga: Memutus Rantai Kekerasan Seksual dengan Kesetaraan Gender
Namun, Komarudin mengalihkan wawancara kepada Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan, Ari Saptono. Ditemani Staf Pengembangan FIS, yaitu Meti, Ari mengakui bahwa penyelesaian kekerasan seksual yang dilakukan oleh SS memang belum sampai pada pengeluaran SK.
“Terduga pelaku sudah mengakui perbuatannya dan sudah diberi sanksi, tapi memang SK-nya belum keluar. Kami masih menunggu Dekan FIS untuk mengeluarkan SK,” ungkap Meti pada Selasa (20/08).
Ketika disinggung mengenai SK yang seharusnya dikeluarkan rektor, baik Ari maupun Meti sempat mengelak dengan menyatakan bahwa pimpinan universitas yang dimaksud pada SOP Satgas PPKS tidak melulu harus rektor. “Dekan pun masuk ke dalam pimpinan universitas, jadi mereka juga seharusnya bisa mengeluarkan SK,” jelas Meti.
Padahal, jika mengacu pada Peraturan Rektor (Pertor) Nomor 07 tahun 2021 tentang pencegahan kekerasan seksual, termuat pada Pasal 36 menjelaskan, bahwa surat rekomendasi yang diberikan oleh Satgas PPKS akan ditindaklanjuti dan ditetapkan dengan Keputusan Rektor.
Sumber: buku pedoman Satgas PPKS UNJ 2024
Meti berdalih, di UNJ memang terdapat miskomunikasi perihal pihak yang seharusnya mengeluarkan SK. “Jika mengacu pada SOP Satgas PPKS dan Permendikbud memang diksinya pimpinan universitas, jadi dekan juga berhak. Tapi jika mengacu pada Pertor Nomor 07 tahun 2021 seharusnya memang rektor,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa pada kasus sebelumnya SK dikeluarkan oleh dekan dan hal tersebut diterima oleh Satgas PPKS untuk dilaporkan kepada kementerian. “Karena pada kasus sebelumnya, SK yang dikeluarkan dekan diterima Satgas. Jadi, kami mengira bahwa tidak masalah jika bukan rektor yang mengeluarkan,” jelasnya.
Meskipun begitu, di akhir wawancara Meti dan Ari mengakui bahwa SK memang harus dikeluarkan oleh rektor jika mengacu pada Pertor nomor 07 tahun 2021. Dia berjanji akan berkomunikasi dengan rektor.
Penulis/reporter: Zahra Pramuningtyas