Kepala Divisi Penindakan, Pendampingan, dan Perlindungan PPKS UNJ, Sri Juwita Kusumawardhani dalam Seminar Lintas Agama dengan tema kesetaraan gender dan kekerasan seksual yang diselenggarakan pada Minggu (2/7) mengatakan kesetaraan gender masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Baginya kekerasan seksual masih kerap terjadi kepada perempuan. 

“Kekerasan seksual dapat berupa secara fisik, verbal, dan kketimpangan relasi kuasa. Dan kasus yang sedang marak saat ini adalah kekerasan seksual secara online seperti seorang mengirimkan gambar yang tidak senonoh kepada orang lain atau merekam tanpa persetujuan,” ucapnya. 

Menurut Juwita kasus kekerasan seksual seperti gunung es. Jadi, yang dilaporkan dengan kenyataan sebenarnya masih berbanding terbalik. Karena banyak aparat penegak hukum yang belum berperspektif korban. Sebab itu, pelaporan kekerasan seksual masih sulit.

Sementara itu, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Nur Rofiah, menyatakan dalam perspektif Islam manusia tidak dinilai berdasarkan atribut fisik, khususnya organ kelamin, tapi oleh perilakunya. Kedudukan laki-laki dan perempuan setara dalam Islam. Maka perempuan memiliki kesempatan yang sama seperti laki-laki dan berhak untuk diperlakukan setara. Kedudukan perempuan dalam masyarakat bukan di bawah laki-laki. Namun, kini perempuan dipaksa mengambil pekerjaan yang posisinya lebih rendah dari pada laki-laki.

“Islam dan saya yakin semua agama itu hadir dengan misi membangun kesadaran spiritual. Manusia itu bukan makhluk fisik, laki-laki bukan hanya mesin uang, perempuan bukan hanya alat seksual, bukan hanya mesin reproduksi, tapi semuanya itu makhluk yang punya akal dan berhati nurani,” ucapnya 

Kemudian ia melanjutkan iman kepada Tuhan yang melahirkan perilaku baik kepada sesama makhluknya adalah satu-satunya standar kualitas manusia dalam Islam yang disebut takwa. Maka iman kepada Tuhan hanya valid dengan perbuatan baik. 

Iklan

Turut hadir pula, pengurus Wanita Theravada Indonesia, Ramani Ratna Rukmana mengatakan sejak 2.600 tahun yang lalu perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Tetapi, jika ditinjau dari Sambutan Kaya 3:16 dalam Kitab Suci Tipitaka justru Guru Agung Sang Buddha sangat memuliakan perempuan. Baginya Buddha sangat mengagungkan perempuan, sebab dari seorang perempuan dapat lahir seorang pahlawan.

“Negara bisa maju justru tergantung dari perempuannya. Berkat perempuan anak-anak bangsa dapat menjadi manusia berkepribadian, bijaksana, dan bermoral,” pungkasnya.

 

Reporter/Penulis: Naufal Nawwaf

Editor: Izam