Yanti, buruh tani perempuan Desa Pasir Cina, berdiri teguh bersama perempuan lain menghadapi ancaman proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terhadap kehidupan desanya.

Sembari menyuguhkan kopi hitam panas di ruang tamu rumahnya, Yanti (45) menceritakan upaya perlawanannya menolak rencana proyek PLTP milik PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) di kaki Gunung Gede Pangrango. Bagi Yanti, proyek tersebut akan menimbulkan banyak dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat.

Rencana proyek PLTP tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 2778 K/30/MEM/2014 tahun 2014 Tentang Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Di Daerah Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. PLTP ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali yang kian meningkat. Baru pada 2022, PT DMGP dan pemerintah mulai melakukan sosialisasi proyek PLTP Gunung Gede kepada masyarakat.


Baca juga: Aksi Massa Rakyat Melawan Rezim Prabowo-Gibran

Terhitung sudah enam tahun Yanti bekerja sebagai buruh tani. Setiap hari ia harus bangun pukul empat pagi untuk menyiapkan keperluan sekolah bagi anak dan suaminya yang bekerja di toko optik. Diupah sebesar Rp40.000, Yanti mulai bertani di ladang sejak pukul tujuh pagi, dan kembali ke rumah pukul 12 siang. 

Iklan

Ladang kol yang digarap Yanti, kurang lebih seluas satu hektar (foto: Fadil B. Ardian)

Sembari bercerita bersama Tim Didaktika, ia membayangkan jika proyek ini tetap dilangsungkan, maka akan terjadi kesulitan sebab berkurangnya pasokan air dan udara yang tercemar. “Kalau sudah terjadi seperti itu, bagaimana warga bisa mendapat makanan?” Keluhnya

Awal Perlawanan 

Yanti menceritakan awal mula ia mengetahui isu PLTP, saat itu digelar kegiatan nonton bersama film Barang Panas: Dampak Geothermal, besutan Dandhy Laksono dan Farid Gaban bersama Tim Ekspedisi Indonesia Baru. Setelah menonton film tersebut, ia baru menyadari bahwa proyek PLTP akan membutuhkan banyak air, dan pada prosesnya akan mencemari lingkungan.

Kesadaran itu membawanya untuk bergabung dengan Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP), sebuah kelompok yang menolak proyek geothermal. Disana, Yanti mulai aktif dalam diskusi dan pengorganisasian warga. 

Merasa tidak cukup, ia kemudian bergabung dengan Gerakan Surya Kencana (GSK). Sebuah kelompok yang juga berfokus pada aksi langsung dan advokasi isu PLTP Gunung Gede.

Sebagai sekretaris GSK, Yanti memegang peran penting dalam memobilisasi perlawanan warga. Ia bersama anggota lainnya turun langsung ke lapangan, mengetuk pintu rumah warga satu persatu untuk mengumpulkan angket penolakan PLTP. Pengetahuan yang didapat sebisa mungkin ia sebarkan ke ibu-ibu lain, meyakinkan mereka bahwa proyek ini bisa mengancam sumber air dan keberlangsungan kehidupan.

Yanti juga aktif dalam aksi-aksi kolektif. Sebelum acara nonton bersama yang diadakan AMGP dan GSK dimulai, ia sibuk ke sana ke mari mencari pelantang suara. Tak hanya itu, ia juga turut serta dalam penghadangan bila kendaraan perusahaan dan aparat masuk desa. 

Pengalaman pahit akibat krisis air saat musim kemarau dijadikan warga sebagai alasan terus melawan. Bagi para perempuan di desanya, air bersih adalah urat nadi kehidupan. Utamanya digunakan untuk kebutuhan domestik dan membersihkan diri.

“Saat musim kemarau selama tujuh bulan, saya sampai harus mencuri air dari ladang milik orang lain. Bayangkan jika proyek ini rampung, tanah kami kering, perempuan tidak bisa mencuci pakaian, anak-anak kehausan,” keluh Yanti dengan mata berkaca-kaca. 

Iklan

Berhadapan dengan pihak perusahaan menjadi kegiatan menguras emosi bagi Yanti. Saat menghadiri sosialisasi PLTP pada 2024 di kantor desa Cipendawa, ia tak mampu menyembunyikan ekspresi kalut bercampur bingung. Pasalnya, tidak semua warga diundang dalam sosialisasi tersebut. Dalih perusahaan, hanya mereka yang rumahnya terletak di pinggir jalan yang akan terdampak.

Baca juga: Proyek UNJ Cikarang Mandeg, Menantikan Dana dan Fasilitas

Sosialisasi itu berlangsung panas. Warga berulang kali dijanjikan kesejahteraan. PT DMGP mengklaim bahwa air akan tetap mengalir deras, kehidupan masyarakat akan lebih makmur, dan alat berat yang melewati desa tidak akan menimbulkan kebisingan atau getaran. 

Mendengar itu, Yanti langsung menyanggah dengan nada tinggi. “Tidak mungkin! Makmur darimananya? Tidak mungkin alat berat lewat tanpa bising dan getaran. Kami sudah trauma dengan gempa yang pernah terjadi!”

Tekanan dan Ancaman

Vokalnya suara perlawanan Yanti sering membawanya pada jalan berbatu. Ia sering kali mendapat ancaman hingga cibiran tetangga dekatnya yang pro-proyek.

“Saya diancam suatu saat akan diculik aparat, saya bilang silahkan. Saya tidak pernah menampar orang, tidak pernah menyentil orang,” ujar Yanti, dengan nada yang membara, seolah tidak gentar dengan semua ancaman yang datang.

Ia harus menerima kenyataan bahwa hubungannya dengan tetangga yang mendukung proyek harus merenggang. Yanti percaya bahwa setiap orang memiliki prinsipnya masing-masing dan tidak bisa memaksakan keyakinan orang lain.

Namun, bagi Yanti harapan selalu terselip di atas perlawanannya. Ia berharap semangat, keberanian, dan sikap mulia para perempuan di desanya untuk melawan penindasan dan ketidakadilan, bisa diteruskan kepada generasi selanjutnya.

“Ibu semakin tua, dibutuhkan penerus, anak muda desa harus lebih semangat untuk berjuang,” pungkas Yanti.

Yanti saat diwawancarai Tim Didaktika di rumahnya, Kampung Pasir Cina, Desa Cipendawa (Foto: Fadil B. Ardian)

Penulis/reporter: Ahmad F. Zaki

Editor: Fadil B. Ardian