Dengan mengenakan pakaian berwarna hitam, ribuan massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil memadati kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Jumat (21/02). Disatukan tajuk utama ‘Indonesia Gelap’, mereka berdemonstrasi melawan segudang kebijakan rezim Prabowo-Gibran.
Juru bicara aksi, Tegar Afriansyah menyatakan, demonstrasi ini diadakan untuk merespons berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) itu mencontohkan kebijakan pemangkasan anggaran. Akibat keputusan itu, sejumlah dana untuk layanan publik seperti pendidikan berpotensi menurun secara drastis
“Aksi ini akan terus berlanjut sampai kemudian Prabowo menghendaki tuntutan-tuntutan dari rakyat, “ ucap Tegar.
Tegar menjelaskan perbedaan dengan berbagai aksi ‘Indonesia Gelap’ sebelumnya. Lanjutnya, aksi kali ini melibatkan beragam elemen gerakan masyarakat sipil, agar tidak terkesan sebagai demonstrasi mahasiswa saja. Bahkan ungkap Tegar, ada kesepakatan bersama untuk memakai jaket almamater mahasiswa.
Hal itu bertujuan untuk menghindari gerakan yang berlangsung terkesan eksklusif berasal dari mahasiswa saja. Tambahnya, aksi ini terbuka bagi seluruh masyarakat sipil yang terganggu oleh kebijakan rezim Prabowo-Gibran.
“Kita melihat gerakan mahasiswa cenderung eksklusif, terkadang gerakan mahasiswa tidak menginginkan kelompok masyarakat lain untuk turun bersama, maka hari ini membuktikan gerakan mahasiswa dapat melebur bersama rakyat, “ ujarnya.
Bagi Tegar, peleburan mahasiswa dan rakyat sangat penting untuk memperkuat gerakan. Dengan begitu, gerakan politik alternatif yang berkelanjutan dapat terbentuk untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
Sebelumnya sejak Senin (17/2), aksi demonstrasi bertajuk ‘Indonesia Gelap’ terus bermunculan di berbagai daerah. Itu terjadi karena amarah rakyat akibat setumpuk permasalahan indonesia saat ini. Beberapa di antaranya adalah kelangkaan gas elpiji melon dan ancaman kenaikan biaya kuliah karena pemangkasan anggaran.
Baca juga: Proyek UNJ Cikarang Mandeg, Menantikan Dana dan Fasilitas
Tegar menyadari, sederet aspirasi dari rakyat dalam aksi hari ini tidak mungkin untuk diwujudkan oleh pemerintah. Akan tetapi menurutnya, aksi tersebut dapat menjadi promotor untuk membangun gerakan yang lebih besar.
“Mahasiswa bersama dengan masyarakat lain merobohkan dinding kekuasaan yang korup, dinding arogansi kekuasaan yang memang tidak merepresentasikan kepentingan rakyat,“ ujarnya.
Turut pula datang dalam aksi ini adalah Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Unang Sunarno. Pria yang kerap disapa Sunarno itu mengeluhkan kondisi perburuhan hari ini yang suram. Jelasnya, banyak Pemutusan Hubungan Kontrak (PHK) terjadi pada zaman Prabowo-Gibran.
Sunarno menyebutkan kasus PHK massal buruh PT Duta Palma Group di Kalimantan. Lanjutnya, sekitar 2.000 pekerja di perusahaan itu diberhentikan secara paksa dan belum mendapatkan kompensasi. Apalagi menurutnya, PHK dapat bertambah jika pemangkasan anggaran terjadi.
“Ini kontradiktif dengan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tujuannya agar generasi ke depan lebih bagus terutama dalam pendidikan, tapi bagaimana mungkin itu terjadi jika banyak orang tua kena PHK,” ucapnya.
Lanjut Sunarno, program ambisius seperti MBG yang memakan banyak anggaran seakan dipaksakan. Sebab menurutnya, kondisi keuangan negara sedang tertekan beban hutang yang menyentuh Rp8.000 triliun. Sunarno menyimpulkan MBG dilaksanakan hanya untuk menggugurkan kewajiban Prabowo-Gibran ketika berkampanye.
Baca juga: Di-PHK Sepihak, Mantan Jurnalis VoA Melayangkan Gugatan
Sunarno pun menilai pemerintah saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Ia berpandangan negara hanya memenuhi kepentingan oligarki. Oleh sebab itu, perlu ada perkembangan gerakan untuk mewujudkan berbagai hak rakyat.
“Pemerintah harus dikritisi dan dilawan dulu karena banyak kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil. Apalagi, sistem pemerintahan kita mengakomodir kepentingan dari kapitalis atau kawan-kawan menyebut oligarki, “ tutupnya.
Massa aksi lainnya adalah Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Kampus (SPK), Hariati. Dosen Universitas Indonesia itu merasa kondisi pekerja kampus di Indonesia cukup memprihatinkan.
Hariati mencontohkan kasus tunjangan kinerja (Tukin) dosen tahun 2020 sampai 2024 yang belum dibayar oleh pemerintah. Tambahnya lagi, banyak pekerja kampus yang gajinya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Hariati pun merasa khawatir dengan adanya pemangkasan anggaran pendidikan yang berpotensi kepada kenaikan biaya kuliah. Menurutnya, kenaikan biaya kuliah bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan pekerja kampus. Sebab jelasnya, meskipun uang kuliah naik, penghasilan pekerja kampus tidak meningkat.
“Kita harus bersama-sama, justru ketika kita bersama-sama daya tekannya itu bisa lebih besar, “ pungkasnya.
Reporter/penulis: Andreas Handy
Editor: Naufal Nawwaf