Berdampak langsung pada ruang hidup warga Gunung Gede, proyek geothermal oleh PT Daya Mas Gunung Pangrango (DMGP) malah mengabaikan suara rakyat.
Selama tiga tahun, PT DMGP melakukan survei dan pematokan di Desa Sindangjaya. Dilansir dari laman ebtke.esdm.go.id, hal tersebut ditujukan untuk proyek geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Gunung Gede. Alih-alih membuka informasi itu kepada masyarakat desa, PT DMGP malah menutup-nutupinya.
Warga Desa Sindangjaya, Iyus Nawawi berujar, dirinya kesulitan mendapat informasi proyek geothermal di Gunung Gede. Lanjutnya, informasi itu tidak pernah diumumkan pemerintah Desa Sindangjaya secara terbuka, baik melalui sosialisasi atau surat edaran.
Iyus berujar baru mengetahui kehadiran proyek geothermal saat PT DMGP mematok di beberapa titik Desa Sindangjaya untuk membangun tapak bor (well pad). Ia terkejut dengan tindakan PT DMGP di tahun 2022 itu. Menurutnya, tindakan PT DMGP absah karena tanpa kesepakatan seluruh masyarakat desa.
“Seharusnya ada izin dulu dari semua masyarakat. Gak boleh PT DMGP mematok secara sepihak,” tegasnya saat diwawancarai Tim Didaktika pada, Sabtu (8/2).
Iyus merasa gelisah dengan proyek geothermal. Sebab, proyek tersebut dapat menggusur lahan garapannya. Ia menambahkan, jika proyek itu tetap terlaksana, ia tidak akan bisa bertani lagi.
Meski PT DMGP berjanji memberikan ganti rugi, Iyus menilai itu tidak akan setimpal dengan sumber mata pencahariannya yang akan digusur. Baginya, bertani tidak hanya pekerjaan, lebih jauh dari itu merupakan kebiasaan dirinya.
“Kalau ada geothermal, nanti suasananya berubah. Adanya cerobong asap sama dentuman mesin, kita jadi gak nyaman,” ungkapnya.
Baca juga: Warga Gunung Gede di Bawah Intimidasi PT DMGP
Senada dengan Iyus, Ketua Aliansi Masyarakat Gunung Gede Pangrango (AMGP), Dadang menjelaskan isu proyek geothermal bermula dari desas-desus yang tersebar di Desa Sukatani. Mendengar hal itu, Dadang pun langsung mengkonfirmasi isu proyek geothermal ke kantor Desa Sukatani, kemudian Kecamatan Pacet.
Namun, baik pemerintah Desa Sukatani atau Kecamatan Pacet berkilah tidak tahu proyek geothermal. Dadang baru mendapat informasi valid proyek geothermal dari kantor Cabang Dinas Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM) Wilayah I Cianjur.
Berdasarkan informasi dari kantor tersebut, proyek geothermal akan melintasi tiga desa, yakni Desa Cipendawa, Desa Sukatani, dan Desa Sindangjaya. Dadang langsung resah karena tempat tinggalnya turut terdampak.
“Meski kaget, kami merespons dengan gencar melakukan sosialisasi dampak proyek geothermal kepada masyarakat desa yang tidak tahu,” katanya (9/2).
Dadang bercerita pada (21/3/2023) PT DMGP mengadakan sosialisasi pertama mengenai proyek geothermal. Mereka hanya berjanji penambahan pasokan energi listrik dan iming-iming lapangan kerja baru. Akan tetapi, dampak lingkungan dari proyek geothermal tidak disampaikan.
Dadang menganggap PT DMGP sengaja menyembunyikan dampak buruk proyek geothermal. Hal tersebut untuk mengelabui semua masyarakat desa dan mendapat izin mereka.
“Mereka tidak jujur karena takut ditolak masyarakat,” jelasnya.
Terusnya, pada (6/9/2024) PT DMGP mengadakan sosialisasi proyek geothermal dengan mengundang beberapa tokoh dan pemerintah desa, tapi secara tertutup. Setelah Dadang cari tahu, mereka bukan mengadakan sosialisasi, melainkan membahas akses jalan proyek geothermal.
Baca juga: Ilusi Energi Bersih, Geothermal Ancam Lingkungan Gunung Gede Pangrango
Hal tersebut menyebabkan Dadang bersama AMGP melakukan aksi di Balai Desa Cipendawa. Mereka memprotes PT DMGP karena membahas proyek geothermal secara rahasia, tanpa melibatkan seluruh masyarakat desa.
“Kalau belum ada kesepakatan bersama semua masyarakat desa, tidak boleh,” terangnya.
Dadang meragukan klaim Dokumen Lingkungan Hidup (DLH) yang dimiliki PT DMGP. Sebab, melalui pengamatannya, PT DMGP tidak pernah memberi DLH saat sosialisasi.
Oleh sebab itu, menurut Dadang, klaim PT DMGP itu palsu. Ia menagih DLH, seperti Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
“Dampak buruk proyek geothermal sudah menimpa banyak masyarakat kok, seperti di Dieng, Mataloko, dan Mandailing Natal. Mana berani mereka beritahu warga,” tegasnya.
Masyarakat Butuh Dilibatkan
Dosen Pendidikan Sosiologi UNJ, Prima Yustitia menanggapi, proyek geothermal harus melibatkan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan. Sebab, proyek itu memiliki dampak bagi kehidupan mereka.
Akan tetapi, Prima tidak menampik metode aktor representatif dalam proyek geothermal. Menurutnya, partisipasi masyarakat desa itu bisa diwakilkan melalui tokoh atau perangkat desa.
“Cara itu bisa efektif kalau semua masyarakat desa sudah setuju, tidak hanya tokohnya saja,” lugasnya kepada Tim Didaktika, pada Selasa (11/2).
Lanjutnya, PT DMGP tidak boleh hanya terbatas memikirkan pasokan energi listrik. Kebutuhan masyarakat desa yang terdampak proyek geothermal juga mesti diperhatikan.
Prima memperingatkan kalau PT DMGP sekadar mengutamakan kepentingan mereka saja. Akibatnya, timbul permasalahan sosial seperti konflik yang menyebabkan kekerasan.
“Perusahaan dan pemerintah tidak boleh ambil untungnya saja. Mereka juga harus memikirkan dampaknya,” pungkasnya.
Reporter/penulis: Khalda Syifa
Editor: Naufal Nawwaf