Masyarakat Gunung Gede Pangrango tengah diancam proyek geothermal yang berpotensi merusak alam. Proyek yang digadang-gadang menjadi energi bersih, justru berpotensi menimbulkan banyak kerusakan. 

Sejak 3 Juni 2014, Gunung Gede Pangrango ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi melalui SK Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral (ESDM) Nomor 2778/ K/30/MEM/2014. Sampai dua tahun lalu, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) memenangkan lelang pengelolaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal. 

Kini, PT DMGP telah membebaskan sebagian kecil lahan untuk membuka jalan masuk bagi alat dan kendaraan besar proyek. Namun, hal tersebut menuai penolakan dari warga sekitar. Musababnya, proyek tersebut dipercaya akan menimbulkan banyak kerusakan di Gunung Gede Pangrango. 

Salah satu warga yang resah adalah Dadan. Sebagai petani, ia khawatir kerusakan alam akan mempengaruhi hasil panennya. 

Ditambah lagi, proyek geothermal yang maruk air menjadi kekhawatirannya. Sebab sampai saat ini, ayah dengan satu anak itu masih bergantung terhadap sumber air dari Gunung Gede Pangrango. Menurutnya, proyek geothermal ini mengancam masyarakat, baik dari segi sosial ekonomi maupun ekologis. 

Kalau musim kemarau saja air jadi saling rebutan di kebun dan rumah-rumah. Misal geothermal terjadi, air pasti habis untuk proyek. Dampaknya (geothermal) pasti luar biasa,” ucap Dadan pada Minggu (9/2). 

Iklan

Lebih jauh, Dadan menjelaskan getaran yang dihasilkan dari proyek ini dikhawatirkan dapat memicu letusan Gunung Gede Pangrango. Ia berpendapat, proyek geothermal seperti bencana yang disengaja oleh PT. DMGP. Terlebih, proyek ini akan merampas ruang hidup masyarakat Gunung Gede Pangrango. 

“Kalau geothermal terjadi, masyarakat sudah pasti jadi korban. Dimiskinkan semiskin-miskinnya,” ujar Dadan. 

Warga lainnya yang menolak proyek geothermal Gunung Gede Pangrango adalah Cece Jaelani. Ia mengaku telah melakukan studi banding ke sejumlah daerah yang terdapat proyek geothermal. Cece mendapati proyek ini memberikan lebih banyak dampak buruk dibandingkan dampak positif. 

Berdasarkan kunjungannya, Cece berpendapat proyek geothermal dapat mengancam kesuburan tanah di wilayah Gunung Gede Pangrango. Sebab, proyek geothermal beresiko

menimbulkan semburan lumpur panas seperti yang terjadi di PLTP Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Lumpur panas ini menyebabkan rusaknya lahan produktif dan hasil komoditas yang menurun. 

Selain itu, Cece menemukan fakta proyek geothermal di kawasan Dieng mencemari udara dengan kebocoran gas asam yang bersifat korosif. Ia menjelaskan, hal itu menyebabkan banyak seng yang digunakan untuk atap rumah warga mengalami pengeroposan. 

“Makanya kita pertanyakan, apakah jaminan proyek geothermal ini tidak akan mencemari lingkungan nantinya?” tanya Cece pada Sabtu (8/2). 

Dampak negatif dari proyek geothermal juga dijabarkan dalam Jurnal Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang berjudul Analisis dampak lingkungan dan life cycle cost pembangkit listrik tenaga panas bumi. Setidaknya terdapat empat dampak ekologis proyek geothermal yang meliputi bahaya geologi, limbah berbahaya, emisi, dan penggunaan air skala besar. 

Baca juga: Ironi Reklamasi: Nestapa Pulau Pari dalam Cengkeraman Korporasi

Pada bahaya geologi, medan vulkanik yang curam sebagai lokasi PLTP menjadi faktor terjadinya reruntuhan dan tanah longsor. Pada beberapa kasus yang telah terjadi, perubahan tanah ini dapat menyebabkan gempa seperti yang terjadi di PLTP Gunung Salak pada 2023 lalu. 

Iklan

Kemudian, limbah berbahaya berupa lumpur merupakan endapan dari proses pengolahan limbah cair. Limbah tersebut berpotensi mengandung Bahan Berbahaya Beracun (B3). Dampak limbah itu dapat membahayakan makhluk hidup. 

Selain itu, emisi gas rumah kaca dari proyek geothermal yang meliputi gas H2S, CO2, dan CH4 juga mengakibatkan dampak lingkungan. Pada tahun 2021 terjadi kasus di Mandailing Natal, Sumatera Utara, gas H2S yang dihasilkan proyek geothermal menyebabkan lima orang meninggal dunia. 

Tambah lagi, PLTP membutuhkan air dalam jumlah besar. Air yang dibutuhkan proyek geothermal dapat mencapai satu juta liter per hari untuk pengeboran. 

Omong Kosong Transisi Energi 

Panas bumi digadang-gadang oleh pemerintah sebagai salah satu energi ramah lingkungan. Maka pemanfaatan panas bumi didorong oleh pemerintah sebagai bagian dari agenda Net Zero Emission atau pengurangan emisi karbon. Walakin, kenyataan di lapangan bertolak belakang dengan narasi tersebut. 

Salah satu anggota Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Alfarhat Kasman konsisten menolak proyek geothermal. Menurutnya, meskipun dilabeli sebagai energi bersih terbarukan, pada dasarnya proyek geothermal ini tidak jauh berbeda dengan tambang pada umumnya yang memiliki daya rusak.

“Geothermal yang digadang-gadang menjadi energi alternatif pengganti batubara adalah narasi yang menyesatkan dari pemerintah,” ujar Farhat pada Selasa (11/2). 

Hal ini bukan tanpa alasan, bagi Farhat, pada 2023 terhitung sebanyak 18 proyek geothermal di Indonesia telah berjalan. Namun, tidak diiringi dengan penurunan produksi batubara di Indonesia terutama untuk kebutuhan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). 

Baca juga: Yanti, Perempuan Penggugat Tambang Geothermal

Melansir dari laman resmi Kementerian ESDM, sejak tahun 2020 hingga 2023 terjadi peningkatan pemanfaatan batubara domestik. Arifin Tasrif sebagai Menteri ESDM saat itu juga menyebutkan, terjadi peningkatan DMO dari target tahun 2023 sebesar 177 juta ton. 

Terkhusus geothermal di Gunung Gede Pangrango, Farhat merasa ada banyak kejanggalan. Pasalnya, pasokan listrik di Pulau Jawa sudah mengalami surplus atau melebihi permintaan konsumen. 

Ngacolah kalau untuk menuju transisi energi, batu bara saja tidak berhenti, ini agendanya perluasan pasar energi untuk menciptakan kartel-kartel baru di sektor geothermal,” ungkap Farhat. 

Farhat turut memberikan komentarnya mengenai bisnis energi di Indonesia. Menurutnya, pengetahuan terkait ekologi dan etika lingkungan di bisnis energi masih sangat jarang diterapkan. Ia juga menambahkan, pemerintah lebih mengedepankan logika bisnis meskipun bisnis tersebut merusak. 

Lanjut Farhat, dampak negatif geothermal akan jauh lebih besar dibandingkan dampak positifnya. Mulai dari pemiskinan secara masif, pencemaran lingkungan yang luar biasa hingga memicu bencana. 

“Persoalan ini selalu ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi, tapi pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan pemiskinan masyarakat. Logika bisnis ini selalu di kedepankan oleh penguasa,” pungkasnya. 

Penulis/Reporter : Nur Is Farida 

Editor : Akmal Hafizh Haqqani