Reklamasi ilegal yang terjadi Januari lalu mengakibatkan rusaknya ekosistem laut Pulau Pari. Warga khawatir hal tersebut akan berdampak pada kesejahteraan warga serta memperburuk abrasi pantai dan banjir rob. 

Penjaga Pantai Bintang, Arif Pujiyanto masih ingat betul ketika banjir rob melanda sebagian wilayah Pulau Pari pada Desember 2024. Bukan hanya kali ini saja banjir rob terjadi. Pada awal 2020, ia bersama delapan kucing peliharaannya sudah merasakan parahnya banjir rob setinggi lutut orang dewasa. 

Pria paruh baya itu semakin resah semenjak beberapa kali terjadi proyek reklamasi di gugusan Pulau Pari. Sebab, intensitas air rob yang datang menjadi lebih masif dan membuat air semakin mudah naik ke daratan. 

“Banjir rob sudah parah karena perubahan iklim awal tahun 2020, tapi reklamasi malah memperparah,” tambahnya. 

Arif menuturkan, sebelum reklamasi ketinggian air masih setara dengan daratan. Paling parah hanya sampai menutupi bibir pantai dan sebatas mata kaki. 

Setelah reklamasi, air semakin naik dan daratan lebih mudah tergerus. Air rob pun semakin masif masuk daratan. Dirinya bercerita, sampai sekarang air rob kerap memasuki pemukiman warga. Karena tidak ditanggulangi sejak awal, pesisir Pantai Bintang pun terkikis seluas 8 meter persegi. 

Iklan

“Banjir rob memang sudah akrab dengan penduduk pesisir seperti kita, tapi karena abrasi terus-menerus banjir rob jadi semakin parah. Takut, kapan saja kami bisa tenggelam,” terangnya. 

Melihat abrasi terus memperburuk kondisi Pulau Pari, Mulsia ambil inisiatif. Ia dan Kelompok Perempuan Pulau Pari (KP3) memutuskan untuk menanam mangrove sejak 3 tahun lalu.

Mereka sudah menanam 40 ribu pohon. Hingga pada 2024 tanaman mangrove terbentang seluas 1,37 ha menutupi area pesisir Pulau Pari. Mulsia melakukannya guna mencegah abrasi, yang kerap jadi faktor banjir rob terjadi. 

“Menanam mangrove lama, butuh waktu sekitar 1 tahun untuk menjadi pohon remaja. Kalau menjadi pohon yang akarnya kuat, butuh waktu bertahun-tahun,” kata Mulsia ketika ditemui di kediamannya (8/2). 

Meski begitu, Mulsia juga menyadari jika mangrove tak menjamin akan menangkal banjir rob. Namun, ia bersama KP3 berharap dengan adanya mangrove bisa mengurangi dampak banjir rob yang lebih parah di masa mendatang. 

Nahas, usahanya bersama KP3 berbuah sia-sia. Pasalnya, pada 17 Januari 2025 lalu gugusan Pulau Pari didatangi oleh ekskavator milik PT Central Pondok Sejahtera (CPS). 

“Mereka datang tanpa izin, tiba tiba saja bawa ekskavator untuk mengeruk pasir,” tuturnya. 

Akibatnya, 40 ribu pohon mangrove hampir lenyap dalam waktu tak sampai semalam. PT CPS berdalih, pengerukan tersebut sah atas Izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang pda 12 Juli 2024. 

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) Mustaghfirin, mengaku masih ingat kejadiannya. Ia menuturkan, masalah bermula dari upaya pengerukan pasir dangkal pada 1 November 2024 oleh PT CPS. 

Baca juga: Yanti, Perempuan Penggugat Tambang Geothermal

Iklan

Waktu itu, sebuah ekskavator yang diduga milik PT CPS masuk ke Pulau Biawak—bagian gugusan Pulau Pari—untuk melakukan pengerukan. Namun, gagal karena mendapat perlawanan dari warga. 

Dua bulan berlalu, tepatnya pada 17 Januari 2025, Boby yang berprofesi sebagai nelayan, sedang melaut seperti biasanya. Saat melewati area Pantai Pasir Perawan, dirinya terkejut melihat sebuah ekskavator datang kembali ke Pulau Biawak.

“Pengerukan pasir laut terjadi sekitar satu sampai dua jam karena warga langsung menghadang. Walau berlangsung singkat, dampak kerusakannya sangat parah, lubang seluas 18 meter persegi dengan kedalaman 3 meter terbentuk,” sebutnya. 

Menurut Boby, reklamasi oleh PT CPS bersifat ilegal. Sebab PKKPRL yang diterbitkan KKP, hanya mengizinkan PT CPS membangun cottage apung dan dermaga wisata seluas 180 hektar. 

Pada 20 Januari 2025, KKP memeriksa langsung ke lapangan. Walhasil, aktivitas reklamasi dihentikan sepenuhnya. 

Boby sangat menyayangkan hal itu. Baginya, izin tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem laut di Pulau Pari. Bahkan, keputusan dikeluarkan tanpa menimbang aspirasi warga. 

“Kalau reklamasi ini tidak segera dihentikan, khawatir akan menimbulkan lebih banyak kerusakan. Bukan tidak mungkin ke depannya perusahaan-perusahaan lain akan melakukan hal yang sama, bisa saja skalanya lebih besar,” ujarnya sehabis membakar sebatang rokok. 

Sebagai seorang nelayan, Boby menganggap reklamasi di laut dangkal membuat ruang tangkap ikan makin sempit. Ia dan kawan-kawannya harus pergi lebih jauh untuk mendapat lebih banyak hasil tangkapan. 

Ditambah akhir-akhir ini, kata Boby, banyak nelayan sering terjebak di tengah laut. Mau tak mau mereka harus mengurangi jarak melaut yang sebelumnya bisa 20-30 mil, kini hanya sekitar 10 mil. 

“Padahal situasi alam seringkali tidak bisa diprediksi, tapi kami malah dipaksa untuk melaut lebih jauh untuk mendapatkan lebih banyak ikan,” jelasnya. 

Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Muhammad Aminullah mengatakan, pengembangan objek wisata di Kepulauan Seribu menjadi sebab terjadinya kerusakan lingkungan di Pulau Pari.

Baca juga: Aksi Massa Rakyat Melawan Rezim Prabowo-Gibran

Proyeksi tersebut, kata Aminullah, diperkuat melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2022. Isinya, Kepulauan Seribu dijadikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan fokus pengembangan pariwisata. 

“Bahkan demi mewujudkan ide tersebut, pemerintah mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan Seribu,” tambahnya saat diwawancarai Tim Didaktika, pada Kamis (13/2). 

Aminullah mengatakan, aturan tersebut membuat pembangunan wisata di Pulau Pari terlihat cukup masif. Salah satunya praktik reklamasi secara ilegal pada 17 Januari lalu. 

“Hutan mangrove di Kedus Lempeng dirusak, padahal memiliki peran penting untuk mencegah abrasi. Terumbu karang juga rusak, sementara itu tempat berkembang biaknya biota laut sebagai sumber kehidupan warga, ” ucapnya. 

Walakin, kata Aminullah, warga Pulau Pari yang mayoritas berprofesi nelayan harus melaut lebih jauh untuk menangkap ikan. Selain itu, nelayan harus mengeluarkan modal lebih untuk membeli solar. Namun sayangnya, keuntungan yang didapat sangatlah pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Lebih lanjut, dirinya mengatakan kondisi tersebut dapat memicu masalah sosial dan ekonomi bagi masyarakat pesisir. Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat, Kepulauan Seribu menempati urutan pertama wilayah termiskin se-Jakarta, dengan persentase sebesar 13,13% dari total penduduk. 

“Hubungan antara kerusakan lingkungan hidup dengan hak-hak dasar masyarakat untuk tetap hidup sangat jelas. Kerusakan lingkungan yang terjadi berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya. 

Reporter/penulis: Safira Irawati dan Lovina Dita Nuratayna 

Editor: Lalu Adam Farhan Alwi dan Hanum Alkhansaa Rahmadhani